Mohon tunggu...
Novi Setya Ningrum
Novi Setya Ningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Manusia seperti pada umumnya

Bukan Power Rangers

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

"Performative Workaholism", Gaya Hidup Suka Pamer Kesibukan

27 Desember 2021   06:00 Diperbarui: 17 Januari 2022   10:12 1063
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Performative Workaholism. (sumber: Shutterstock via kompas.com)

Banyaknya orang yang menjadi performative workaholism karena zaman membawa kita pada kebutuhan akan validasi dari seseorang. Sehingga mengaburkan motivasi kerja yang sesungguhnya antara ingin bekerja untuk masa depan atau mencari validasi saja. 

Keinginan akan validasi ini muncul karena sering membandingkan kehidupan kita dengan orang lain. Hingga tanpa sadar masyarakat berlomba-lomba mengais validasi. 

Selain itu performative workaholism dilakukan sebagai usaha untuk eksis di media sosial. Keberadaan atau eksistensi ini menjadi kebutuhan masyarakat seiring berkembangnya teknologi. 

Sayangnya usaha keras mencari atau mempertahankan eksistensi, menjadikan orang melupakan esensi yang seharusnya. Dan pada akhirnya terlalu sibuk mencari validasi dan eksistensi melupakan dampak buruk dari performative workaholism.

Dampak buruknya pertama bagi kesehatan fisik, bekerja terus menerus dengan porsi istirahat yang sedikit memiliki peningkatan risiko penyakit jantung. Hasil tersebut merupakan penelitian yang dilakukan leh Current Cardiology Report dibeberapa negara. 

Dilansir dari laman FK Universitas Airlangga, di Indonesia 1 dari 3 pekerja mengalami gangguan kesehatan mental akibat jam kerja berlebihan. Performative workaholism sering menyebabkan depresi, kecemasan dan halusinasi. 

Depresi terjadi ketika sudah memposting kesibukan tetapi tidak mendapatkan like yang banyak, atau tidak ada tanggapan dari orang lain. Terkadang memicu munculnya pikiran 'sudah tidak diakui keberadaannya' atau 'sudah tidak menarik/eksis". 

Bekerja yang berlebihan tadi juga menyebabkan burnout, stress berat ditempat kerja yang tidak teratasi dan menyebabkan hilangnya semangat kerja. Ditambah ekspektasi tanggapan dari postingan yang tidak sesuai, sehingga gaya hidup performative workaholism memberikan dampak negatif ganda.

Lalu bagaimana seharusnya kita memandang pekerjaan ?

Kita berkerja untuk mencapai tujuan dengan diimbangi kegiatan diluar pekerjaan. Misalnya waktu tidur cukup dan meluangkan waktu untuk liburan. Kemudian memahami bahwa bekerja multitasking membuat hasil kerja tidak efektif dan kreativitas tidak muncul serta berpengaruh pada kesehatan. 

Selain itu juga memahami esensi dari bekerja itu sendiri apakah perlu mendapatkan validasi dari orang lain secara terus menerus. Bukankah hal tersebut semakin membuat lelah?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun