Mohon tunggu...
novitasari
novitasari Mohon Tunggu... MAHASISWA

TETAP SEMANGAT GAPAI MASA DEPAN

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kurikulum 2013 : Antara Ambisi Reformasi, Beban Implementasi, dan Kegagalan menjawab Tantangan Zaman

31 Mei 2025   10:40 Diperbarui: 31 Mei 2025   10:33 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

 PENDAHULUAN

Pendidikan adalah alat penting untuk membentuk generasi yang tidak hanya pintar secara intelektual, tetapi juga memiliki karakter yang baik dan keterampilan hidup yang sesuai dengan kemajuan zaman. Dalam konteks tersebut, Kurikulum 2013 (K13) disusun sebagai respons terhadap kebutuhan akan pendidikan yang menyeluruh, fokus pada penguatan nilai-nilai karakter, pendekatan ilmiah, serta pembelajaran aktif yang menekankan pada kompetensi di abad ke-21. Kurikulum ini diharapkan dapat berfungsi sebagai jembatan antara sektor pendidikan dan kebutuhan masyarakat global yang terus berubah.
Namun, dalam pelaksanaannya, Kurikulum 2013 mendapatkan banyak kritik dari berbagai pihak, termasuk praktisi pendidikan, akademisi, serta guru yang berperan penting di lapangan. Ideal yang terdapat dalam dokumen kurikulum sering kali tidak sejalan dengan kesiapan sumber daya manusia, infrastruktur pendidikan, serta dukungan sistem yang cukup. Akibatnya, pelaksanaan K13 sering kali menjadi prosedural, normatif, dan terjebak dalam kebiasaan administratif yang memberatkan para guru.
Keadaan ini menimbulkan pertanyaan penting: seberapa baik Kurikulum 2013 dapat mengatasi tantangan pendidikan modern dan menciptakan siswa yang unggul dan mampu beradaptasi? Artikel ini bertujuan untuk mengulas berbagai kelemahan pokok dari Kurikulum 2013 berdasarkan hasil penelitian empiris dan analisis kritis, yang diakhiri dengan saran perbaikan agar kurikulum nasional menjadi lebih relevan, aplikatif, dan transformatif.

PEMBAHASAN ATAU ISI

A. Aspirasi Reformasi yang Sangat Normatif

Dalam bentuk dokumen, Kurikulum 2013 adalah wujud dari usaha negara untuk menciptakan generasi yang tidak hanya pintar secara pengetahuan, tetapi juga memiliki karakter yang kokoh serta keterampilan sosial yang baik. Kurikulum ini menekankan signifikansi pendidikan karakter dengan mengintegrasikan nilai-nilai seperti religiusitas, nasionalisme, integritas, dan kemandirian dalam proses belajar mengajar. Di samping itu, metode ilmiah yang diterapkan mendorong siswa untuk terlibat secara aktif dalam kegiatan mengamati, bertanya, bereksperimen, berpikir, dan menyampaikan (Kemendikbud, 2013).
Sayangnya, berbagai penelitian menunjukkan bahwa nilai-nilai ideal yang terdapat dalam K13 masih sulit untuk diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Pengajar sering kali kurang memahami filosofi dari pendekatan ilmiah dan hanya menerapkannya sesuai prosedur. Kegiatan pengamatan atau bertanya, misalnya, sering kali hanya dilakukan untuk memenuhi prosedur Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP), tanpa benar-benar mengembangkan kemampuan berfikir siswa (Suharno dan Sutomo, 2017). Pernyataan ini mengindikasikan bahwa Kurikulum 2013 (K13) terlalu fokus pada aspek normatif pendidikan tanpa memperhatikan kesiapan sumber daya manusia yang menerapkan kurikulum tersebut.
Selain itu, indikator-indikator hasil belajar yang ditentukan dalam Kurikulum 2013 sering kali terlalu rumit dan tidak dapat dicapai dalam waktu serta kondisi pembelajaran yang terbatas. Para guru merasa tertekan karena harus mencapai banyak kompetensi dasar (KD) dalam waktu yang terbatas. Situasi ini mempengaruhi mutu pembelajaran yang menjadi cepat dan kurang melakukan refleksi. Sebenarnya, pendidikan yang berkualitas tidak hanya berkaitan dengan jumlah materi yang diajarkan, melainkan juga dengan kedalaman serta keterkaitan materi tersebut terhadap kehidupan para siswa.
B. Hal yang Perlu Diperhatikan di Lapangan

1. Keterbatasan Kesiapan Guru
Sebagai pihak yang bertanggung jawab utama terhadap kurikulum, guru memiliki peran yang sangat penting dalam kesuksesan K13. Namun, kondisi di lapangan menunjukkan bahwa mayoritas guru masih belum siap baik dari segi pedagogis maupun teknis untuk mengimplementasikan Kurikulum 2013 secara efektif. Pelatihan yang diadakan oleh pemerintah untuk guru sering kali hanya bersifat formal, tidak berlangsung secara berkelanjutan, dan kurang memiliki dukungan langsung di lapangan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Yulia (2016), ditemukan bahwa sejumlah guru mengalami kebingungan dalam menyusun alat pembelajaran dan menghadapi kesulitan dalam melaksanakan penilaian autentik sesuai dengan ketentuan kurikulum.
Beberapa guru juga menyatakan bahwa pendekatan ilmiah tidak cocok untuk semua mata pelajaran atau untuk setiap situasi siswa. Dalam lingkungan sekolah yang memiliki siswa dengan kemampuan literasi rendah atau fasilitas yang terbatas, sulit untuk menerapkan pembelajaran aktif yang diharapkan dalam Kurikulum 2013. Sebagai hasilnya, para pengajar terpaksa kembali menggunakan metode pengajaran melalui ceramah dan hafalan, yang sebenarnya bertentangan dengan tujuan dari Kurikulum 2013.

2. Tanggung Jawab Administratif yang Terlalu Banyak
K13 juga mendapatkan kritik karena memberikan beban berlebih kepada guru dengan berbagai tugas administratif. Penilaian dalam Kurikulum 2013 mencakup tiga aspek utama yang terdiri dari pengetahuan, keterampilan, serta sikap. Untuk setiap aspek tersebut, pengajar diharuskan untuk menyusun berbagai alat penilaian dan melaporkan hasil evaluasi dengan rinci. Dalam penerapannya, kondisi ini membuat guru menghabiskan lebih banyak waktu untuk menyiapkan dokumen daripada merancang kegiatan pembelajaran yang kreatif (Isjoni, 2017).
Administrasi yang rumit ini tidak hanya menghabiskan waktu guru, tetapi juga mengalihkan perhatian dari pengembangan hubungan belajar yang efektif dengan siswa. Sebagai hasilnya, proses pembelajaran menjadi statis, terstruktur secara mekanis, dan kurang berarti. Para guru merasa tidak memiliki kebebasan untuk berinovasi karena terlampau terikat pada format-format teknis yang telah ditentukan dalam kurikulum.

3. Perbedaan dalam Infrastruktur dan Bantuan Sistem
Masalah lain yang sangat penting dalam pelaksanaan Kurikulum 2013 adalah ketidakmerataan infrastruktur pendidikan di berbagai daerah. Kurikulum ini beranggapan bahwa setiap sekolah memiliki akses ke sumber belajar digital, laboratorium, buku tematik, dan jaringan internet. Namun, pada kenyataannya, institusi pendidikan di wilayah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) masih mengalami keterbatasan yang signifikan terkait fasilitas dan infrastruktur pendidikan (Puspitasari dan Widodo, 2019).
Keadaan ini menyebabkan penerapan K13 menjadi tidak setara dan bersikap diskriminatif. Pelajar di kawasan perkotaan yang memiliki fasilitas lengkap dapat mengalami pendidikan yang mendalam dan berbasis teknologi, sedangkan pelajar di daerah yang miskin dan terpencil harus berjuang dengan keterbatasan, bahkan dalam memperoleh buku ajar yang mendasar. Kesenjangan ini pada akhirnya memperluas perbedaan kualitas pendidikan antarwilayah, yang bertentangan dengan prinsip keadilan dalam pendidikan di tingkat nasional.

4. Pendekatan Ilmiah yang Tidak Berdasar pada Konteks
Kurikulum 2013 menerapkan pendekatan ilmiah sebagai metode utama dalam proses pembelajaran. Sebaiknya, siswa dilibatkan untuk melihat, bertanya, mencoba, berpikir, dan menyampaikan pendapat. Namun, metode ini sering kali tidak sesuai untuk semua jenis pelajaran dan tidak cocok digunakan di setiap tingkat atau situasi sekolah. Dalam banyak situasi, para guru sering menerapkan pendekatan saintifik secara tekstual, bukan secara substansial, semata-mata karena adanya tuntutan administratif.
Yulia (2016) menyatakan bahwa banyak guru merasa bingung ketika berusaha menerapkan pendekatan saintifik, hal ini disebabkan oleh kurangnya pelatihan yang mendalam. Sebagai hasilnya, alih-alih mempromosikan pemikiran kritis siswa, proses belajar mengajar justru berubah menjadi suatu ritus formal yang kosong dari arti.

5. Karakter Sempurna yang Tidak Diwujudkan Secara Nyata
Salah satu aspek terpenting dari Kurikulum 2013 adalah penguatan pendidikan karakter. Namun, dalam praktiknya, nilai-nilai karakter sering kali hanya dianggap sebagai dokumen pendukung atau disisipkan secara simbolis dalam proses belajar mengajar. Evaluasi terhadap perilaku siswa juga tidak selalu dilaksanakan dengan cara yang objektif dan komprehensif.
Dalam banyak situasi, pengembangan karakter melalui kurikulum tidak disertai dengan perubahan budaya sekolah secara menyeluruh. Suharno dan Sutomo (2017) menegaskan bahwa pendidikan karakter tidak dapat semata-mata bergantung pada kurikulum, melainkan harus melibatkan contoh yang baik, suasana belajar yang positif, serta partisipasi dari orang tua. Tanpa adanya ekosistem yang mendukung, nilai-nilai karakter dalam Kurikulum 2013 hanya akan menjadi ungkapan yang tidak bermakna.

C. Ketidakmampuan Menghadapi Tantangan Zaman

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun