Mohon tunggu...
Rilla Amanda
Rilla Amanda Mohon Tunggu... Mahasiswa - Actively Job Seeker

Udah lulus malah bingung mau ngapain | Tyring to turn overthinking into a more serious thing

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Seni Hidup Minimalis: Kontribusi untuk Melestarikan Alam dan Bumi

20 Februari 2022   22:06 Diperbarui: 22 Maret 2022   18:10 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah mengunduh beberapa aplikasi belanja berbasis online ke smartphone, saya merasa hidup sangat mudah dan saya bisa dapatkan apapun hanya dengan modal menggerak-gerakkan jari di layar ponsel--dan saldo yang cukup untuk e-payment.  

Lihat barang lucu sedikit langsung masuk keranjang, lihat baju trendy langsung check-out. Lihat foto makanan, "wah sepertinya ini enak", langsung pesan. Apapun yang dimau saat satu waktu, langsung didapatkan dengan segera, bahkan di waktu itu juga.

Namun terkadang sering lupa, barang-barang lucu ini fungsinya apa. Apakah benar-benar memuaskan rasa estetika kita? Atau hanya lucu saat dilihat dan dipandang ketika barang itu dipajang di layar tokonya? Setiap model baju baru tidak pernah ketinggalan membeli, apakah baju-baju sebelumnya benar-benar telah membuat kita tidak lagi tampil menarik? Beli makanan serba instan, tak jarang jadi terbuang, karena sebenarnya perut sudah cukup kenyang.

Terpaan iklan untuk menggoda kita berbelanja di masa sekarang benar-benar tak ada hentinya. Ada saja sesuatu yang disampaikan bahwa 'kita harus memiliki gelas cantik ini untuk minum yang lebih segar', padahal saat minum hanya satu gelas yang kita gunakana diantara lusinan gelas yang terpajang berjejer di rak piring.

Tapi kita tak bisa salahkan iklan, batasan "cukup" dalam membeli atau memiliki sesuatu itu ditentukan oleh diri kita sendiri. Masing-masing orang tentunya punya batasan cukup yang berbeda-beda pula. 

Untuk mendapatkan pemahaman akan batasan cukup itu dan melihat apa sebenarnya yang sedang terjadi di lingkungan kita, meskipun begitu banyak informasi di media yang telah menyebutkan bahwa lingkungan kita sedang sekarat, tumpukan sampah dimana-mana akibat pola hidup konsumtif serta kurangnya pengetahuan dan kemauan untuk memelihara lingkungan, saya memilih mendatangi lokasi tempat pembuangan akhir sampah di kota saya, Bandar Lampung.

Untuk menyiasati izin masuk, saya menyelipkan maksud ini pada salah satu tugas mata kuliah saya, Komunikasi Pembangunan pada akhir tahun 2020 lalu. Saya memilih tema lingkungan. Akhirnya saya bersama seorang teman mendapat surat tugas dan izin untuk melakukan survey kondisi seputar lingkungan dan kelola sampah di kota ini oleh Dinas Lingkungan setempat. 

Foto saya di dekat gunungan sampah yang tak bisa lagi diolah.
Foto saya di dekat gunungan sampah yang tak bisa lagi diolah.

Hal pertama saya pikirkan adalah betapa produktifnya kita memproduksi sampah hingga bisa menggunung seperti ini. Tambah kaget lagi saya ketika Kepala UPT Dinas Lingkungan Hidup di sana memberi tahu kalau sampah yang masuk ke TPA (Tempat Pembuangan Akhir) ini bisa mencapai 700-800 ton dalam sehari. Secara umum, ini baru sampah harian seperti plastik, kemasan makanan, hingga sisa makanan. Permasalahannya hingga menjadi sulit diolah itu adalah masyarakat yang tidak memilah sampah dengan baik. Sampah plastik akan sulit diolah ketika bercampur dengan sampah organik seperti sisa-sisa makanan atau sayuran.

Pulang dari sana, saya tidak langsung menjadi orang yang benar-benar hidup minimalis dengan barang secukupnya dan memilih makanan dengan baik, karena saya berpikir ini terlalu sulit. Padahal sebenarnya pilihan nyata ada di depan mata. Sederhana saja, konsep 3R (reduce, reuse, recycle) yang selama ini selalu digaungkan ketika membahas isu lingkungan dan sampah bisa menjadi langkah awal. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun