Mohon tunggu...
Novi Setyowati
Novi Setyowati Mohon Tunggu... Lainnya - berbagi pengalaman, cerita, dan pengetahuan

berbagi pengalaman, cerita, dan pengetahuan

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Menumbuhkan Kebiasaan Sederhana untuk Mengurangi Timbunan Sampah

21 Februari 2021   15:01 Diperbarui: 21 Februari 2021   15:18 659
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masih ingatkah kita dengan insiden longsor sampah di TPA Leuwigajah pada tahun 21 Februari 2005 silam? Insiden yang diakibatkan oleh guyuran hujan deras yang mengenai bermeter-meter tumpukan sampah hingga longsoran dan ledakan gas metan pun terjadi. Tragedi ini bahkan hingga menewaskan ratusan penduduk yang berprofesi sebagai pemulung saat itu.

Tragedi ini pun sepertinya menjadi tamparan keras bagi pemerintah untuk lebih memperhatikan persoalan sampah di negeri ini. Hingga tepat satu tahun setelah longsor sampah di TPA Leuwigajah, yakni pada 21 Februari 2006, Kementerian Lingkungan Hidup pun menetapkan 21 Februari sebagai Hari Peduli Sampah Nasional setiap tahunnya.

Namun, apakah setelahnya ada perubahan tertentu pada kebijakan pengelolaan sampah di Indonesia? Pertanyaan ini sepertinya belum bisa sepenuhnya terjawab, melihat kenyataannya di beberapa kota masih juga marak penggunaan kantong plastik di pusat-pusat perbelanjaan. 

Bahkan jika diingat lagi, pada awal tahun baru ini, berpuluh-puluh ton sampah terdampar di sepanjang pantai Kuta (Bali). Meskipun disinyalir insiden ini kerap terjadi setiap tahunnya saat musim penghujan, tentu menjadi pertanyaan pula, tidak adakah kebijakan pemerintah yang berupaya untuk menyelesaikan permasalahan ini setiap tahunnya?

Belajar memilah sampah dari Negara Jerman

Pemilahan sampah di Jerman (Bayern). Foto diambil di area asrama mahasiswa (Dokpri)
Pemilahan sampah di Jerman (Bayern). Foto diambil di area asrama mahasiswa (Dokpri)
Sedikit belajar dari proses pemilahan sampah di Negara Jerman, setiap wilayah (Bundesland) memiliki kebijakannya masing-masing. Warna kotak pemilahan sampah di Munich tidak sama dengan di Cologne, misalnya. Tapi, seluruh negeri menerapkan pemilahan sampah ini.


karena tempat pembuangan sampah di masing-masing area (bangunan) sudah terpisah, mau tidak mau dari sejak di dalam rumah pun sampah-sampah ini juga sudah harus dipisah, agar memudahkan proses pemilahan di luar nantinya.

Di Munich dan sekitarnya, kotak sampah untuk sampah organik ditandai dengan warna cokelat. Sementara kotak sampah dengan warna hitam (seperti foto di atas) dikhususkan untuk sampah non organik. Lalu, kotak sampah berwarna biru (seperti foto di atas) khusus untuk sampah kertas.

Apa saja yang dimaksud sampah organik? Sederhananya adalah sampah-sampah sisa makanan, kulit buah dan sayur. Intinya ya sampah yang mudah untuk diuraikan, atau misalnya yang saat ini sedang ramai dibicarakan, untuk composting.

Sementara di kotak sampah berwarna biru, khusus sampah-sampah anorganik, seperti yang mengandung bahan-bahan yang tidak mudah terurai.  Tapi, bukan yang berbau botol atau kaleng. 

