Mohon tunggu...
I Nyoman Tika
I Nyoman Tika Mohon Tunggu... Dosen Kimia Undiksha - Hoby menanam anggur

Jalan jalan dan berkebun

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Buaya, Sisa Hewan Purba yang Kerap Berkonflik dengan Manusia

25 November 2024   05:01 Diperbarui: 25 November 2024   07:18 789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buaya (sumber : info-hewans.blogspot)

Salah satu peristiwa serangan buaya yang paling mematikan terjadi di Burma pada 19 Februari 1945, selama Perang Pulau Ramree. Sebanyak 900 tentara Kekaisaran Jepang, dalam upayanya untuk mundur dan bergabung dengan pasukan yang lebih besar, menyeberangi rawa-rawa bakau sepanjang 10 mil yang dihuni oleh buaya muara. Meskipun hanya 20 tentara yang tertawan hidup-hidup oleh pasukan Inggris, hampir 500 tentara lainnya berhasil melarikan diri dari Pulau Ramree. Banyak dari mereka yang tewas dimangsa buaya, meskipun senjata Inggris juga berperan dalam peristiwa itu. Selain nyamuk, buaya tercatat sebagai penyebab kematian terbanyak kedua pada tahun 2001.

Konservasi
Karena banyak spesies buaya yang populasinya terus menurun dan terancam punah, berbagai jenis buaya di banyak negara kini masuk dalam kategori dilindungi. Di Indonesia, ada empat spesies buaya yang dilindungi oleh undang-undang, yaitu Crocodylus novaeguineae (buaya Irian), C. porosus (buaya muara), C. siamensis (buaya Siam), dan Tomistoma schlegelii (buaya sinyulong).

Untuk mengurangi tekanan terhadap populasi buaya di alam, berbagai program penangkaran telah dikembangkan. Buaya muara dan buaya Nil adalah jenis yang paling banyak ditangkarkan. Penangkaran buaya muara terutama meningkat di Australia. Di Indonesia, upaya penangkaran buaya juga telah dilakukan, meskipun masih bergantung sebagian pada alam, karena telur buaya yang dipelihara sebagian besar masih diperoleh dari alam untuk kemudian ditetaskan dan dibesarkan di penangkaran.

Konflik antara manusia dan satwa liar telah menjadi isu penting dalam konservasi global ketika satwa liar menimbulkan ancaman nyata atau yang dirasakan oleh manusia, yang berdampak negatif pada manusia dan/atau satwa liar (IUCN, 2020). Mengingat kompleksitas konflik ini sebagai interaksi antara manusia dan satwa liar, semakin jelas bahwa penggabungan informasi sosial dan ekologis sangat diperlukan untuk menjelaskan penyebab dan dinamika interaksi ini dengan lebih baik, serta untuk memprioritaskan daerah yang membutuhkan intervensi (Glvez et al., 2018; Struebig et al., 2018). Namun, integrasi kedua disiplin ini masih terbatas (Milner-Gulland, 2012).

Krokoid adalah salah satu kelompok taksonomi utama yang memberikan ancaman besar terhadap kehidupan manusia (Fukuda et al., 2014; Webb et al., 2010). Meskipun menjadi penyebab utama cedera atau kematian manusia (CrocBITE, 2020), konflik manusia-buaya dalam skala global masih relatif kurang mendapat perhatian (Torres et al., 2018). Dari 24 spesies buaya, buaya muara (Crocodylus porosus) bertanggung jawab atas sebagian besar serangan terhadap manusia, bersama dengan buaya Nil (Crocodylus niloticus) (CrocBITE, 2020; Sideleau dan Britton, 2013). Buaya muara adalah buaya terbesar yang masih ada, dapat tumbuh hingga panjang 6--7 meter (Webb et al., 2010). Meski disebut buaya muara, spesies ini tersebar di berbagai habitat air payau dan tawar yang sering tumpang tindih dengan area aktivitas manusia (Brien et al., 2017; Webb et al., 2010).

Serangan terhadap manusia merupakan masalah mendesak dalam upaya konservasi buaya muara (Amarasinghe et al., 2015; CrocBITE, 2020). Insiden ini memperburuk ketakutan dan mengurangi toleransi terhadap buaya di komunitas yang tinggal berdampingan dengan mereka, yang sering berujung pada pembalasan dan penghilangan buaya, yang menyebabkan penurunan populasi di beberapa daerah (Amarasinghe et al., 2015; Das dan Jana, 2018). Hal ini menjadi perhatian yang semakin besar mengingat semakin banyak serangan yang terjadi di negara-negara Asia Tenggara dengan kepadatan manusia tinggi, terutama di Indonesia dan Malaysia (CrocBITE, 2020). Tekanan terhadap buaya muara (seperti pertumbuhan populasi manusia dan hilangnya habitat) sangat besar di wilayah ini, karena hampir seluruh daratan Asia Tenggara (Kamboja, Thailand, dan Vietnam) telah kehilangan populasi buayanya (CrocBITE, 2020; Webb et al., 2010).

POLA DAN FAKTOR PENYEBAB SERANGAN BUAYA

Penting untuk memahami pola dan faktor penyebab serangan buaya muara guna mengembangkan strategi mitigasi yang efektif. Namun, insiden konflik manusia-buaya di wilayah Indo-Malaya masih jarang diteliti, dengan tidak ada publikasi yang terbit di jurnal yang terverifikasi antara 1990 hingga 2020, jika dibandingkan dengan Australia (11 publikasi) atau Asia Selatan (7 publikasi) (Pooley, 2020). Serangan buaya dilaporkan terkait dengan kerusakan habitat, aktivitas manusia, dan faktor iklim, meskipun pengaruh faktor-faktor ini dapat bervariasi tergantung lokasi (Webb et al., 2010; Amarasinghe et al., 2015).

Perubahan habitat (seperti kehilangan hutan riparian dan tutupan mangrove) dapat mengurangi ketersediaan mangsa serta kualitas sarang buaya, memaksa mereka untuk mencari mangsa lain dan menjelajah ke area baru (Saragih et al., 2020; Amarasinghe et al., 2015). Kehilangan habitat sering kali terjadi bersamaan dengan perkembangan pemukiman manusia, yang meningkatkan intensitas aktivitas manusia di sekitar badan air yang dihuni buaya. Faktor iklim, seperti suhu harian dan curah hujan, juga dapat memengaruhi serangan, misalnya melalui interaksi antara waktu yang lebih lama dihabiskan manusia di air selama cuaca panas dan pengaruh suhu yang lebih tinggi terhadap fisiologi buaya, seperti peningkatan laju pencernaan (Powell et al., 2020).

Menggabungkan data ekologis dengan dimensi sosial dari konflik manusia-satwa liar dapat menjadi alat yang efektif untuk mengidentifikasi area prioritas intervensi (Glvez et al., 2018; Struebig et al., 2018). Toleransi terhadap satwa liar adalah konsep sosial yang banyak diterapkan dalam studi hubungan manusia-satwa liar (Kansky et al., 2016). Toleransi adalah penerimaan pasif terhadap populasi satwa liar, sedangkan intoleransi terjadi ketika satwa liar dianggap tidak dapat diterima, yang mengarah pada tindakan merugikan atau menghilangkan populasi tersebut (Bruskotter dan Wilson, 2014; Kansky et al., 2016).

Konsep toleransi bisa berbasis pada aspek sikap (seperti sikap negatif) atau perilaku (seperti pembunuhan balas dendam) (Bruskotter dan Wilson, 2014). Namun, mengukur toleransi di seluruh lanskap yang luas merupakan tantangan. Penilaian terhadap pelaporan media massa dapat membantu mengatasi masalah ini karena media berperan penting dalam mencerminkan dan membentuk pandangan serta sikap pembaca (Boissonneault et al., 2005; Hughes et al., 2020; Sabatier dan Huveneers, 2018).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun