Mohon tunggu...
Suprihati
Suprihati Mohon Tunggu... Administrasi - Pembelajar alam penyuka cagar

Penyuka kajian lingkungan dan budaya. Penikmat coretan ringan dari dan tentang kebun keseharian. Blog personal: https://rynari.wordpress.com/

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Rasa Bahasa, Elemen Penciri Diri Penulis

8 Oktober 2020   17:16 Diperbarui: 9 Oktober 2020   15:30 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokumen olahan pribadi

Bagi simbok yang doyan ngemil, Kompasiana bagaikan Pujasera. Pujasera yang Pusat Jajanan Serba Ada? Sebelum dijewer petinggi Kompasiana, mari simak narasinya.

Kompasiana menaungi ratusan ribu kompasianer. Hendak mengutip data di profil beranda laman, sayang datanya per Desember 2017. Masing-masing kompasianer memajang karya laiknya membuka lapak di pujasera.

Menurut mbak Widha Karina saat blogshop Maret 2020, setiap harinya terunggah 631 artikel yang mengisi aneka kategori. Itulah parade karya yang siap disantap oleh pengunjung eh pembaca. Mulai terbayang kan ya khayalan simbok, Kompasiana bagaikan Pujasera.

Pembaca berkelana antar lapak, mencicip cita rasa sajian, terpukau dengan tatanan sajian. Tidak jarang mengobrol ringan saling goda canda dengan empunya lapak. Yaak penyaji tulisan dikenali dengan rasa bahasa artikelnya.

Rasa bahasa menyapa pembaca

Bagaimana bahasa memiliki rasa? Melibatkan gaya bahasa seorang penulis menyapa pembaca. Mengemas dan menyampaikan ide dalam pikiran dalam tulisan. Terjadi transfer energi gagasan dari penulis kepada pembaca.


Sebagai sapaan kepada pembaca, terasa aneka kesan. Mulai dari sapaan ringan ramah, ada juga yang membuhul ikatan rasa keterikatan gagasan. Merawat ikatan rasa dengan pembaca melalui gaya bahasa penulisan.

Gaya bahasa mengandung aspek seni meramu bahasa, kadang melampaui kaidah berbahasa. Bahasa merupakan sarana berkomunikasi. Bukan hanya melulu mengikuti kaidah bahasa namun juga melalui rasa. Rasa menjadi penyampai sapa.

Awal saya ngeblog 28 Agustus 2011 di wordpress, menulis perdana di Kompasiana Oktober 2016. Terbitan secara berkala, alias kala-kala, karena banyak mangkirnya. Meluntakkan bahasa penulisan melalui artikel. Menyapa dan bertegur sapa dengan pembaca. Mendapat loloh balik dari sahabat pembaca, "gaya bahasa simbok, lucu", mungkin artikulasi lain dari aneh.

Ada warna gaya bahasa laporan kebun atau notulensi kegiatan kelompok. Format baku dengan pola pelaporan searah. Membuat artikel selaras dengan apa yang penulis mau. Terdapat peluang membuat tulisan berjarak dengan pembaca.

Lah, apakah sekarang menjadi bergaya bahasa yang ramah menyapa pembaca? Pastinya belum dan masih sangat jauh. Memerlukan proses panjang tanpa bosan untuk belajar menulis dan menulis sehingga memperoleh komposisi yang tepat.

Mari mencicip artikel: Belajar Rasa Bahasa di Kompasiana

Bersyukur di Kompasiana dapat belajar aneka gaya bahasa dari para penulis. Gaya bahasa menyapa pembaca melalui ramuan artikel. Ragam rasa manis membelai, gurih renyah, sedap mantap menyantap sajian hingga suapan terakhir.

Pembaca Kompasiana pasti merasakan aneka gaya bahasa antar penulis. Merasakan sapaan, meresponnya dari lambaian tangan persahabatan hingga betah berkali-kali melahap sajiannya.

Belajar mencecap rasa untuk evaluasi diri. Bagaimana ya mengemas rasa bahasa agar tidak terlalu hambar. Mengurangi sajian yang terasa alot menjadi lebih empuk. Mengemas artikel menjadi sapaan yang ramah pembaca.

Meracik rasa bahasa

Bakat atau pembawaan lahir kah rasa bahasa itu? Mengapa bagi beberapa orang berbahasa melagu indah sejak kecil? Hehe... itu cara simbok mengelak untuk berproses belajar. Memang ada faktor genetis, namun faktor mau belajar mestinya juga berkontribusi.

Hanya amatan selintas, mencoba menggali aneka cara meracik rasa bahasa. Semoga para pembaca berkenan menambahkannya melalui kolom komentar. Atau malah menjadi artikel unggahan.

  • Penguasaan materi. Racikan bahasa akan mengalir lebih enak apabila penulis menguasai materi yang ditulis. Ajakan menulis yang disukai dan dikuasai menjadi sangat relevan. Penulis seolah tinggal mengeluarkan isi hati dan pikiran sehingga rasa bahasa menjadikan pesan lebih tersampaikan.
  • Menikmati sajak. Sajian sajak memuat pesan mendalam dengan racikan rasa bahasa yang indah, kontemplatif, melodik, serta inspiratif. Menyadari tidak berbakat dan belum mampu menulis sajak tidak mengapa. Tersedia begitu banyak sajak yang dapat kita nikmati, kita serap rasa bahasanya.
  • Menikmati lagu. Lagu juga merupakan naskah yang disajikan secara melodik. Perasan gagasan yang disampaikan dengan singkat, puitik dibarengi oleh nada. Mengulik syair lagu dilatar oleh lantunan nada, pendengar menyesap rasa bahasa.
  • Belajar dari alam. Sesekali sahabat pergi ke alam, semisal hamparan sawah. Sahabat akan merasakan melalui indera penglihatan, penciuman, pendengaran. Kerisik daun padi tertiup angin. Cerecet malu burung gelatik yang malu ketahuan petani saat ia mencuri sebagian bulir padi. Apapun itu, mengasah kepekaan rasa bahasa.

Rasa bahasa elemen penciri diri

Tidak jarang seorang penulis dikenali melalui rasa gaya bahasanya. Gaya bahasa merupakan resultante, hasil ramuan pengalaman menulis. Diwarnai oleh latar belakang dan visi hidup sang peracik kata.

Rasa bahasa menjadi salah satu kekuatan pembeda antar penyaji artikel. Saling melengkapi pembaca untuk membentuk pemahaman yang lebih komprehensif. Memperkaya rasa bagi penikmatnya.

Ibarat penyajian soto ayam kampung di Pujasera, weladalah kembali ke hobi makan. Antar lapak memiliki kekhasan rasa. Penyantap soto dapat tetap menikmati masing-masing keunikan rasa. Keunikan yang menjadi penciri lapaknya.

Setiap penulis bebas menjadi dirinya sendiri dalam meracik rasa bahasa. Ragam rasa bahasa yang akan memperkaya esensi berbahasa sebagai bagian komunikasi. Rasa bahasa puitis nyaman dengan gaya bahasa humor.

Bagaimana dengan simbok yang berwadag maya Limbuk dalam ber-Kompasiana? Simbok tidak malu menggunakan rasa bahasa kebun. Asal tetap merdesa yaitu layak, patut nan sopan.

Mari singgah di lapak: Limbuk Belajar Menulis di Kompasiana

Ngeyel tidak sungkan berteriak ala penghalau burung di sawah saat jelang panen. Menggunakan pakem yang kadang sumbang. Racikan bahasa yang semoga tidak terlalu menyimpang dari kaidah berbahasa.

Rasa bahasa simbok adalah bahasa kebun keseharian. Gaya ini pula yang dituangkan dalam ber-Kompasiana. Gaya bahasa nge-blog ala kebun menjadi bagian warna-warni Kompasiana.

Apakah menjadi ancaman rusaknya Bahasa Indonesia? Bagian dari sengkarut bahasa ngeblog? Hwaduh apa iya sih? Bahasa Indonesia, sependek pengetahuan simbok sangat akomodatif terhadap bahasa daerah termasuk kelokalan kebun.

Menyemai bibit cinta bahasa. Menyiangi kosakata gulma pengganggu. Menyuguhkan panenan ragam gaya bahasa menyapa pembaca sekaligus memperkuat elemen penciri diri.

Simbok dari lapak Limbuk kebun di Pujasera Kompasiana, menghaturkan apresiasi kepada pembaca Kompasiana yang berkenan singgah. Semoga tidak kapok eh jera mencicip racikan rasa bahasa kebun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun