Seorang penyendiri sekalipun, punya keinginan untuk berinteraksi dengan orang lain dan diterima oleh lingkungan sosial. Terlebih, dalam masyarakat komunal seperti Indonesia. Keinginan untuk menjadi sosok terpandang dan dianggap asyik sebagai anak tongkrongan ini pun sering kali memicu terjadinya FOMO.
3. Kesepian
Ironisnya, rasa kesepian tidak selalu berkorelasi dengan kesendirian. Dalam kumpul keluarga, di tengah alun-alun, bahkan pesta ulang tahun sendiri, orang-orang bisa merasa kesepian. Tanpa sadar, tangan mulai tremor mencari gawai, lalu berselancar di linimasa media sosial. Mencari keramaian, yang tanpa sadar, malah menggiring kita dalam kesepian yang lebih dalam.
4. Ketidakpuasan hidup
Rutinitas berangkat pagi -- pulang sore, rebahan di sepanjang hari libur, serta tanggung jawab yang (konon) meluluh-lantakkan idealisme, dapat menimbulkan ketidakpuasan hidup. Perasaan ini, bahkan dapat hinggap pada orang-orang populer dan kaya raya yang jadi tontonan jutaan umat manusia.
Istilahnya, rumput tetangga tampak lebih hijau. Terasa purba, namun sungguh lintas masa.
Dan, media sosial begitu menggoda, bukan? Indah, gemerlap, dan bahagia. Di sana, kita mencari sesuatu yang nampak lebih istimewa, daripada hidup medioker yang berlangsung seperti biasa, dengan orang yang itu-itu saja.
5. Ansietas
Ketika suntuk, bosan, atau kesal, ada orang-orang yang mencari hiburan dengan menikmati hingar-bingar media sosial. Namun, (sialnya) ansietas tersebut bisa menajdi semakin parah karena baper dengan twitwar, dengki melihat kebahagiaan orang, atau menemukan opini yang bertentangan dengan prinsip pribadi. Akhirnya, malah jadi scroll-scroll tanpa henti, akibat terjebak dalam lingkaran setan:
Gelisah >> cari hiburan >> scrolling >> tambah gelisah >> cari hiburan lagi >> scrolling lagi >> masih gelisah >> masih cari hiburan >> masih scrolling >> terus scrolling >> terus gelisah >> kapan selesainya?
***