Aku memekik, laki-laki gondrong bermata elang duduk bersila di sampingku, menyesap kopi yang masih mengepul.
"Mau?" Tangannya menyodorkan cangkir.
Aku menggeleng. Tertegun, dengan pikiran yang menderu. "Kamu siapa?"
"Hei, itu pertanyaanku. Cuma dibalik," ujar laki-laki itu, tersenyum tipis, sembari merapikan ujung kemejanya yang terlipat tidak karuan. "Sebaiknya kamu jawab, karena upayaku melepaskan diri dari cengkraman tiga perempuan haus darah itu bukan perkara mudah."
"Apakah kamu tahu apa yang mereka lakukan?"
"Sedikit. Tapi, sebaiknya kita barter informasi. Pertama, ceritakan tentang dirimu."
"Aku? Aku ... En. Pembantu Nyonya Desol, eh ... Â Deasy."
"Selain itu?"
"Maksudnya?"
"Kamu pasti punya identitas lain, kan?"
Pertanyaan ganjil itu, mengirim sinyal aneh pada ingatanku. Ada kepingan-kepingan peristiwa yang bergulungan, terhempas, lalu lenyap. Tak tersentuh, tak menyentuh. Persis buih-buih lautan yang terus berkejaran tanpa pernah menyatu bersama pantainya.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!