Bandung, November 1985.
Hujan mewarnai jalan Braga sore itu. Lampu-lampu toko dan papan reklame Coca-Cola memantul di genangan, membentuk lukisan cahaya yang seolah tak pernah pudar. Di trotoar, kaset-kaset bajakan berjejer di lapak pinggir jalan, sebagiannya basah oleh rintik.
Rudi berdiri di bawah kanopi sebuah kedai kopi. Jaket kulit asli melekat di tubuhnya, dan sepatu ketsnya tetap necis karena ia pandai menghindari genangan. Dari radio transistor di pojok kedai terdengar merdu suara Dian Piesesha, "Aku masih seperti yang dulu.. Menunggumu sampai akhir hidupku.."
Ia menutup mata sejenak, menghela nafas menghayati kata. Bait itu terasa seperti pesan yang ditulis khusus untuknya. Sejak Marlina pindah ke Jakarta dua tahun lalu, ia tak pernah mendengar kabarnya lagi.
Namun tiba-tiba, langkah kaki berhenti di depannya. Seorang gadis dengan gaun bersiluet A bermotif bunga, menggenggam payung merah muda tersenyum kikuk padanya. Rambut bobnya tampak basah di ujung, bibirnya gemetar menahan dingin.
"Rudi?"
Suara itu membuat dada lelaki itu berdebar. Waktu dua tahun seolah tak berarti apa pun. "Marlina?"
Rintik menetes dari ujung kanopi, menyusun nada syahdu. Dalam beberapa detik mereka berdiri canggung, berlatarkan suara hujan dan kaset pita yang terus berputar.
"Masih suka nongkrong di sini, ya?" tanya Marlina.
"Dan kamu.. masih suka pakai payung yang warnanya norak?" Rudi balik bertanya, mencoba tersenyum namun sorot matanya tak bisa menyembunyikan rindu.