Mohon tunggu...
N. Setia Pertiwi
N. Setia Pertiwi Mohon Tunggu... Seniman - Avonturir

Gelandangan virtual

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Pilihan

Cara Cegah Anak Kecanduan Gawai ala "Technogeek" Silicon Valley

26 April 2021   06:43 Diperbarui: 27 April 2021   12:49 300
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Generasi Alfa - Ilustrasi oleh N. Setia Pertiwi

Cegah anak kecanduan gawai, dengan menanamkan 5 skill penting di abad ke-21. Seperti apa? Yuk, belajar dari Steve Jobs, Bill Gates, dan technogeek lainnya!

***

Bersamaan dengan pandemik COVID-19, orang tua generasi alfa [1] harus menghadapi tantangan yang memusingkan. Ketika tagar #dirumahaja berseliweran, kita sama-sama harus muter otak untuk menjaga kewarasan, sambil sekuat tenaga mencegah anak kecanduan gawai.

Hm, tunggu. Apakah istilah "kecanduan" jadi terlalu berlebihan dan konservatif? Tidak juga.

Karena, di balik kemudahan teknologi yang kita terima, terdapat pusaran bisnis yang tengah berlomba-lomba untuk memengaruhi dan menarik perhatian para penggunanya [2].

Ya ... kita sepakat, teknologi jadi makin pervasif dan persuasif. Dengan kata lain, memang sengaja didesain untuk membuat kita kecanduan, hingga sulit melepaskan gawai [3].

Dan, kemajuan yang pesat ini, cepat atau lambat, dapat membentuk 4 tipe manusia di masa depan:

  • Satu, orang-orang yang terbawa arus teknologi. Tanpa sadar, membiarkan teknologi memengaruhi preferensi, konsumsi, hingga persepsi mereka.
  • Dua, orang-orang yang merayakan perkembangan teknologi, dan menggunakan teknologi untuk memenuhi kebutuhan hidup, baik sosial maupun finansial.
  • Tiga, orang-orang yang menjalani hidup dengan prinsip yang kuat, dan secara sadar "tidak terdistraksi". Sehingga, mereka hanya memanfaatkan teknologi untuk memudahkan sebagian aktivitas, sesuai kepentingan dan kebutuhan.
  • Empat, orang-orang yang berkiprah dan turut serta mengembangkan teknologi, dengan segala kebaikan dan ketidakbaikan yang menyertainya. Sebut saja, mas-mas dan mbak-mbak technogeek di Silicon Valley.

Gambaran kasarnya kira-kira begitu.

Jadi, kalau kita abai dan kurang hati-hati, generasi alfa berisiko jadi golongan satu, yaitu konsumen bingung yang mudah terpesona, dan menclok sana-sini. Kalau pakai istilah jadul sih "korban iklan".

Akibatnya, FOMO (fear of missing out), jadi gaya hidup sehari-hari, dan bisa berdampak negatif pada kesehatan fisik, finansial, hingga mental.

Baca juga: Antara FOMO dan JOMO, Kamu Tipe yang Mana?

Maka, agar tidak terombang-ambing oleh kepentingan di balik megahnya industri teknologi, setiap anak generasi alfa butuh bantuan dari kita semua. Yuk, cegah anak kecanduan gadget, sejak usia dini, dan sejak saat ini.

Cegah Anak Kecanduan Gawai ala Silicon Valley

Sebagian orang tua menganggap bahwa gen alfa butuh gawai paling canggih, agar tampak keren dan kekinian. Ada pula yang meyakini, bahwa gen alfa perlu media sosial dengan jutaan follower, biar hits dan banyak teman. Konon, sekolah pun wajib menggunakan teknologi dengan maksimal, dalam setiap KBM dan ruang kelasnya.

Tapi ... apa benar harus demikian?

Sebelum membahas lebih jauh, sebaiknya sepakati dulu, bahwa gawai yang kita bicarakan saat ini, mencakup perangkat dengan layar, seperti telepon pintar, laptop, tablet, dan sejenisnya, ya.

Meskipun masih termasuk gawai, kita tidak sedang membahas kulkas, kipas angin, AC, ataupun mesin cuci. Lagipula, belum ada berita soal kasus anak kecanduan cuci baju, kan.

Jadi, agar lebih mudah, kita bahas ini dengan frasa "anak main gawai".

Oke, sip.

