"Pernah berada di titik paling gelap, dimana ketika tidak ada lagi yang menggenggam, dan nyaris ingin menyerah. Di kota yang asing, di kamar asrama yang sunyi, keinginan untuk mengakhiri segalanya sempat terlintas. Tapi justru dari titik terendah itulah aku mulai belajar bahwa luka tidak selalu melemahkan. Ia bisa tumbuh menjadi kekuatan. Dari gelap, aku menemukan kembali cahaya. Ini bukan hanya tentang luka, tapi tentang harapan yang perlahan tumbuh. Inilah kisahku bangkit dari depresi dan kembali mencintai hidup."
Hidup Sendiri di Tanah Orang
Tinggal jauh dari keluarga itu bukan hal yang mudah. Beberapa tahun lalu, aku merantau ke Jakarta demi membantu ekonomi orang tua, lalu lanjut ke Medan, demi mengejar pendidikan dan masa depan yang katanya lebih cerah. Awalnya, semangatku penuh. Rasanya seperti petualangan baru. Tapi seiring berjalannya waktu, rasa sepi mulai pelan-pelan menyelinap. Tidak kelihatan, tapi terasa.Â
Tinggal di asrama mengajarkanku banyak hal: bagaimana mandiri, bagaimana caranya bertahan, dan yang paling berat adalah bagaimana berdamai dengan sunyi. Tidak semua teman bisa jadi tempat cerita. Malam-malam sering terasa panjang. Dinding kamar cuma diam, dingin... dan tidak pernah bisa jadi tempat bersandar saat hati lagi capek.Â
Kadang, aku merasa seperti kehilangan versi diriku yang dulu yang selalu ceria, semangat, dan yakin sama semuanya. Itu semua digantikan oleh versi yang lebih sering diam dan menyimpan semuanya sendiri. Tapi dari sunyi itu juga, aku mulai belajar satu hal penting yaitu hidup di tanah orang mungkin membuat kita sendiri, tapi bukan berarti kita sendirian selamanya.
Titik Terendah: Saat Aku Ingin Mengakhiri Segalanya
Hari itu, aku duduk diam di ujung ranjang asrama. Jendela kamar yang mengarah ke langit dan mendung, seolah ikut merasakan apa yang ada di dalam pikiranku. Tidak ada tawa, tidak ada kabar dari rumah, dan yang lebih menyakitkan tidak ada alasan untuk bangun dari tempat tidur. Rasanya... capek. Bukan capek badan, tapi capek untuk terus hidup.
Di dalam kepala, suara-suara negatif menggema tanpa henti. "Kamu gagal." "Kamu cuma beban." "Udah, selesai aja semuanya." Suara-suara itu makin lama makin keras, dan makin meyakinkan. Sampai aku benar-benar menulis surat perpisahan. Tapi tepat sebelum semuanya berakhir, ada satu suara kecil hampir nggak terdengar berbisik pelan-pelan, "Coba satu hari lagi..." Dan anehnya, suara kecil itu yang menyelamatkanku.
Depresi Itu Nyata
Banyak orang mengira bahwa depresi itu hanya sedih biasa. Tapi aku tahu itu lebih dari itu. Rasanya seperti kehilangan warna dalam hidup. Aku kehilangan minat pada segalanya. Makanan yang hambar, waktu terasa berhenti, dan semuanya tampak sia-sia.Â
Aku pernah duduk di meja makan bersama teman-teman, dan tiba-tiba menangis. Bukan karena ada alasan besar. Tapi karena hati ini terlalu penuh dan hampa di saat yang sama. Bahkan di tengah keramaian, aku merasa paling sendiri. Â Dan yang lebih menyakitkan: aku menyalahkan diri sendiri.