"Ya Allah, tolong hentikan hujan ini. Rinai takut, rumah kami bisa tenggelam."
Mendengar itu, waktu seperti mematung, aku remuk saat itu juga. Segala harapan jungkir balik. Aku jelas bukan hujan yang baik.
Berkali-kali, aku patah hati.
Sampai hari ini.
Rinai telah beranjak dewasa. Dia tidak lagi tinggal bersama Ibuk dan Bapak. Tanah rantau telah memanggilnya untuk berkemas dan bergegas. Aku ikut. Sejak Rinai hidup di kota ini, media massa ramai memberitakan tentang curah hujan yang meningkat drastis.
Dari beranda kamar barunya, Rinai seringkali menatap langit dengan pilu yang kusangka rindu. Aku turun, menyapa.Â
Tapi, baru saja gemuruh menyelimuti kota, Rinai mundur dan buru-buru masuk. Melalui jendela, aku melihatnya meringkuk di balik selimut.
Segala yang aku lakukan tidak pernah membuatnya senang.
"Angin, apa yang harus aku lakukan? Aku tidak ingin membuat Rinai terus-terusan takut," tanyaku.
Angin berembus pelan ke kanan dan ke kiri. Itu yang ia lakukan ketika sedang berpikir. Bergerak anggun, mengayun ranting, meninabobokan makhluk-makhluk letih hingga terpejam.
"Rinai harus mengingat saat-saat indah kalian dan melupakan kejadian buruk itu," ujar Angin bernada bijak.