Mohon tunggu...
Inem Ga Seksi
Inem Ga Seksi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Jadilah air bagi ragaku yang api

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Perempuan dan Biolanya

19 Oktober 2014   22:28 Diperbarui: 17 Juni 2015   20:28 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Perempuan berambut cokelat sepinggang itu terahkir kali memainkan biolanya sekitar 4 tahun yang lalu, memainkannya pada sebuah senja yang redup di musim yang tidak kering dan tidak basah. Sesekali bunga Kamboja gugur diantara jari-jarinya yang tengah menyetel kekencangan bow. Bow adalah busur alat penggesek biola.

"Rambut pada bow jangan di biarkan lemas jika tidak di pakai. Jadi kencang kan dulu jika kau ingin memainkan biolanya dan jangan gunakan jari kelingkingmu untuk mengukur, sebab rambut bow harus terjaga kekeringannya"

Airmatanya berlinang-linang bak gumpalan salju yang meleleh terbakar matahari.

***

Kini, ingatannya kembali melayang pada masa mundur sekitar 14 tahun yang lalu, saat kali pertama seorang lelaki yang di anggapnya biasa saja mengajarinya bermain biola.

Sebuah alat gesek, yang konon katanya sedikit rumit untuk di mainkan. Namun jika seseorang sudah mampu memainkannya maka setiap nada yang terlahir dari persetubuhan biola dan bow-nya akan melahirkan kidung selaksa lagu surgawi.

Udara yang awalnya hanya sekedar lembab, kini terasa makin basah. Sama basahnya dengan kelopak matanya yang berembun lebat. Seperti gelas yang berisi penuh air es, hampir seluruh permukaannya berembun. Sesekali gelanyar-gelanyar itu turun, mereka meluncur bak gletster yang mengerutu karena matahari sudah membakar kebekuan mereka.

Di dekapnya erat biola berwarna hijau itu dengan bow yang menjuntai hampir menyentuh tanah. Rupanya rindu yang tak tertahan berhasil menghasut nada-nada yang awalnya telah di rencanakan. Untuk menjadi lagu yang ingkar pada syairnya.

Teringat janji yang ditulisnya, pada secarik kertas lusuh, yang kemudian dilarungnya pada bibir pantai Parangtritis. Bahwa tepat di ulangtahunnya, perempuan itu akan memainkan sebuah lagu untuk lelakinya. Lelaki yang kini sudah berkalang tanah.

Pesan lelakinya untuk tidak terlalu kencang mengatur Bow sebuah biola di abaikannya. Dengan tergugu perempuan itu menggesek acak Bow pada senar-senar yang tak kendur, bunyi melengking terdengar begitu miris seiring kepak burung hantu yang juga merasa kesepian.

Dan " Tes" sebuah senarnya putus.

Mengetahui sebuah senarnya terputus pempuan itu tak terkejut, hanya saja matanya mengerjap-ngerjap. Bulu matanya yang lentik beradu dengan mata bagian bawah yang sedikit bengkak. Rupanya sisa sendu semalam begitu jelas tergambar.

Dengan tenang di turunkannya biola berwarna hijau itu dari pundaknya dan di pandanginya dengan bibir yang sedikit bergetar. Tanpa merasa bersalah 3 senar yang tersisa di renggutnya juga. Dan jadilah biola itu tak berdawai.

"Biola ini akan ku biarkan saja tak berdawai. Biarlah sebuah biola menjadi sunyi tanpa mampu menembangkan apapun. Sungguh tanpa mu, nada-nada pada biola ku terlahir cacat" isaknya penuh duka.

Tangan perempuan itu tampak gemetar saat  meletakkan  biola yang tak lagi berdawai itu pada sebuah pusara yang terbuat dari marmer berwarna putih tulang lengkap dengan alat penggeseknya.

Dan melangkahlah perempuan itu, berlalu dengan mata sembabnya.

“Tidak seharusnya kau pergi sebelum pelajaran biolaku selesai” lirihnya sambil berlalu tanpa menoleh.

***

Saat ini, perempuan itu mengenggam biola barunya. Bukan biola berwarna hijau namun berwarna coklat.

Cukup lama dipandangnya biola itu. Di tariknya nafas panjang-panjang sambil menelusuri seluruh sisi biola coklat itu.

"Awalnya kubeli ini empat bulan yang lalu karena aku ingin memainkan lagi banyak nada di hadapan lelaki ku, pengganti mu. Dia tak bisa memainkan biola, bahkan memetik sebuah senar gitar pun dia tak bisa. Tapi dari mulutnya selalu lahir bayi-bayi sajak nan ranum.  Dan ternyata aku mencintainya."

Bukannya memainkan alat gesek tersebut, perempuan itu malah terduduk lesu. Lagi-lagi biola coklat itu di hempasnya sekuat mungkin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun