Mohon tunggu...
Novendra Cahyo N.
Novendra Cahyo N. Mohon Tunggu... Lainnya - Numpang kerja di Halmahera

Belajar menyampaikan gagasan melalui tulisan. Twitter: @fendra_novendra Email: novendracn11@gmail.com Website: novendracn.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Ikhlas Dirantau

18 Januari 2015   16:38 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:53 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Merantau merupakan salah satu fase dalam hidup yang hampir semua orang menjalaninya. Saya yakin diantara pembaca ada yang sudah lama merantau, ada pula yang baru saja dalam tahap adaptasi di rantau. Merantau kaitannya dengan bekerja di rantau sedikit banyak dipengaruhi kehidupan ketika dulu sekolah/ kuliah. Yang sudah pernah merasakan pahit getirnya kehidupan anak kos biasaya lebih cepat beradaptasi ketika merantau.

Bulan ini bulan ke enam saya berada di Indonesia Timur. Berada di luar Pulau Jawa bukanlah pengalaman baru. Dahulu pernah di Sumatera dan Kalimantan walaupun cuma sebentar. Saya berada di sini karna dahulu pas pemilihan lokasi kerja saya milih di Maluku Utara.

Pertama tahu pengumuman kalau saya lolos dan bakal bekerja di Maluku Utara perasaan campur aduk. Yang utama senang bersyukur dan memberikan pemahaman kepada orang tua. Belajar dari pengalaman merantau sebelumnya, saya tegaskan pas saya berangkat agar Ibu tidak menangis dan meyakinkan kalau beliau benar-benar ikhlas melepaskan saya berdinas kesini.

Saya pun waktu itu tidak berkenan diantar sampai ke bandara. Takutnya lihat Ibu nangis dan jadinya bagaimana gitu. Makanya saya putuskan pas berangkat mengambil penerbangan Surabaya-Ternate. Dari rumah (Karanganyar) ke Surabaya naik travel. Sebenarnya yang ideal ya ke Jogja saja terus Jogja-Jakarta-Ternate, tapi ya karna mencegah Ibu mengantar sampai bandara saya memberikan pemahaman ke Ibu dan memutuskan berangkat dari Surabaya.

Dari Surabaya ke Ternate waktu itu sekitar 5 jam (perbedaan zona waktu). Kemudian lanjut perjalanan darat dengan mobil sekitar 20 menit. Kemudian tiba di pelabuhan speed boat untuk menyebrang dari Ternate ke Sofifi sekitar 45-60 menit. Lanjut darat lagi sekitar 20 menit baru sampai kantor.

Ya sampai saat ini masih tok cer....jarang kepikiran rumah atau homesick. Kalau kemarin sempat pulang akhir November semata-mata karna urusan darurat bukan karna homesick.

Kalau ikhlas bagi saya itu keadaan dimana kita ‘pasrah’ tapi tetap mengusahakan yang terbaik. Misalnya kaya’ pas naik speed boat. Sudah pernah baik speed boat dari yang bermesin dua juga tiga, antara gelombang tenang dengan gelombang yang gak membuat hati tenang. Pernah suatu ketika naik speed boat bareng teman kantor, nah saat itu gelombang lumayan tinggi (tapi ya gak tinggi-tinggi banget) dan saya pun memilih tiduran sampai-sampai teman saya menegur ‘mas...kamu ini kok bisa-bisanya ombak kaya’ gini bisa tidur’. Saya jawab dengan enteng mau bagaimana lagi dan pasrah saja serta lanjut tiduran. Ya...saat menyebrang adalah saat yang tepat buat tidur.

Kalau naik speed boat paling prefer duduk paling belakang dan dekat pelampung, jaga-jaga terhadap hal yang tidak-tidak. Kan naik speed boat itu yang utama selain gelombang juga kelihaian drivernya kan? Pernah naik speed boat tiba-tiba mesin mati dan beberapa menit terombang-ambing. Bahkan ada kawan saya yang naik speed boat pecah badan speed boatnya dan air pun masuk ke speed boat dan ramai-ramai pada nyumbat itu lubang.

Dulu pas awal-awal kesini yang paling kaget adalah sinyal telepon, sinyalnya tidak full dan ‘hilang-hilang’. Padahal kami berada di ‘Ibukota’ walaupun Ibukota yang masih berada di level kelurahan (silahkan googling mengapa provinsi ini menjadi satu-satunya provinsi yang Ibukotanya berada di kelurahan).

Disini mati listrik juga sering. Sehari padam lima kali hal yang biasa. Dulu malah pernah pulang kerjai niatan mau masak nasi eh listrik padam dua jam-an dan makan malam jam 22.00 ke atas itu sudah biasa. Saat jam kerja pun belum tengah hari padam tiga kali juga biasa.

O ya bicara merantau kendala terbesar memang di biaya hidup. Ya disini biaya hidup yang utama dipicu karna biaya transportasi yang besar. Speed boat dari Ternate ke Sofifi sudah Rp 50.000,00. Kalau naik feri sekitar Rp 26.000,00. Kemudian naik otto (mobil lintas) dengan jalan mulus perjalanan sekitar 200 km mencapai Rp 130.000,00. Belum lagi ongkos ojek motor atau becak motor. Maka tak heran harga kebutuhan pokok melejit. Harga makanan pun bisa sampai dua-tiga kalinya di Jawa. Pernah makan soto lamongan tepi jalan yang disini mencapai Rp 20.000,00. Tapi semahal apa pun kehidupan di rantau kalau memang garis rejeki kita masih disini ya dinikmati saja.

Dinikmati?? Iya dinikmati. Itulah nasehat Ka. Balai saya saat pertama kali bertemu. Keesokan harinya baru saya dikasih tahu bahwa ‘dinikmati’ punya dua arti: disyukuri dan cepat adaptasi. Yup....disyukuri memang wajib. Adaptasi juga harus karena lingkungan baru semuanya serba baru. Mulai dari aturan, budaya, makanan, dan sebagainya. Ya pokoknya kudu pintar-pintar menempatkan diri.

Ya terlepas dari kekurangan dari daerah rantauan tapi sebernarnya masih banyak sesuatu yang membuat kita menjadi lebih betah dan kerasan. Salah satunya adalah pemandangan!! Ya bukan rahasia lagi pantai dan perairan Indonesia Timur itu kece-kece. Maka kalau saya ke daerah paling hobi berburu pantai-pantai yang masih eksotis dan belum banyak dijamah. Tinggal dijepret dan dipamerin di instagram, itung-itung promoin spot-spot kece di Maluku Utara.

Ada kata-kata menarik di TL twitter bahwa Terkadang ada rasa benci di kota ini, tapi demi apapun gak akan ada alasan untuk pergi. Yang ada hanya alasan untuk bertahan (@omaradhimukhtar). Yakinlah bila kita benar-benar ikhlas di rantau in sya allah akan lebih manis buah yang didapatkan. Dulu senior saya sampai pernah bilang, semakin ke timur ‘pahala’ pengabdiannya semakin besar.

Dalam pengabdian seringkali kita merasa capek atau lelah itu merupakan hal yang biasa. Asal jangan ngeluh berlebihan. Bukankah capek itu sebagai tanda perjuangan.  Sebab kalau kamu tidak capek berarti kamu tidak sedang memperjuangkan apa pun dihidupmu (@soyidiyos)

Terakhir, ada nasehat bijak dari Imam Syafi’i Rahimahullah terkait dengan merantau (http://kisahmuslim.com/motivasi-merantau-dari-imam-asy-syafii/):

-Merantaulah…-

Orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman.

Tinggalkan negerimu dan hidup asing  (di negeri orang).

Merantaulah…

Kau akan dapatkan pengganti dari orang-orang yang engkau tinggalkan (kerabat dan kawan).

Berlelah-lelahlah, manisnya hidup terasa setelah lelah berjuang.

Aku melihat air menjadi rusak karena diam tertahan..

Jika mengalir menjadi jernih, jika tidak, akan keruh menggenang.

Singa jika tak tinggalkan sarang, tak akan dapat mangsa..

Anak panah jika tak tinggalkan busur, tak akam kena sasaran.

Jika matahari di orbitnya tak bergerak dan terus berdiam..

tentu manusia bosan padanya dan enggan memandang.

Bijih emas tak ada bedanya dengan tanah biasa di tempatnya (sebelum ditambang).

Kayu gaharu tak ubahnya seperti kayu biasa jika di dalam hutan.

Jika gaharu itu keluar dari hutan, ia menjadi parfum yang tinggi nilainya.

Jika bijih memisahkan diri (dari tanah), barulah ia dihargai sebagai emas murni.

Merantaulah…

Orang berilmu dan beradab tidak diam beristirahat di kampung halaman.

Tinggalkan negerimu dan hidup asing  (di negeri orang)

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun