Mohon tunggu...
Novita Bayuarti
Novita Bayuarti Mohon Tunggu... Penulis - penyuka dunia sastra, seni dan budaya

penyuka dunia sastra, seni dan budaya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Badut

10 Desember 2010   13:03 Diperbarui: 11 September 2020   11:34 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Matanya hitam, berkilau seperti cincau. Perawakannya besar dan gagah. Tubuhnya berselimut bulu berwarna coklat cerah. Wajahnya yang blo’on dan terlihat bodoh justru membuatnya tampak menggemaskan. Pembawaannya selalu riang dan sangat bersahabat. Melihat tabiatnya yang seringkali takut-takut mendekati lawan jenis, seringkali menjadikannya bahan olok-olok. Orang-orang mengatainya “banci.” Tapi tidak denganku. Aku tidak pernah menyebutnya banci. Bagiku ia adalah teman, sahabat sekaligus pahlawan penyelamatku.

Badut, begitu kami memanggilnya. Entah dari mana Nenek menamai peranakan Labrador ini dengan nama yang agak lain dari biasanya. Tapi kalau diperhatikan dari wajahnya… Hmm…Mungkin karena itulah Nenek menamainya Badut. Tinggi kami hanya beda sedikit. Tentu saja, itu ketika aku dalam posisi berdiri sementara Badut dalam posisi duduk dengan posisi kedua kaki depan tegak. Aku tidak tahu pasti sudah berapa lama Badut menjadi bagian dari keluarga kami. Kata Nenek, aku sudah menyukainya sejak aku masih belajar berjalan. Mungkin Badut sudah ada sebelum aku ada di dunia ini.

Dari ketiga anjing kepunyaan Nenek, hanya Badut yang menjadi kesayanganku. Dan memang hanya tinggal Badut saja yang masih tinggal bersama kami. Bagong, Doberman si anjing penjaga. Berbulu hitam coklat dan berperawakan seperti pemburu congkak yang tak kenal takut. Ia sebenarnya gagah juga elok. Tapi Bagong galak bukan main. Ia punya kesenangan menggonggongi siapapun yang melintas di halaman depan rumah. Tidak peduli itu dari golongan sejenisnya, manusia, atau jin sekalipun. Mamang bakso keliling sepertinya menjadi sasaran favoritnya. Hampir tidak ada yang  menyukainya kecuali Nenek, karena tabiatnya itu. Hingga suatu hari, seseorang yang pasti sangat sangat membencinya mengumpaninya tulang yang mungkin sebelumnya telah dibubuhi obat tidur bermerek Potass. Dan benar saja, obat tidur itu ampuh membuat Bagong tertidur untuk selamanya.

Semut lain lagi. Chihuahua ini dinamai Semut karena tubuhnya yang mungil dan bulunya yang hitam legam seperti arang. Karena ukurannya yang kecil, ia sering hilang bahkan ketika berada di dalam rumah sendiri. Pernah sekali waktu ia tiba-tiba menghilang. Kami sibuk mencarinya ke setiap sudut ruangan. Dan setelah lama mencari, ternyata Semut terjebak di dalam ember aluminium yang terlelungkup di dekat sumur. Tubuh Semut yang kecil tidak mampu menggulingkan ember yang memang besar dan berat. Namun hari itu, ketika ia kembali menghilang dan setelah pencarian dilakukan, Semut tak juga kunjung ditemukan. Seluruh ruangan tak terkecuali semak-semak di halaman tak luput dari sasaran penyisiran, bahkan Mbok Nah sampai melongokan kepalanya ke dalam sumur. Bersiap menerima kenyataan yang terburuk sekalipun. Tapi hasilnya nihil. Akhirnya kami berkesimpulan, mungkin saja ada orang yang menginginkan Semut tapi takut untuk meminta. Kami sama sekali tidak berpikiran ia akan bernasib sama seperti Bagong karena mereka berbeda. Tidak akan ada orang yang tega mengumpani si anjing hitam kecil mungil nan lucu dengan tulang ber-potass.

Semua berangsur-angsur jelas ketika pada suatu minggu, aku, Nenek dan Badut berjalan-jalan pagi keliling kampung. Kami berpapasan dengan seorang laki-laki paruh baya beserta dua anjingnya yang kelihatannya juga sedang jalan-jalan pagi. Yang satu hitam, satunya lagi putih. Kedua anjing yang bertubuh kecil itu memakai tali kekang leher yang tersambung dengan rantai yang ujungnya dipegang oleh si empunya. Si anjing hitam menggonggong ke arah kami.

“Guk! Guk!” gonggong Badut tiba-tiba.

Aku dan Nenek pun berhenti. Sejenak aku jadi punya kesempatan mengamati si anjing hitam. Rasa-rasanya anjing itu tidak asing bagiku. Tapi aku belum yakin betul, maka aku pun bertanya pada Nenek :

“Nek, anjing itu mirip Semut ya?”

“Iya. Nenek juga berpikir begitu,” sahut Nenek. “Coba kita tanya sebentar…”

“Selamat pagi…” sapa Nenek. “Sedang jalan-jalan ya…?” Nenek melanjutkan dengan basa-basi. “Wah anjingnya lucu-lucu sekali…”

“Terimakasih Nyonya…” sahutnya seraya menghentikan langkahnya. Berhasil. Bapak itu tampaknya senang mendengar pujian Nenek.

“Nenek, ayo tanya siapa namanya…!” aku buru-buru menyela, mendesak Nenek karena rasa penasaran.

“O ini cucunya? Sapto Nyonya. Saya baru sebulan pindah ke kampung ini.”

“Sapto? Kok anjing namanya Sapto Nek?” tanyaku bingung. Nenek tampak menahan senyum mendengarnya. Sementara wajah bapak itu menjadi merah.

“Oh. Maaf… Maaf kan cucu saya Pak Sapto…! Bukan maksudnya begitu. Cucu saya hanya ingin tahu nama kedua anjing bapak…”

“Oh ini…” sahutnya tersipu. Wajahnya kini semakin kelihatan seperti jambu bol yang masak di pohon. “Ini…Si Putih dan Si Hitam. Ya…Supaya mudah saja mengingatnya.”

“Sudah lama Pak Sapto memelihara anjing-anjing ini? Karena kelihatannya bapak terampil sekali merawat keduanya. Mereka tampak sehat dan lucu,” lanjut Nenek. Lagi-lagi Pak Sapto tersenyum bangga.

“Dulu kami hanya punya Si Putih. Tapi setelah pindah ke sini keluarga kami bertambah satu. Ya, Si Hitam ini. Belum ada sebulan. Mungkin sekitar…dua minggu yang lalu,” jelasnya panjang lebar. “Belakangan saya tahu, ternyata Si Putih sudah bunting. Jadi tidak lama lagi keluarga kami akan bertambah lagi dengan adanya anak-anak mereka nanti.”

Waktu itu aku belum paham benar maksud penjelasan bapak si empunya anjing. Saat aku memprotes Nenek kenapa tidak jadi membawa pulang Semut, Nenek berkata bahwa Semut tidak bisa kembali ke rumah karena sekarang Semut sudah punya keluarga baru. Dan sebentar lagi, Semut akan menjadi ayah dari anak-anak anjing yang nanti dilahirkan Si Putih. Aku belum juga mengerti. Semut akan jadi ayah? batinku. Aneh benar kedengarannya.

Ah sudahlah. Biar saja Semut tidak pulang. Kan masih ada Badut! pikirku. Daripada memikirkan hal yang membingungkan lebih baik aku main dengan Badut. Kebetulan di sekitar rumah tidak ada teman sebaya yang seumuran denganku sehingga  aku lebih sering menghabiskan waktu bersama Badut. Tapi tidak siang itu. Setelah bosan main dengan bunga jambu. Aku menemukan sesuatu yang menarik bergerak-gerak di antara bunga-bunga jambu di atas sana. Kupu-kupu. Mereka terbang dan hinggap dari satu bunga ke bunga lain dan membuat serabut-serabut tangkai benangsari berjatuhan seperti hujan. Tapi itu tidak lama, kupu-kupu itu segera terbang meninggalkan pohon jambu. Ada satu yang terbang rendah dan sempat hinggap ke tanah. Warnanya sayapnya hijau kekuningan. Tepat ketika akan ku tangkap, kupu-kupu itu kembali mengepakkan sayapnya dan terbang menyusul teman-temannya yang lain. Aku tergoda untuk mengejar mereka. Tekad sudah bulat. Aku pun memulai petualanganku mengejar kupu-kupu.

Belum pernah aku melihat kawanan kupu-kupu sebanyak ini. Aku menjadi terlalu asyik dengan petualangan baruku sehingga tidak begitu menghiraukan ketidakberadaan Badut di dekatku. Aku terus berlarian tanpa sedikitpun mengalihkan perhatianku dari sepasang kupu-kupu kuning yang berkejaran di udara. Hingga sampailah aku di suatu tempat. Sebuah padang rumput. Bagiku yang masih lima tahun, padang rumput itu tampak begitu luas. Ilalang yang tumbuh di antara rerumputan bahkan ada yang setinggi tubuhku saat itu.

Awalnya, aku sempat diliputi rasa cemas dan khawatir. Namun begitu melihat tidak ada hanya sepasang, mungkin berpuluh-puluh atau lebih pasang kupu-kupu, rasa cemas dan kekhawatiranku perlahan sirna. Yang tersisa hanya antusias yang begitu besar. Aku akan membawa pulang sepasang dari mereka, tekadku. Aku pun mulai berlari menerobos rerumputan tanpa mempedulikan apapun, tidak pula tubuh yang tak berpelindung serta kaki yang telanjang. Aku berlarian ke sana kemari sambil sesekali mengapai-gapai udara mencoba meraih mereka. Terkadang juga berjalan mengendap-endap seperti seorang pencuri ayam. Saking asyiknya, lagi-lagi aku tidak memperhatikan apapun yang ada di antara rerumputan di bawah sana. Hingga tiba-tiba, Crus! Aku merasakan sesuatu yang tajam nenembus kakiku. Saat ku lihat ke bawah, darah segar berceceran di sekitarnya. Ternyata pecahan gelas kaca sebesar sayap kupu telah menusuk dan merobek telapak kaki kananku. Rasanya sakit sekali. Dan darah merah yang tak henti-hentinya mengalir tak khayal membuatku takut setengah mati. Kesakitan dan ketakutan, aku pun menangis sejadi-jadinya.

Entah sudah berapa lama aku menangis. Meski begitu, tidak ada seorangpun yang datang menolong. Sepertinya tidak ada seorangpun yang mendengarku. Perlahan tangisku terhenti. Sambil masih sesegukan dan menggigit bibirku menahan sakit, aku coba bangkit. Aku berhasil berdiri dengan bertumpu pada kaki kiri dan tumit kanan. Aku melangkah pelan-pelan. Setapak demi setapak ku lalui dengan susah payah. Aku terpincang-pincang sambil menahan sakit. Rasanya butuh waktu lama sekali untuk bisa sampai di pinggiran padang. Tubuhku yang kecil terhuyung-huyung. Keringat dinginpun bercucuran. Tak berapa lama kemudian pandanganku mulai berkunang-kunang. Tapi aku paksakan untuk terus berjalan. Aku tertatih-tatih sambil memanggil-manggil ibu dan menyesal karena tidak mengindahkan nasehatnya untuk selalu memakai sendal jika akan bermain di luar rumah.

Pinggiran padang rumput masih jauh di depan sana. Badanku sudah sangat payah. Letih dan lemas. Untuk menangispun sudah tidak ada tenaga lagi. Langkahku pun kurasakan semakin lama semakin lambat. Aku yang berkaus singlet bercelana kodok dan bertelanjang kaki, terpincang-pincang sambil meringis menahan sakit. Lama kelamaan rasa sakit itu perlahan menghilang sedikit demi sedikit. Aku tidak merasa sakit lagi. Aku bahkan tidak merasakan apa-apa lagi, selain semua berangsur-angsur menjadi gelap.

Semua masih gelap hingga sayup-sayup aku mendengar suara. Tidak jelas siapa yang pasti aku sangat mengenal suara itu.

“Guk!” Suara itu terdengar lagi dari kejauhan. “Guk! Guk!” Terdengar semakin lama semakin dekat. Suara itu datang seiring dengan bunyi gemerincing lonceng kecil dan gesekan ilalang yang tertiup angin.

Lalu tiba-tiba saja aku merasakan sesuatu yang empuk, dingin dan basah menyapu wajahku. Mataku perlahan terbuka. Samar-samar tampak olehku sebuah wajah. Semakin lama semakin jelas. Wajah blo’on dengan mata hitam biji kelengkeng.

“Ba-dut…” panggilku lirih. Tanganku mencoba meraihnya. Ku rasakan tanganku menyentuh bulu yang selembut permadani Persia.

“Guk! Guk!” balasnya. Badanku lalu diguncangnya perlahan dengan kepalanya.

Tak lama kemudian aku mendengar suara-suara lain. Tidak hanya satu dan sepertinya mereka berlarian mendekat. Badut menatapku bergantian dengan arah datangnya suara. Ia pun serta merta bangkit dan menggonggong lebih keras lagi. Sebentar pergi meningggalkanku dan sebentar kemudian kembali bersama orang-orang yang sangat aku rindukan. Nenek, Ibu, Ayah dan Mbok Nah.

Ibu langsung berlari memelukku begitu tiba. Wajahnya pucat dan matanya sembab. Ia menciumiku sembari menangis. Tak henti-hentinya memelukku dan menciumku. Aku sedih sekali. Aku menyesal sudah membuat ibuku sedih. Nenek mencoba menenangkan dan menghiburnya. Nenek juga segera meminta Mbok Nah mencarikan becak guna segera membawaku ke Rumah Sakit. Belum ada taxi waktu itu. Alat transportasi juga masih sangat terbatas. Dan begitu becak datang, Ayah dengan sigap membopongku dan becakpun meluncur melarikanku ke Rumah Sakit.

Beberapa bulan setelah insiden pecahan gelas di padang rumput, kamipun pindah rumah. Aku tak lagi tinggal di rumah Nenek. Tanpa sepengetahuan Nenek, Ayah rupanya telah membeli rumah di sebuah perumahan. Nenek memang sengaja tidak diberitahu sebelumnya karena pasti tidak akan diijinkan. Rumah baru kami di perumahan yang juga baru itu tentu saja tak sebesar rumah Nenek. Mereka menyebutnya Rumah Sangat Sederhana. Halamannya juga tak seberapa jika dibandingkan dengan halaman rumah Nenek. Meski tempat untukku bermain-main tak lagi luas, tapi aku cukup senang, terutama karena di lingkungan tempat tinggalku yang baru, tinggal pula anak-anak yang di antara mereka tidak sedikit yang umurnya sebaya denganku.

Kesenanganku pun bertambah ketika adikku lahir. Laki-laki. Ia begitu mungil dan menggemaskan. Ia seperti boneka hidup untukku. Tiap hari tak bosan-bosannya aku main dengannya. Tapi saat-saat itu tidak berlangsung lama karena ibu bilang aku sudah harus mulai bersekolah. Ibu mendaftarkanku di sebuah Taman Bermain Kanak-kanak, di kelas O kecil. Aku senang karena temanku bertambah banyak. Tapi aku tak lantas melupakan teman terbaikku, Badut. Aku masih sering mengunjunginya. Biasanya setiap hari Sabtu, sepulang sekolah, Ayah membawaku ke rumah Nenek. Tak jarang juga aku menginap dan baru pulang hari Minggu sorenya. Ini sudah hampir menjadi kebiasaan kami. Bahkan ketika aku sudah naik kelas O besar pun aku tak pernah lupa mengunjungi Badut. Hingga suatu hari… 

“Nenek…!” teriakku begitu aku dan Ayah tiba di halaman dan tampak olehku Nenek sedang menyapu daun-daun jambu yang berserakan di tanah. Nenek menyambut kami dengan senyuman. “Badut mana Nek?” tanyaku tak sabar seraya memeluknya. Nenek tidak menjawab.

“Dut… Badut…!” panggilku tanpa menunggu jawaban Nenek. Sepi. Aneh… Ini di luar kebiasaan. Biasanya Badut akan menyongsong kami begitu mendengar suara Vespa ayahku. Tapi kenapa sama sekali tidak kelihatan tanda-tanda kalau Badut akan muncul? 

“Nenek?! Badut kemana sih?” tanyaku lagi. Nenek tidak juga menjawab. Aku semakin bingung karena wajah Nenek justru tampak sedih.

“Badut sedang tidur,” sahut Nenek kemudian. Aku jelas kecewa mendengarnya.

“Tapi aku kan kangen sekali Nek..! Aku ingin bermain dengannya…!” rengekku.

“Badut lelah. Biarkan dia istirahat dulu ya…” lanjut Nenek. Aku kesal mendengar jawaban Nenek.

“Dut…! Badut…! Ayo kemari…!” Aku tidak mengindahkan nasehat Nenek dan terus saja berteriak memanggil-manggil Badut. Namun sekeras apapun aku berteriak, tetap tidak ada sahutan. “Badut… Ini… Aku bawakan bolu kering kesukaanmu…!” Tidak ada tanggapan. Badut tidak akan datang. Tidak ada lagi makhluk berbulu coklat yang biasanya langsung menubrukku saat aku datang membawakannya kue bolu kering kesukaannya. Badut tak mau lagi menemuiku. Ia sudah tak mau lagi bermain denganku.

Aku benar-benar kecewa dan sedih. Sejak kejadian itu pula semangatku untuk sering-sering berkunjung ke rumah Nenek menurun drastis. Saat tiba akhir pekan, aku selalu mencari-cari alasan supaya tidak harus ke sana. Kebanyakan alasananku berhasil. Jadwal kunjunganku yang tadinya seinggu sekali jadi dua minggu sekali, lalu sebulan sekali dan lama-kelamaan aku semakin jarang ke rumah Nenek. Malahan bisa dikatakan hampir tidak pernah lagi. Sebaliknya, Nenek-lah yang lebih sering mampir dan menginap di rumah kami. Aku sendiri sudah tidak begitu memikirkan Badut, hingga suatu malam aku bermimpi. Badut kembali. Kami bermain bersama lagi. Mimpi itu begitu nyata. Aku dan Badut, kami bermain dan berkejaran di sebuah taman bunga yang sangat luas tanpa batas. Bermacam bunga dengan berbagai warna ada di sana. Kupu-kupu dengan sayap warna-warni menari-nari di sekeliling kami. Begitu menyenangkan dan begitu indah namun begitu singkat karena semua berakhir ketika aku terbangun keesokan harinya.  

Perlu beberapa waktu hingga akhirnya aku paham dan mengerti maksud Nenek ketika Nenek bilang, Badut sedang tidur. Ya, saat itu Badut memang sedang istirahat. Ia beristirahat untuk selamanya. Sejak itu kami tidak pernah lagi memelihara anjing. Aku tidak mau. Bagiku, tak ada Badut lain di dunia ini. Tidak ada yang bisa menggantikannya. Anjing berwajah blo’on dan bermata seperti biji buah lengkeng itu adalah temanku, sahabatku dan pahlawan penyelamatku.


Jogja, September 2008


Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun