Mohon tunggu...
Nahariana P
Nahariana P Mohon Tunggu... -

segelas coklat panas dan sepotong muffin

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

WPC 6-Awan

8 Juni 2012   09:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:15 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

WPC 6, Awan

By : NP
Pagi ini kudaki salah satu perbukitan di selatan kota. Bukit ini pulalah yang sejak kedatanganku kemarin sore melambai-lambai, menyapa dan mengucapkan 'wellcome home' padaku. Ternyata waktu berjalan begitu cepat sejak terakhir kali aku di sini bersama Awan.
Awan??? Bagaimana denganmu sekarang?
Di puncak bukit ini, 4 tahun lalu kau dan aku menyambut fajar, mencumbui embun, dan bersenggama dengan semburat cahaya pertama. Namun kini, aku sendiri_hanya bertemankan kamera saku pemberianmu. Sayangnya, pagi ini fajar malu-malu menyapa_dan ia memilih bersembunyi di balik selimut kabut.


"Lihat! Jelek sekali..." gumamku yang diamini semilir angin yang menggoyang tubuh ilalang liar.
"Apa yang perlu ditakutkan dari kabut, Rainna? Nanti siang pasti cuaca cerah." Aku seperti mendengar suaramu menelikung gendang telingaku.
"Bagaimana kau tahu nanti siang pasti cerah? Apa kau bilang, 'pasti'? Kepastian hanya milik Tuhan, Wan."
"That's called hope. Dan harapan adalah sebentuk doa. Bukankah Tuhan menjanjikan, barang siapa meminta kepadaNya, Dia akan memberi?"
***

1339212316168726113
1339212316168726113

"Benarkan kataku? Siang ini begitu cerah."
Aku mengagguk. Di sana, di bukit yang tadi pagi kita singgahi nampak begitu cerah. Terik cahaya dzuhur tak kan mampu mengahlangi tanganku yang tergoda untuk mengabadikan gulungan awan memakai kamera saku pemberianmu.
"Biru! Putih! Dua warna favorit kita," pekikku. "Tapi... Awan? Awan? Kau di mana? Awaaan..."
***

13392123491837076614
13392123491837076614

Aku menunggumu. Awan, datanglah...
Dan benar, kau datang lagi. Berbodong-bondong dan bergumpal, memenuhi langit biru yang siang tadi masih dipenuhi rasa enggan dan malu. Lalu, ashar ini kau datang dengan segala daya pikat yang menggoda. Aku terpesona.
"Awan, terimakasih."
***

13392124521836310093
13392124521836310093

Langkahku terhenti pada plang bertuliskan 'STUDIO AWAN'. Lampu lava yang nampak remang dari luar arena seolah memendarkan magnet kemudian menarikku untuk memasuki studio itu.
'Lampu lava biru,' batinku.
"Ada yang bisa dibantu, Mbak?" seorang wanita menyapaku ramah. Aku urung menatapnya karena mataku terpaku pada foto pre-wedd yang terpampang mencolok diantara hiasan dinding yang begitu artistik.
"Oh, kami juga melayani foto pre-wedd hingga acara resepsinya," kembali wanita itu merepet di dekat telingaku.
Bukan, bukan itu mauku. Tapi aku pernah berada 'di balik layar' pengambilan foto itu_meski hanya sebagai pemegang reflektor!
"Mbaknya pemilik studio ini?" Wanita itu mengangguk. "Foto pre-wedd itu Mbaknya yang ngambil?"
"Bukan. Itu salah satu koleksi kami. Sayang, sejak seblan lalu tukang fotonya tak bisa aktif lagi. Padahal dia begitu profesional, baik jam kerjanya maupun hasil fotonya."
Aku terus mengejar dengan arah puncak menuju identitas fotografer itu. Demi 'kode etik', pencarianku stuck sampai di situ. Namun ...
"Maaf, Mbak. Saya angkat telefon dulu," ucap wanita itu ketika telefon berbunyi. "Rumah Sakit Kota, ruang Dahlia... Awan baik-baik saja kan, Pa... Iya. Nanti Mama ke ..."
Rumah Sakit Kota? Awan? Aku bergegas keluar tanpa permisi dan tanpa peduli kelanjutan perbincangan melalui kabel teefon itu. Aku berharap bisa menemukan jejak Awan. Dan senja hari ini yang semakin matang, kutemukan langitku berbintik-bintik awan. Kelabu.
***

Setelah bertanya ke sana ke mari  kepada resepsionis maupun perawat jaga yang kutemui di lorong RS Kota, akhirnya kutemukan tempat tujuanku. Langkah kakiku berhenti tepat di bawah tulisan 'Ruang Dahlia'. Ada rasa was-was karena aku akan menemukan setitik jejakmu. Pun aku khawatir jika yang kutemukan nanti adalah kamu.
"Permisi, Mbak," suara nge-bass terdengar dari balik punggungku.
Aku berbalik 180 derajad. Kulihat lelaki berusia matang mendorong sebuah kursi roda. Di sampingnya berdiri 2 orang lelaki, mungkin temannya. Namun, yang membuatku menahan nafas adalah lelaki di atas kursi roda itu. Kilat kekagetan berpendar dari matanya.
"Permisi, Mbak," ulangnya.
"Awan?" ucapku hampir bersamaan dengan gerak tangan lelaki di atas kursi roda itu yang menahan laju kursi rodanya.
***

1339212488823213091
1339212488823213091

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun