Setelah mengunduh beberapa aplikasi belanja berbasis online ke smartphone, saya merasa hidup sangat mudah dan saya bisa dapatkan apapun hanya dengan modal menggerak-gerakkan jari di layar ponsel--dan saldo yang cukup untuk e-payment. Â
Lihat barang lucu sedikit langsung masuk keranjang, lihat baju trendy langsung check-out. Lihat foto makanan, "wah sepertinya ini enak", langsung pesan. Apapun yang dimau saat satu waktu, langsung didapatkan dengan segera, bahkan di waktu itu juga.
Namun terkadang sering lupa, barang-barang lucu ini fungsinya apa. Apakah benar-benar memuaskan rasa estetika kita? Atau hanya lucu saat dilihat dan dipandang ketika barang itu dipajang di layar tokonya? Setiap model baju baru tidak pernah ketinggalan membeli, apakah baju-baju sebelumnya benar-benar telah membuat kita tidak lagi tampil menarik? Beli makanan serba instan, tak jarang jadi terbuang, karena sebenarnya perut sudah cukup kenyang.
Terpaan iklan untuk menggoda kita berbelanja di masa sekarang benar-benar tak ada hentinya. Ada saja sesuatu yang disampaikan bahwa 'kita harus memiliki gelas cantik ini untuk minum yang lebih segar', padahal saat minum hanya satu gelas yang kita gunakana diantara lusinan gelas yang terpajang berjejer di rak piring.
Tapi kita tak bisa salahkan iklan, batasan "cukup" dalam membeli atau memiliki sesuatu itu ditentukan oleh diri kita sendiri. Masing-masing orang tentunya punya batasan cukup yang berbeda-beda pula.Â
Untuk mendapatkan pemahaman akan batasan cukup itu dan melihat apa sebenarnya yang sedang terjadi di lingkungan kita, meskipun begitu banyak informasi di media yang telah menyebutkan bahwa lingkungan kita sedang sekarat, tumpukan sampah dimana-mana akibat pola hidup konsumtif serta kurangnya pengetahuan dan kemauan untuk memelihara lingkungan, saya memilih mendatangi lokasi tempat pembuangan akhir sampah di kota saya, Bandar Lampung.
Untuk menyiasati izin masuk, saya menyelipkan maksud ini pada salah satu tugas mata kuliah saya, Komunikasi Pembangunan pada akhir tahun 2020 lalu. Saya memilih tema lingkungan. Akhirnya saya bersama seorang teman mendapat surat tugas dan izin untuk melakukan survey kondisi seputar lingkungan dan kelola sampah di kota ini oleh Dinas Lingkungan setempat.Â
Hal pertama saya pikirkan adalah betapa produktifnya kita memproduksi sampah hingga bisa menggunung seperti ini. Tambah kaget lagi saya ketika Kepala UPT Dinas Lingkungan Hidup di sana memberi tahu kalau sampah yang masuk ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) ini bisa mencapai 700-800 ton dalam sehari. Secara umum, ini baru sampah harian seperti plastik, kemasan makanan, hingga sisa makanan. Permasalahannya hingga menjadi sulit diolah itu adalah masyarakat yang tidak memilah sampah dengan baik. Sampah plastik akan sulit diolah ketika bercampur dengan sampah organik seperti sisa-sisa makanan atau sayuran.
Pulang dari sana, saya tidak langsung menjadi orang yang benar-benar hidup minimalis dengan barang secukupnya dan memilih makanan dengan baik, karena saya berpikir ini terlalu sulit. Padahal sebenarnya pilihan nyata ada di depan mata. Sederhana saja, konsep 3R (reduce, reuse, recycle) yang selama ini selalu digaungkan ketika membahas isu lingkungan dan sampah bisa menjadi langkah awal.Â