Lalu, bagaimana dengan botol dan kaleng? Ada lagi tempat sampahnya yang berbeda, seperti foto di bawah ini.

dok. pribadi
dok. pribadi

Untuk sampah botol dan kaleng, harus dibuang di kotak sampah berwarna hijau (seperti foto di atas). Tapi, jika diperhatikan, setiap kotaknya bertuliskan tulisan yang berbeda. Iya, betul sekali. Sampah botol pun tetap dipisahkan berdasarkan warna botolnya. Merujuk pada keterangan pada foto, terdapat enam kategori yang berbeda untuk tempat sampah berwarna hijau, yaitu:

  1. Weissglas: untuk botol kaca berwarna putih/bening
  2. Braunglas: untuk botol kaca berwarna hijau
  3. Gruenglas: untuk botol kaca berwarna cokelat
  4. Dosenschrott: untuk bahan kaleng
  5. Getraenkekartons: untuk kotak minuman (seperti susu dan jus)
  6. Verpackungskunstoffe: untuk yang berbahan plastik

Khusus untuk nomor 6, tidak berlaku pada semua botol plastik. Hal ini lantaran di Jerman terdapat dua kategori botol plastik, yaitu botol plastik yang bertanda "bisa didaur ulang" dan yang tidak.

Untuk botol yang masih bisa didaur ulang, kita bisa membawanya ke supermarket-supermarket terdekat karena terdapat mesin untuk menukarkan botol-botol tersebut dengan voucher yang bisa kita pakai untuk berbelanja. Satu botol setara dengan EUR0.25 (25 cent).

Eits, masih ada lagi, bagi yang sudah tidak lagi membutuhkan barang-barang sepatu dan baju, daripada disimpan dan menumpuk di rumah, bisa juga didonasikan di tempat-tempat yang sudah disediakan seperti foto di bawah ini.

Tempat untuk 'mendonasikan' baju dan sepatu. (Sumber gambar: altkleider-rosenheim.de)
Tempat untuk 'mendonasikan' baju dan sepatu. (Sumber gambar: altkleider-rosenheim.de)
Sampah-sampah elektronik seperti baterai juga dibuang terpisah. Biasanya di beberapa supermarket terdapat kotak tersendiri untuk membuang baterai dan sampah-sampah elektronik lainnya.

Melihat sistem pemilahan sampah tersebut, rasa-rasanya bisa dipahami bagaimana negara-negara maju dinilai dapat mengelola sampahnya dengan baik sehingga tidak menyebabkan pencemaran sampah.

Berbeda dengan sistem sampah tanpa pilah, yang mengakibatkan menumpuknya segala jenis sampah di TPA dan pada akhirnya dapat membahayakan penduduk di sekitarnya ataupun para pemulung karena bercampurnya gas beracun dari sampah-sampah tersebut.

Selain itu, bercampurnya segala jenis sampah juga pastinya membuat TPA menjadi sangat penuh dan rentan longsor jika tidak kuat menampung beban yang diberikan. Sehingga terjadilah insiden longsor sampah seperti di TPA Leuwigajah tersebut.

Melihat nilai budaya tersebut saat di Jerman membuat saya bertanya-tanya, bisa tidak ya di Indonesia seperti itu? Jawabannya tentu tidak ada yang tidak mungkin. Tapi bagaimana kita harus memulainya jika pemerintah tak kunjung menerapkan kebijakan pemilahan sampah secara serentak di seluruh negeri?

Mulai dari diri sendiri dan keluarga

Jawabannya sepertinya memang harus dimulai dari diri kita sendiri dan keluarga kita. Dalam artian, kita tumbuhkan kebiasaan memilah dan mengelola sampah dengan lebih bijak agar tidak semua sampah berakhir di TPA. 

Bagaimana cara sederhananya?

1. Menggunakan tumblr

Ilustrasi Tumblr (Dokpri)
Ilustrasi Tumblr (Dokpri)

Biasakan membawa tumblr minum kemana pun kita pergi, daripada nantinya kita masih membeli air minum kemasan dan menambah sampah plastik yang susah terurai.

Apalagi, dewasa ini sudah banyak tumblr yang dijual di luaran dengan motif yang bermacam-macam. Ada yang bisa untuk air hangat, air dingin, dan juga keduanya. Ukurannya pun bermacam-macam hingga 1 liter sekalipun, sehingga kita bisa sesuaikan dengan kebutuhan kita saat berada di luar rumah.

2. Membawa tas belanja sendiri

Ilustrasi berbelanja dengan tas sendiri (Dokpri)
Ilustrasi berbelanja dengan tas sendiri (Dokpri)
Sebagian besar kantong plastik yang kita kumpulkan adalah hasil dari belanja di supermarket maupun minimarket dekat rumah. Betul tidak? Kantong plastik ini kemudian menumpuk di rumah untuk dipakai lagi nantinya.

Tapi, pernahkah kita terpikirkan bahwa kita pun turut menambah sampah plastik di luaran dengan menimbun dan memakai kembali kantong plastik ini?

Jika di kota-kota besar seperti Jakarta dan sekitarnya mungkin sudah sangat umum, tempat-tempat perbelanjaan tidak lagi menyediakan kantong plastik atau jika menginginkan kantong plastik akan dikenakan biaya.

Tapi, di tempat saya tinggal sekarang (Kota Malang), hal ini belum berlaku. Supermarket maupun minimarket masih saja menawarkan kantong plastik dengan tanpa biaya. Bisa dibayangkan di kota-kota lain yang lebih kecil dari Malang mungkin juga menerapkan hal yang sama.

Kita tentu tetap bisa berkontribusi dalam aksi pengurangan sampah plastik ini dengan mengedukasi diri sendiri dan juga keluarga kita, sesederhana dengan membawa kantong belanja sendiri saat pergi ke supermarket atau minimarket. 

Pasti akan timbul pertanyaan, "tapi kan kita tidak tahu jika sewaktu-waktu harus pergi ke minimarket tanpa disengaja?". Jawabannya mudah saja. Simpan satu tas belanja di dalam tas yang biasa kita bawa kemana-mana. Jadi kita juga akan selalu siap sedia dengan tas belanja saat berada di luar rumah.

3. Habiskan makanan yang kita makan atau ambil makanan secukupnya

Ilustrasi menghabiskan makanan (Dokpri)
Ilustrasi menghabiskan makanan (Dokpri)
Selain sampah plastik, sampah makanan juga merupakan sampah yang kerap menumpuk di tempat sampah. Tak ayal, sampah makanan ini membuat bau yang tidak sedap dan turut mencemari lingkungan.

Kebiasaan sederhana untuk mengurangi sampah makanan agar tidak berakhir di TPA adalah dengan menghabiskan makanan yang kita makan. Sehingga kita tidak menghasilkan sampah makanan yang tidak perlu.

Jika khawatir tidak bisa menghabiskannya, maka ambillah makanan seperlunya yang kita mampu untuk habiskan, daripada nantinya kita justru membuang-buang makanan dan menambah sampah di luaran.

Sayang bukan, jika kita membuang-buang makanan? Padahal di daerah-daerah dan belahan bumi lainnya masih banyak yang kekuarangan makanan hingga menderita kelaparan dan kurang gizi.

4. Membawa peralatan makan pribadi

Ilustrasi peralatan makan pribadi (Dokpri)
Ilustrasi peralatan makan pribadi (Dokpri)
Sampah plastik terkadang juga terdapat pada makanan yang kita beli, seperti sendok dan garpu yang terbuat dari plastik pada nasi bungkus atau nasi kotak yang kita beli. 

Tidak ada salahnya kita mulai membiasakan diri, menyimpan peralatan makan pribadi juga di dalam tas yang biasa kita bawa untuk mengurangi sampah plastik yang tidak diperlukan ketika sedang di luar rumah.

Tantangan yang harus dihadapi

1. Kurangnya dukungan dari pemerintah dan produsen serta sulitnya mengedukasi masyarakat

Menuliskan dan mengatakannya memang tidak semudah melakukannya. Kalau ibu saya bilang, "percuma kita tidak pakai kantong plastik, tapi di luaran sana produk-produk masih dijual dengan menggunakan bungkus plastik. Suruh saja para produsen itu untuk tidak menggunakan plastik dalam kemasannya". Ya, masuk di akal juga sebenarnya jika mau berpikiran seperti ini.

Belum lagi, mengedukasi masyarakat itu tidaklah mudah, terutama pada pedagang-pedagang kecil dan pedagang-pedagang di pasaran yang masih sangat bergantung dengan kantong plastik.

Ini adalah PR kita bersama jika ingin permasalahan sampah ini teratasi. Bukan cuma pemerintah dan para produsen, tapi juga masyarakat negeri ini. 

Bisa saja dimulai dengan pendidikan usia dini, memperkenalkan pendidikan tentang pemilahan sampah, bahaya pencemaran sampah, dan lain-lain di salah satu pelajaran di sekolah. Atau jika tidak memungkinkan masuk dalam kurikulum sekolah, bisa juga dibuat kegiatan ekstrakurikulernya. Ekstrakurikuler daur ulang sampah plastik, misalnya.

Atau seperti yang sudah umum, menyediakan tempat sampah organik dan anorganik di setiap pojok sekolah, seperti yang saat ini sudah banyak terlihat.

2. Sistem pembuangan sampah TPA itu sendiri

Tantangan berikutnya adalah, seandainya pun  kita sudah mulai memilah-milah sampah di rumah dengan baik sesuai sampah organik, anorganik, sampah basah dan sampah kering, apakah ini menjamin sampah-sampah tersebut akan dibuang terpisah oleh petugas yang bersangkutan di TPA nanti?

Jika di Jerman, petugas pengangkut sampah datang secara bergantian sesuai dengan sampah yang diangkutnya. Tapi, jika saya lihat di ligkungan tempat saya tinggal, bapak yang bertugas mengangkut sampah setiap hari dan ditumpuk dalam satu tempat gerobak yang dibawanya.

Bisa saja kita sudah disiplin memilah sampah di rumah, tapi saat di TPA tetap saja dikumpulkan dengan sampah-sampah lainnya. Nah, rumit juga, bukan?

Solusi yang bisa ditawarkan

1. Sumber hukum telah tersedia

Sebenarnya, sumber hukum yang mengatur tentang pengelolaan sampah pun telah tersedia, yaitu tertuang dalam UU No.18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah.

Namun, sejauh mana efektivitas dan penerapan UU ini sepertinya dapat terlihat dari masih maraknya pencemaran sampah sebagai permasalahan umum hingga saat ini.

Bisa jadi bukan UU-nya yang jadi sorotan, tapi penerapan dan pengawasan dari kebijakan yang telah diatur tersebut.

2. Mulai dari langkah kecil mengurangi timbunan sampah di TPA

Jasa angkut dan daur ulang sampah oleh Waste4Change (Sumber gambar: Waste4Change via jpnn.com)
Jasa angkut dan daur ulang sampah oleh Waste4Change (Sumber gambar: Waste4Change via jpnn.com)

Jika kita terlalu sibuk memperdebatkan siapa yang harus bertanggung jawab dan apa yang harus dibenahi, mungkin akan memakan waktu lama karena setiap aktor seyogianya mempunyai kepentingan masing-masing.

Menurut hemat saya, yang bisa kita lakukan adalah dengan mengurangi timbunan sampah di TPA. Ini juga berkaca pada kasus longsor TPA Leuwigajah beberapa tahun silam akibat kapasitas yang berlebihan.

Bagaimana caranya? Sesederhana dengan tidak menambah sampah-sampah yang tidak diperlukan, seperti sampah plastik dan sampah makanan. Jika ada sampah yang masih bisa didaur ulang, lebih baik kita daur ulang.

Jika tidak bisa mendaur ulang, bagaimana? Sepertinya di kampung-kampung masih banyak para pengepul plastik dan kertas yang mengambil dari sampah rumah tangga untuk dijual dan dikelola lagi. Kita bisa memanfaatkan para pengepul ini sebagai alternatifnya.

Selain itu, di beberapa kota besar seperti DKI Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi, Tangerang, Bandung, Semarang, Sidoarjo, dan Medan telah tersedia layanan Responsible Waste Management dari Waste4Change, sebuah perusahaan/organisasi nirlaba yang berfokus pada pengelolaan sampah untuk mengurangi sampah di TPA secara signifikan.

Jasa dari layanan ini juga bisa menjadi alternatif kita untuk membantu mengurangi sampah dan pencemaran sampah di lingkungan di negeri ini.

Seperti kata pepatah, "Perjalanan ribuan mil berawal dari satu langkah" - Lao Tzu. Begitu pula dengan langkah kita mengatasi permasalahan sampah di negeri ini. Satu langkah dari kita untuk mengurangi penggunaan sampah plastik dan sampah makanan pun kelak bisa membawa pada perjalanan pengurangan pencemaran sampah di negeri ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun