Pada kesempatan ini kiranya dapat disajikan sebuah kisah mengenai film perjuangan salah seorang tokoh Muhammadiyah yang sarat muatan religi. Film yang akan tayang pada 20 April 2023 ini, tentu sudah sangat dinantikan kehadirannya oleh warga Persyarikatan Muhammadiyah. Bersamaan dengan momen Hari Raya Idul Fitri 1444 H.
Suatu kebanggaan tentunya, karena tokoh yang sangat menginspirasi bagi para kader Muhammadiyah ini dapat diwujudkan dalam sebuah film bergenre sejarah. Baik dari latar belakang kiprah beliau dalam mengembangkan dakwah Muhammadiyah di Sumatera dan Jawa, yang sarat dengan ketauladanan seorang ulama pejuang.
Buya Hamka memiliki nama lengkap Abdul Malik Karim Amrullah, yang kemudian menjadi HAMKA, usai pergi berhaji dan menjadi nama penanya. Beliau lahir pada tanggal 17 Februari 1908 di Sungai Batang, Sumatera Barat. Anak pertama dari seorang ulama besar di Sumatera Barat, Haji Rasul atau Haji Abdul Karim Amrullah.
Sejak masa kecil, kehidupan Buya Hamka memang sangat kental dengan nuansa pendidikan berbasis agama. Selama bersekolah di Diniyah School dan Thawalib, beliau juga dikenal dekat dengan kaum papa. Ada kisah menarik, ketika beliau tengah pergi ke pasar. Dikisahkan, selama seharian beliau pernah mendampingi seorang pengemis yang buta untuk meminta sedekah keliling pasar.
Kedekatannya dengan seorang ulama pembaharu bernama Zainudin Labay el Yunusi, akhirnya membuatnya mulai akrab dengan dunia sastra. Hampir setiap hari Hamka mampir ke perpustakaan milik gurunya tersebut, untuk menyempatkan diri membaca segala macam buku cerita. Mulai saat itulah pandangannya terhadap dunia sastra menjadi sangat luas dan terbuka.
Hingga pada tahun 1924, beliau memutuskan untuk merantau ke Jawa. Selama di Jawa, Hamka belajar tafsir Al-Qur'an dengan Ki Bagus Hadikusumo. Melalui Ki Bagus, Hamka kemudian bergabung dengan Sarekat Islam, yang memperkenalkannya kepada dunia pergerakan. Selama di Sarekat Islam, beliau mempelajari ilmu sosial dan politik secara langsung dari HOS Cokroaminito.
Hamka tergugah lantaran umat Islam kala itu tengah terjebak pada persoalan ritual semata. Sedangkan para pembaharu Islam kala itu justru memperjuangkan umat Islam untuk bangkit dari ketertindasan serta keterbelakangan. Berawal dari kegelisahan itulah, beliau kemudian memutuskan untuk bergabung dengan Muhammadiyah.Â
Bersama dengan Sutan Mansyur, Hamka kerap diberi ruang terbuka untuk berdakwah dalam berbagai kesempatan. Hingga pada tahun 1925, beliau bersama Sutan Mansyur diutus untuk pergi ke Minangkabau, guna menyebarkan dakwah Muhammadiyah. Cabang Muhammadiyah pun berdiri di Pagar Alam, Kurai Taji, dan Lakitan. Hingga pada tahun 1927, beliau pergi berhaji dari Padang.
Sekembalinya dari tanah suci, Hamka mulai menggeluti bidang tulis menulis. Beliau kerap membuat tulisan bertema sastra dan Islam yang dimuat dalam berbagai media cetak kala itu. Nah, dari honor menulisnya inilah, beliau akhirnya dapat meminang seorang pujaan hatinya. Hamka pun menikah dengan Sitti Raham pada tanggal 5 April 1929.
Selama masa pendudukan Jepang, perjuangan Hamka dalam dakwah tidak surut walau banyak ancaman dan pertentangan. Hingga masa revolusi tiba, usai Proklamasi Kemerdekaan Indonesia.Â
Kala itu, beliau kerap turun di berbagai medan pertempuran. Untuk memulai gerakan "tablig revolusi" yang membuat dirinya bekerja sebagai penghubung antara ulama dengan para pejuang.
Kemudian, Bung Hatta pun menunjuk Hamka untuk menjadi salah seorang pimpinan di Front Pertahanan Nasional, Sumatera Barat. Beliau berjuang bersama Rasuna Said, Khatib Sulaeman, hingga Karim Halim, untuk mengorganisir kekuatan pejuang selama kurun waktu 1947 hingga 1948. Nah, pada tahun 1949, Hamka memutuskan untuk pergi ke Jakarta.
Ketika KH. Wahid Hasyim menjabat sebagai Menteri Agama pada tahun 1950, Hamka diminta untuk mengajar di beberapa perguruan tinggi Islam. Berbagai tugas kenegaraan pun diamanatkan kepada beliau, seperti kunjungan ke luar negeri (Amerika, Thailand, India, dan Burma).
Bergabungnya Hamka bersama Masyumi sempat membuatnya bersitegang dengan Bung Karno. Beliau menentang keras sistem pemerintahan demokrasi terpimpin. Kala itu, beliau sangat dimusuhi oleh PKI, karena konsistensinya berjuang atas nama Islam di panggung politik.
Bahkan Lekra (organisasi kebudayaan PKI) menuduhnya sebagai plagiator, lantaran novel "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk" hasil karyanya melejit. Pada tahun 1964, Hamka pun ditangkap atas tuduhan melakukan pemberontakan bersama PRRI. Namun, penahanannya justru tidak membuatnya berhenti berkarya. Tafsir Al-Azhar pun berhasil diselesaikannya selama beliau dipenjara.
Ada kisah menarik mengenai perseteruan Hamka dengan Bung Karno. Walau pernah dipenjarakan oleh Pemerintah, Hamka tidak menaruh dendam sama sekali dengan Bung Karno. Bahkan sesaat sebelum Bung Karno wafat, ada wasiat yang diberikan untuk Hamka secara langsung. Yakni meminta kesediannya untuk menjadi imam sholat ketika suatu waktu Bung Karno meninggal dunia.
Hamka pun dengan kemurahan hatinya memimpin sholat jenazah Bung Karno. Luar biasa bukan?Â
...
Tepat pada tanggal 1 April 2023 kemarin, para sineas dan pemain film Buya Hamka mengadakan road shownya di Uhamka. Tepatnya di kampus FKIP Uhamka, Pasar Rebo, Jakarta Timur. Pada kesempatan itu, putri kelima beliau, Azizah, turut hadir pada sesi acara yang berlangsung secara khidmat namun semarak.
Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu'ti memberi penjelasannya, bahwa film Buya Hamka ini dihadirkan dengan maksud yang inspiratif. Melalui berbagai ketauladanan Buya Hamka sebagai seorang ulama yang sangat besar kontribusinya untuk bangsa. Senada dengan itu, Rektor Uhamka, Gunawan Suryoputro pun memberi atensi yang sama, yakni sarat edukasi dan berkemajuan.
Kiranya film yang akan tayang menjadi tiga bagian ini dapat menjadi pelengkap kebahagiaan di bulan Ramadan bagi kita semua. Walau sementara ini kita hanya dapat menikmati trailernya dahulu, dengan rasa penasaran yang besar dari film tersebut.
Bagian pertama, adalah masa-masa Buya Hamka memberikan pengaruh besar pada Persyarikatan Muhammadiyah. Dari sejak aktivitasnya di dunia jurnalisme, hingga masa-masa pendudukan Jepang.
Bagian kedua, adalah ketika Buya Hamka ikut bergerilya selama masa revolusi berlangsung. Dengan puncaknya ada pada kisah perseteruan beliau dengan Bung Karno. Serta kisah penahanan beliau atas berbagai tuduhan yang dialamatkan kepadanya.
Bagian ketiga, adalah kisah mengenai masa kecil beliau di Sumatera Barat. Hingga saat-saat beliau melangsungkan pernikahan dengan Sitti Raham.
Sebagai penutup, Fajar Bustami sang sutradara film ini pun menyampaikan, "betapa film ini sangat baik untuk bangsa, karena apa yang dilakukannya sejak kecil sampai tua penuh dengan ketauladanan". Maka, kita tunggu saja bagaimana Vino G. Sebastian, Reza Rahardian, Desy Ratnasari dan Laudya Cynhtia Bella, memerankan secara apik para tokoh pada film Buya Hamka.
Salam semangat Ramadan dalam damai, terima kasih.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI