Tinggi semampai, warna kulit putih langsat, usia seperempat abad sudah menjadi mama muda dua anak. Aku adalah mama muda itu.
Ku kira menjadi "ibu" itu mudah, ternyata cukup mengguncang batin. Sekedar tetap waras saja, sudah dahsyat.
Sedikit bocoran, rutinitas menjelang tidur sangat menarik. Bacakan dongeng, mendengarkan keluh kesah si kecil, murojaah surat-surat pendek, dan ditutup dengan permintaan maaf. Kata "maaf" sering kali enggan orang tua ucapkan. Rasa gengsi lebih dominan mengendalikan diri ketimbang diungkapkan. Sementara, ibu tetaplah manusia biasa. Berkali-kali para ibu tak luput dari kesalahan. Mirisnya, tidak semua ibu sadar telah menyayat hati si kecil.
Nuansa malam ini sangat tak biasa, aroma oriental begitu hangat merasuk ke relung hati terdalam, nampak serasi dengan kegelisahan hati. Berawal dari penyesalanku yang menumpuk, sedangkan prinsip menjelma sebagai ibu peri sangat mengoyak kesabaranku. Suatu ketika emosiku meledak, kutumpahkan di hadapan si sulung. Keadaan begitu mencekam ketika aku menaikkan intonasi suara begitu melengking, sembari melempar mainan yang berserakan. Nampak raut muka ketakutan, air matanya berlinang, langsung saja lari ke kamar sembari nangis dipojokan. "Tolong jangan berisik dulu! Ibu sedang lelah. Tolong beresin mainanya," sembari melempar mainan. "Duarrr...," renyah sekali suara mainan berbenturan.
Mungkin, untuk beberapa ibu dengan gaya didikan militer tempo jadul, hal seperti itu sangat lumrah. Sayangnya, tidak dengan aku. Memang, sebelum menikah aku berambisi menjadi "ibu smart" spek ibu peri. "Ah, aku sudah menjelajahi beberapa kelas parenting. Gampang ini mah," gumamku kala itu.
Realitasnya, ketika ibu peri menjelma menjadi ibu sumbu pendek, terlihat kesetanan dan menakutkan. Rasa sesal ini membuncah ketika malam ini menyadari si sulung kian tumbuh menjadi anak tampan dan periang. Secara random aku bertanya perasaan si sulung hari ini dan disusul dengan pertanyaan seperti apa sosok ibu di matanya. "Menurut Mas, Ibu orangnya seperti apa," tanyaku penasaran.
Tiba-tiba, kamar hening tanpa sepatah kata.
"Kenapa, Mas? Ibu galak ya," tanyaku kembali.
"Enggak," jawabnya singkat.
"Ah, yang benar? Jujur aja, Ibu galak ya," desaku penasaran.
"Enggak, Ibu baik," jawabnya sembari senyum kecil.
"Tapi Ibu kan sering teriak-teriak. Mas nggak takut," desakku kembali.
Kali ini, si sulung hanya terdiam dan memasang raut muka sedih. Jujur, aku sangat penasaran dan terbawa suasana ketika mengutarakan isi hati.
"Mas, Ibu sadar kok kalau sering teriak-teriak. Mungkin bikin Mas sedih, Mas marah, bahkan takut. Ibu sebenarnya sangat sedih sering melakukan itu, tapi Ibu juga nggak tau kenapa sering mengulangi hal itu," terangku.