Berkaitan dengan fenomena anak main gawai seharian, dan para orang tua yang menyediakan aneka gawai tercanggih untuk anak-anak mereka, ada beberapa fakta penting yang jarang orang ketahui, antara lain:

  • Steve Jobs, pendiri, sekaligus CEO Apple (hingga akhir hidupnya tahun 2012), menyatakan bahwa ia melarang anak-anaknya menggunakan iPad rilisan terbaru. Pada sebuah wawancara dengan reporter New York Times, beliau bahkan mengatakan bahwa keluarganya membatasi penggunaan teknologi bagi anak-anaknya di rumah [4].
  • Bill Gates, pendiri dan mantan CEO Microsoft pun demikian. Bahkan, ia pernah melarang anak perempuannya menggunakan gawai, ketika menunjukkan tanda-tanda adiktif pada sebuah game. Beliau juga tidak mengizinkan anak-anaknya punya telepon pintar hingga berusia 14 tahun [5].
  • Evan Spiegel, pendiri dan CEO Snapchat bahkan hanya mengizinkan putra mereka yang berusia 7 tahun untuk main gawai selama 1,5 jam/minggu! [6]
  • Sundar Pichai, yang menjabat sebagai CEO Google sejak tahun 2015, juga belum memberikan telepon pintar pada anaknya yang berusia 11 tahun, dan menjauhkan televisi untuk membatasi penggunaannya [7].
  • Tim Cook, pengganti Steve Jobs sebagai CEO Apple, tidak percaya bahwa penggunaan teknologi secara bebas dapat menggiring pada kesuksesan. Beliau pun kontra terhadap penggunaan teknologi secara berlebihan di sekolah. Dan, meski tidak memiliki anak, beliau juga membatasi penggunaan media sosial untuk keponakannya [8].
  • Satya Nadella, CEO Microsoft sejak 2014, juga memberlakukan pembatasan dan pengawasan ketat terhadap aktivitas anaknya di depan layar, sehingga mereka dapat bernegosiasi untuk menentukan jumlah dan jenis film, serta video game bagi anak-anaknya [9].
  • Mark Cuban, pemilik Dallas Mavericks, Landmark Theatres, dan Magnolia Pictures, serta pimpinan AXS TV, juga menerapkan taktik negosiasi dengan mengizinkan putrinya menonton Netflix selama 2 jam, sebagai kompensasi atas membaca buku selama 1 jam. Dan, putranya boleh bermain Minecraft, jika telah menonton video tentang matematika atau memecahkan persoalan matematika [10].

Masih kurang?

Lebih luas dari jajaran pemimpin di dunia teknologi, technogeek lain di Silicon Valley pun ternyata membatasi pemakaian gawai bagi anak-anak mereka. Bahkan, mereka bikin kontrak "no-phone" untuk pengasuh yang mereka pekerjakan, demi mencegah anak kecanduan gadget [10].

Apakah Sekolah Harus "High-tech"?

Kita sudah sama-sama tahu kondisi "pergawaian" pada anak-anak sekolah di Indonesia. Nah, daripada membahas yang telah bias, bagaimana kalau kita bercermin pada sekolah elite di Silicon Valley, sebagai pusat teknologi dunia?

Karena, ternyata oh ternyata ....

Senada dengan upaya para orang tua, sekolah elite di Silicon Valley, seperti Waldorf School di Mountain View justru memiliki prinsip yang kuat untuk menjadi "low-tech" [11].

Mereka berkomitmen menggunakan papan tulis dan kapur, alih-alih LCD atau hologram. Di sekolah, para murid juga tidak belajar ngoding, melainkan fokus pada keterampilan fisik dan soft skill yang penting, seperti kerja sama dan menghargai orang lain [11].

(Kabar baiknya, pendidikan ala Waldorf yang meminimalisir penggunaan teknologi, dan mengutamakan life skill, juga sudah hadir di Indonesia. Selengkapnya, dapat Anda baca di sini: Sekolah Waldorf Kini Hadir di Indonesia)

Selain itu, sekolah elite lainnya, Brightworks School di San Francisco, juga tidak mengajarkan kreativitas melalui laptop maupun internet. Justru, mereka memicu kreativitas murid melalui prakarya, serta membuat ruang kelas yang menyerupai rumah pohon [11].

Di sisi lain, penerapan Summit Learning, berupa kurikulum berbasis teknologi, pada sekolah negeri (public school) di Kansas, justru menuai protes keras. Terutama, ketika para murid mulai pulang dalam kondisi sakit kepala, kram, dan mengalami peningkatan ansietas [12].

Meski "konon" dapat mendukung pendidikan yang lebih unik dan personal, sistem pembelajaran daring justru membuat para murid menjadi lebih individual, stres, dan kehilangan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan interpersonal [12].

Waduh, kalau begitu ... Mari kita tarik napas dulu dan sejenak mempertanyakan:

  • Satu, apakah orang tua Silicon Valley mengetahui dampak negatif dari teknologi yang mereka kembangkan, hingga membatasi pemakaian gawai bagi anak-anak mereka?
  • Dua, jika teknologi dalam konteks pembelajaran bisa jadi merugikan, bagaimana dengan hiburan?
  • Tiga, bagaimana caranya agar anak kita tidak kecanduan gadget?

Lanjut bahas, yuk.

Kualitas Utama Untuk Hadapi Teknologi

Untuk pertanyaan satu dan dua, kita dapat menganggapnya retoris.

Tapi ... mari kita bahas pertanyaan ketiga. Bagaimana agar anak tidak kecanduan gadget? Atau, bagaimana agar kita, sebagai orang tua, tidak lebih dulu kecanduan gadget? Nah, lho.

Kalau kita tinjau secara umum ... generasi alfa membutuhkan satu kualitas utama, yaitu "indistractable". Bahasa Depoknya, "tidak mudah terdistraksi", atau kita sederhanakan saja menjadi "tidak mudah terpengaruh".

Karena, dengan teknologi, khususnya AI (artificial intelligence), bersama seluruh data yang mereka miliki, akan sangat mudah mengetahui preferensi dan ketertarikan kita. Meski di satu sisi dapat membantu kita menemukan informasi dengan lebih tepat dan akurat, AI juga mampu menggiring kita pada euforia tanpa henti, demi kepentingan bisnis mereka [3].

Hayoo, seberapa sering kita terjebak dalam aktivitas "scroll ... scroll ... scroll ... " atau "klak, klik, klak, klik" tanpa henti, di media sosial dan marketplace?

Seiring waktu, bukan tidak mungkin AI juga dapat memengaruhi arah pikiran kita. Perlahan, menanamkan informasi yang dapat menggiring kita pada persepsi atau dogma tertentu.

Lantas, apakah pengembang teknologi itu "orang jahat"? Bisa jadi iya, bisa jadi tidak.

Tapi, spekulasi itu kurang berguna. Toh, setiap manusia memiliki kedua sisi hitam dan putih dalam dirinya.

Yang jelas, mereka "perlu" membuat orang-orang kecanduan gawai. Karena, ada bisnis yang harus terus berjalan, dan karyawan Silicon Valley yang juga perlu gajian.

Jadi, sesuai prinsip Ataraxia, kembali saja pada diri sendiri. Kita harus memiliki kesadaran dan kontrol diri yang baik, agar tidak mudah terdistraksi oleh tang ting tung notifikasi yang berbunyi sepanjang hari.

5 Skill Wajib Generasi Alfa untuk Abad ke-21

Seperti yang sebelumnya telah disebutkan, sebagian orang tua, mendidik anak-anaknya (dan balita-balitanya) untuk high-tech dan tidak kudet. Tapi, orang tua Silicon Valley malah mendidik anak-anak mereka secara low-tech [11].

Jadi, kita tidak perlu khawatir ketinggalan zaman.

Lagipula, meski tidak kenal Pow dan Talking Tom, anak-anak generasi alfa tidak akan gaptek, kok. Karena, gawai-gawai terbaru sudah sangat user friendly. Mudah digunakan, mudah dipelajari, dan mudah dieksplorasi.

Yang perlu kita persiapkan, justru mental dan pengetahuan, agar anak lebih tangguh, tidak mudah terpengaruh, dan terjaga dari kecanduan gadget.

Dan, untuk mewujudkannya, berikut ini 5 skill yang diperlukan generasi alfa sejak usia dini:

1. Mengatur waktu

Dalam pemakaian gawai, kita mengenal istilah "screen time". Untuk anak usia 0-5 tahun, WHO telah mengeluarkan rekomendasi screen time yang dapat Anda baca pada tautan ini: WHO Guidelines

Sementara itu, untuk anak-anak yang lebih besar, mereka perlu berlatih untuk mengatur waktunya sendiri. Dan, orang tua dapat bertindak sebagai pemberi saran atau teman diskusi.

Anak-anak perlu memahami, bahwa waktu sangat terbatas. Setiap jam, menit, hingga detik, begitu berharga dan harus mereka manfaatkan dengan optimal.

Apabila memutuskan untuk main gawai dalam waktu yang lama, ia akan kehilangan kesempatan untuk melakukan hal yang lebih menyenangkan, seperti berenang, ketemu teman, membuat prakarya, dan waktu kebersamaan dengan kedua orang tuanya.

2. Mengendalikan diri

Kita perlu memberi pengertian pada anak-anak generasi alfa, bahwa media sosial, game, dan berbagai platform daring, sengaja didesain oleh orang-orang yang sangat pintar, untuk membuat penggunanya terus-menerus menggunakan gawai [3].

Anak-anak juga perlu mengetahui, bahwa di balik kesenangan dan euforia yang tersaji dalam game dan media sosial, ada orang-orang yang sengaja mengambil keuntungan dari waktu dan perhatian yang kita korbankan.

Sehingga, kita tidak boleh lengah.

Pastikan, anak-anak dapat mengendalikan diri untuk berhenti, ketika telah mencapai batas waktu penggunaan gawai yang telah disepakati. Kita juga perlu mengingatkan, agar anak-anak tidak asal pencet iklan dan hal-hal lain yang belum mereka pahami.

3. Berpikir kritis

Terdapat limpahan informasi yang menarik dan meluap-luap di internet. Namun, kita sama-sama tahu bahwa tidak semuanya akurat dan bermanfaat.

Karena itu, setiap anak perlu latihan berpikir kritis dan mengetahui bahwa tidak semua informasi dapat ia percayai.

Ajari mereka untuk memahami suatu ide secara komperhensif, merenungkan, dan mencari informasi tambahan dari sumber yang kredibel, sebelum mempercayai atau memberi reaksi.

4. Menjaga privasi

Media sosial dan berbagai platform daring, sering kali meminta kita untuk mengetik informasi dan data diri secara lengkap. Belum lagi, perkara unggah foto, riwayat hidup, hingga aktivitas sehari-hari.

Padahal, meski like dan komentar membanjiri, perhatian dari warganet begitu mudah teralihkan. At the end of the day, kita hanya menjadi sebutir gogrokan peyek di antara remah-remah rengginang dan serpihan wafer.

Malahan, ketika foto dan data itu tersebar, tanpa sadar kita telah kehilangan privasi, dan bisa jadi, suatu hari menyesal apa-apa yang kita unggah di ruang publik.

Belum lagi, informasi yang kita berikan dapat memancing berbagai tindak kejahatan. Jadi, peringatkan anak-anak sebelum terlambat ya, Ibu dan Bapak.

5. Diskusi dan negosiasi

Anak-anak perlu belajar mengambil keputusan. Namun, mereka juga harus berlatih mendengar dan mengutarakan pendapat.

Apabila mereka ingin menonton suatu film, memilih game, mencoba suatu aplikasi, atau menambah screen time, cobalah membangun diskursus dan negosiasi.

Kondisikan pertukaran pendapat antara anak dan orang tua. Sehingga, ibu-ibu, bapak-bapak, dan anak-anak, dapat saling memaklumi dan memahami persepsi masing-masing, terkait pemakaian gawai.

***

Semangat berjuang, para orang tua!

Tidak perlu juga merasa bersalah berkepanjangan, jika terpaksa memberi gawai pada balita, demi menjaga kewarasan bersama, ya. Ssst, kita sama-sama tau aja.

Lagipula, saya yakin, Ibu dan Bapak tentu selalu berusaha untuk mengajak Si Kecil beraktivitas fisik, atau mendampingi mereka menyelesaikan lembar kerja anak yang butuh lebih banyak konsentrasi.

Jadi, kita tidak perlu menganggap screen time yang berlebihan sebagai kegagalan. Anggaplah, perkara ini tantangan untuk menjadikan keluarga kita senantiasa lebih baik, dari hari ke hari.

Demi anak, keluarga, dan generasi.

***

Referensi:

  1. Generasi alfa: anak-anak yang lahir setelah tahun 2010.
  2. Carr, Nicholas. 2010. The Shallows: Internet Mendangkalkan Cara Berpikir Kita?. Bandung: Mizan.
  3. Alter, Adam. 2017. Irresistible: The Rise of Addictive Technology and the Business of Keeping Us Hooked. New York: Penguin Press.
  4. The New York Times - Steve Jobs Was a Low-Tech Parent
  5. Mirror - Billionaire Tech Mogul Bill Gates Reveals He Banned His Children from Mobile Phones until They Turned 14
  6. Business Insider Singapore - Snapchat Founder Evan Spiegel and Wife Miranda Kerr Only Allow Their Seven-year-old Child to Have 1.5 Hours of Screen Time per Week
  7. The New York Times - Sundar Pichai of Google: 'Technology Doesn't Solve Humanity's Problems
  8. The Guardian - Apple's Tim Cook: 'I don't want my nephew on a social network'
  9. Good Housekeeping - Satya and Anu Nadella Open Up About Their Family Life
  10. Business Insider Singapore - WHO just released screen-time guidelines for kids. Here's how some of the world's most successful CEOs limit it at home
  11. Business Insider Singapore - Bill Gates and Steve Jobs raised their kids tech-free - and it should've been a red flag
  12. The New York Times - Silicon Valley Came to Kansas Schools. That Started a Rebellion

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun