Mohon tunggu...
Novia Elga
Novia Elga Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Call Me Novia. Sedang menjelajahi dunia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Disa

25 Maret 2021   14:08 Diperbarui: 25 Maret 2021   14:14 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Di, aku tunggu di cafe kopi Jl. Soetomo."

"Iya Sa. Aku kesitu sekarang."

Dua manusia yang kembali bertemu setelah tiga tahun tidak saling menghubungi. Mereka saling bertatapan, seakan ada seribu hal yang ingin dibicarakan.

"Ada apa Sa?"

"...." Wanita itu hanya menangis sambil menutup wajah dengan kedua tangannya.

"Sa? Apa yang terjadi? Kamu kenapa? Tolong jawab Sa. Siapa yang berani menyakiti kamu?"

"...." Tangisannya semakin membuat nafasnya sesak.

"Sa, aku akan di sini sampai kamu mau cerita." Ia duduk dan melihat wanita di depannya menangis dengan tanpa diketahui sebabnya.

"Di, dia jahat banget sama aku." Tangisannya tak membuat suaranya jelas, namun lelaki itu cukup memahami apa yang dikatakannya.

"Apa yang dia lakuin ke kamu Sa?" Ia berpindah ke sebelah wanita itu dan mengelus pundaknya.

"Aku sakit hati banget Di..." Tangisannya semakin menjadi.

Lelaki itu tak berkata apapun. Ia hanya memeluk wanita itu. Ia memeluknya erat. Seakan tak ingin wanita itu tersakiti oleh siapapun itu. Lelaki itu memendam amarah atas orang yang berani membuat wanitanya menangis. Lelaki itu mengelus rambut wanita dipelukannya dengan lembut. Ia benar-benar sedih melihat semua ini.

"Sa.... Aku nggak bisa lihat kamu kayak gini...." Ia semakin memeluk wanita itu dengan erat.

"....." Ia benar-benar tak dapat mengatakan apapun lagi, hanya ada air mata yang jatuh.

"Kenapa lagi dia?" Ia melepaskan pelukannya dan memegang kedua pundak wanita itu.

"Dia bilang kalau...." Tangisannya Kembali keluar semakin membuatnya susah untuk bernafas.

"Sa...." Lelaki itu memeluknya lagi.

".....Apa salahku Di...." Ia hanya menangis dan mengatakan itu berulang kali.

"Kamu nggak salah..." Ia mengelus dan memeluk wanita itu.

"Dia membahas mantannya saat beberapa bulan sebelum kita menikah Di...." Ia menjauh dari pelukan itu dan mengusap air matanya.

"Sa..." Lelaki itu hamper tak dapat menahan air matanya keluar. Masih tertahan di ujung kelopaknya.

"Kenapa harus seberat ini Di..." Ia menutup wajahnya lagi dengan kedua tangannya.

"Sa... Menuju pernikahan memang banyak cobaan. Ini belum apa-apa..." Ia menatap wanita itu.

"....." Wanita itu kembali menutup wajahnya dengan kedua tangannya.

Alunan musik karya Kunto Aji sangat mendukung apa yang dirasakannya saat ini. Seakan alam sadar bahwa ia sedang patah hati. Walaupun sebenarnya tidak ada yang berakhir dari sebuah kejadian ini, patah hati pun juga tidak hanya soal putus cinta. Ia benar-benar tidak terima atas kejadian yang baru saja ia alami.

"Sa, maafin Aku. Kita jangan tinggal di sini ya.."

"Kenapa Panji?"

"Jangan marah."

"Ada apa ?"

"Lokasi ini bikin aku inget sama mantanku Sa."

"......"

"Aku udah nggak ada apa-apa kok."

"Tapi kita udah mau nikah Nji."

"Tapi rumah yang bakal kita tempatin ini nggak cuma setahun dua tahun Sa."

"Bukan. Bukan masalah itu."

"Aku nggak bisa di sini Sa. Mengingatkan soal dia."

"Cukup. Kamu nggak perlu ngelanjutin perkataan kamu."

"Maaf Sa."

"...." Ia hanya meneteskan air matanya.

"Maaf Sa. Jangan menangis." Laki-laki itu mencoba memeluk wanita di hadapannya yang sedang menangis

"...." Wanita itu tak mengatakan apapun, ia hanya mengelak sentuhan dari lelaki itu.

"Aku salah. Maaf Sa." Ia menunduk.

"Kamu hidup di saat ini. Apa kamu masih belum dapat merelakan masa lalumu?" Ia mencoba untuk menguatkan dirinya sendiri.

"Sa.." Ia menunduk kembali.

"Maaf. Aku nggak bisa mencintai seseorang yang masih tinggal di masa lalunya." Ia masih mencoba untuk menguatkan dirinya.

"Sa.." Ia mencoba untuk memegang tangan wanita itu.

"Cukup!" Ia mengelak tangan lelaki yang sedang mencoba meraihnya kembali.

"Aku memang salah karena belum bisa keluar dari ruangku yang dulu." Ia kembali menunduk.

"Kamu Gila Panji. Mengapa kamu datang dan mengenalkan dirimu di hadapan kedua orang tuaku. Kenapa kamu harus menyakiti aku! Dengan persiapan pernikahan kita yang sudah hampir 100 % ini. Sungguh! Kamu Gila!" Ia mengumpat lelaki di hadapannya.

"Maafkan Aku Sa.. Aku benar-benar nggak bisa.." Ia menunduk kembali.

"Kamu hanya perlu membicarakan ini ke kedua orang tuaku." Ia mencoba melangkahkan kakinya lebih jauh dari lelaki itu.

"Jangan pergi, kita akan tetap menikah." Ia meraih tangan wanita itu.

"Tidak." Wanita itu pergi

Kali ini ia benar-benar menangis. Ia bahkan tak peduli dengan orang yang ada di sekitarnya. Tangannya gemetar. Bahkan ia tak percaya bahwa harus menerima dan berhubungan dengan lelaki yang pada akhirnya akan menyakitinya sekejam ini. Tidak dapat melupakan masa lalunya dalam waktu sebulan sebelum menikah.

Move on memang tidak berarti harus melupakan. Namun, jika lelaki itu masih belum beranjak dari ruang yang sudah lalu, mengapa ia harus menciptakan ruang yang baru? Melupakan memang tak semudah itu, tapi bukan berarti ia harus menyakiti wanita lain setelah lama waktu berlalu. Menikah dengan orang yang masih tinggal di masa lalunya adalah sebuah hal yang sia-sia.

Ia benar-benar ingin mengakhiri hidupnya. Memalukan. Harus berkata apa dengan teman-temannya yang sudah mengetahui kabar ini. Harus mengatakan apa pada kedua orang tua dan keluarga yang sudah saling kenal. Mengapa ini semua terjadi? Mengapa ia harus bertemu dengan lelaki brengsek bernama Panji.

Pernikahan adalah awal dari sebuah perjalanan yang penuh cobaan. Ia hanya menyesal telah bertemu lelaki itu. Benar, tak akan ada laki-laki yang sebaik Aldi. Ia hanya bisa menangis, karena Aldi tak akan mungkin ada di sini. Aldi, hanyalah manusia yang sudah tidak ada di dunia ini. Aldi benar-benar tidak ada. Dan Disa, hanyalah wanita yang disia-siakan oleh Panji.

Aldi seperti berupaya memeluk wanita yang menangis sendirian. Namun, seperti raga yang memang tak bisa hadir. Orang-orang biasa hanya melihat wanita itu merasakan depresi sendiri. Menangis dengan menutup wajahnya.

"Disa jangan menangis..." Aldi berupaya untuk menenangkan Disa.

Tak ada perubahan apapun. Disa tetaplah wanita yang menangis sendirian di pojok cafe. Ia benar-benar butuh Aldi. Ia ingin ada seseorang yang menyayanginya seperti sebelum Aldi tertidur pulas di atas ranjangnya setelah bertahan 3 tahun melawan kanker darah atau blood cancer. 

Disa yang disakiti Panji, dan Aldi yang sedih melihat Disa.

Sekian...

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun