Mohon tunggu...
Sarni Al-boegisy
Sarni Al-boegisy Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Aku hanyalah manusia biasa, terlahir di lingkungan suku bugis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Yang Terbalaskan

20 September 2012   01:57 Diperbarui: 25 Juni 2015   00:12 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Setelah dua minggu tidak menjejakkan kaki di lantai putih ini. Aku masih mengenal khas harum lembaran buku-buku yang tersusun rapi di rak, keadaan bukunya masih sama seperti terakhir kali aku kesini. Posisi rak buku bagian psikologi masih di samping tempatku duduk mengarah barat. Sehingga tiap kali duduk disini aku selalu melirik buku karyaku yang sudah terpajang di antara buku lainnya, judulnya Unforgettable Moments. Buku perdanaku yang sudah display di toko buku Gramedia Jambi, meskipun masih antologi bersama penulis lain tapi aku bangga karena di dalamnya terdapat tulisanku berjudul Hikmah di Balik Duka. Sebuah kebanggaan tersendiri bagiku, di usia yang ke-17 telah menulis sebelas buku termasuk yang sedang proses terbit. Pencapaian terbesar dalam hidupku.

Aku duduk diapit dua gadis yang sebaya denganku. Kulihat mereka sedang membaca novel, yang berbaju merah tengah menikmati novel Heart Emergency by Falla Adinda, dan yang memakai baju biru lagi memegang perutnya karena menahan tawa gara-gara novel Cado-Cado Kuadrat by Ferdiriva Hamzah. Sementara yang baju blaster pink-putih dengan jilbab pink muda lagi baca buku Notes From Qatar by Muh. Assad, itu adalah aku yang duduk di tengah. Sudah dua episode buku NFQ kutamatkan disini, karena harganya tidak bersahabat dengan dompet pelajar sekaligus perantau sepertiku. Lagipula baca disini gratis, kenapa tidak? Hehe, kecuali jika bukunya dibawa pulang maka dompet harus digesek di atm.

Aku sangat terharu membaca kisah penulis tentang keajaiban sedekah, yang menyatakan bahwa sedekah tidak mengurangi harta, justru akan bertambah, bertambah, dan bertambah. Dan satu hal yang kebanyakan orang tidak menyadarinya bahwa bersedekah tidak harus menunggu kita berpenghasilan dulu. Dengan sedekah memudahkan kita dalam mencapai cita-cita. Di bagian iniliah yang membuatku penasaran, benarkah dengan sedekah maka Allah akan mengabulkan doaku? Jika Aku punya seribu harapan, apakah aku harus bersedekah sebesar harapanku? Banyak banget? Bisa melarat aku. Oh, tidak. Bersedekah itu tidak boleh perhitungan, sedikit tapi ikhlas, insyaAllah membawa berkah.

Aku mulai tertarik untuk segera bersedekah, tapi masih bingung hendak sedekah kemana? Kulanjutkan membaca buku NFQ hingga halaman terakhir, dan ternyata di bagian belakang tertera nomor rekening yayasan yang sedang mengumpulkan dana untuk pembangunan sekolah Hafidz Daarul Quran. Tanpa pikir panjang akhirnya aku menulis nomor rekeningnya dan segera ke Atm.

Setibanya di atm depan Gramedia, ternyata atm nya mati.

“Maaf, Pak, atm nya kok dak hidup?” tanyaku pada security.

“Atm lagi masa perbaikan, Mbak.”

Aku mengangguk lalu tersenyum dan pergi meninggalkan security menuju parkir. Tiba-tiba dia berteriak,

“Maaf, Mbak, di Simpang Sipin ada Atm BRI.”

“Oh, ya. Makasih, Pak.” jawabku sembari mengelus dada.

Aku segera meluncur ke tempat selanjutnya, tapi sedari tadi perutku keroncongan. Memang dari tadi pagi belum makan, hanya sarapan sepotong roti lalu melesat ke Gramedia. Akhirnya aku memutuskan untuk mampir ke warung bakso di pinggir jalan. Tiba-tiba…

“Gubrakkk.”

Ada yang mencium vario-ku dengan paksa dari belakang. Aku menoleh dan membuka kaca helm. Alhamdulillah, Untungnya aku bisa menahan dengan kaki agar tidak mencium aspal. Tapi yang nabrak dari belakang itu yang terperanjak ke aspal. Hanya luka sedikit di bagian lutut dan lengannya. Aku berusaha membantunya untuk berdiri.

“Maaf, Mas.”

“Iya, dak apa kok” tuturnya sambil mengelus tangan dan lututnya yang berdarah.

“Saya yang salah, dak lihat kamu mau mampir.” Lanjutnya.

“Itu lututnya berdarah, Mas. Sini dikasi betadin dulu, kebetulan saya bawa P3K.” Sambil menunjuk lutut pemuda bertopi hitam itu.

Aku menggiringnya ke warung bakso di samping tempat kami berdiri. Aku mengeluarkan kotak kecil berwarna putih dari tas hitamku. Lalu membersihkan lukanya terlebih dahulu, baru kuteteskan betadin. Aku sempat melihat wajahnya berkerut menahan perih. Wajahnya merah darah persis daging ayam mentah habis dicincang.

“Kayaknya lukanya lumayan parah, Mas. Ke rumah sakit, ya” tuturku sembari membopong pemuda ini ke atas motornya.

***

Setiap kebaikan adalah sedekah.

“Selalu aja ada rintangan setiap mau melakukan kebaikan. Uang untuk sedekah dipakai untuk pengobatan pemuda itu,” gumamku dalam hati.

“Ya Allah, uangku tinggal seratus lima puluh ribu, kalau disedekahkan setengahnya apakah cukup memenuhi keinginanku?”

Aku termenung menatap layar atm. Aku teringat kembali kalimat yang ditulis Mas Asaad dalam bukunya, sedekah tidak mengurangi harta sedikitpun, sedekah yang utama adalah ketika kita menyedekahkan yang kita cintai, karena Allah melihat pengorbanan dan kerelaan kita dalam bersedekah.

Tanpa memberi peluang setan menari dipikiranku, segera aku mengetik nomor rekening yayasan tersebut.

“Ya Allah, hamba ikhlas. Semoga dengan ini bisa mewujudkan keinginanku lulus di Fakultas Kedokteran,” dengan penuh keyakinan aku segera mentransfernya.

Alhamdulillah. Kebaikan akan dibalas dengan kebaikan, dan aku yakin janji Allah lebih pasti dari terbitnya matahari.

Cuaca pagi bagitu bersahabat. Suara kodok semakin redup karena kokok ayam yang  menjadi raja pagi di samping kamarku. Aku terbangun dari kasur empuk menuju kamar mandi. Kebiasaan pagi adalah kamar mandi menjadi ruang pertama yang aku sentuh ketika bangun tidur, karena tuntutan dan panggilan alam.

Dering nokia…

Aku meraih nokia yang tergeletak di atas meja belajar.

“Ndi’[1], cek rekeningnya. Abang lagi ada rezeki lebih, jadi tak bagikan sama adek.”

Alhamdulillah, belum ada 24 jam ternyata Allah sudah menurunkan malaikat untukku. InsyaAllah, kiriman dari Abang Mail cukup membantuku mengumpulkan dana untuk bisa bimbel di Primagama. Abang sepupuku memang sangat baik, dia kerja sekaligus kuliah di UIN Sunan Kalijaga. Aku sangat berharap bisa kuliah disana. Aku sadar dengan harapan saja tidak cukup, butuh perjuangan yang ekstra untuk bisa kuliah disana.

“Masih belum cukup.”

Aku enggan jika harus meminta pada orang tua. Aku tahu ekonomi keluarga kami sedang merosot. Hanya sebulan sekali mereka ke Jambi. Dan ini yang membuatku berpikir bagaimana caranya mendapatkan uang dalam seminggu, agar sebulan bisa bimbel.

Tiba-tiba sort massage menghiasi inbox nokia.

“Selamat ya, Sar. Kamu pemenang lomba menulis karya ilmiah, ke Korem sekarang untuk menerima penghargaan.”

Jantungku hampir copot. Tidak percaya dan aku menghubungi sahabatku yang juga peserta lomba. Alhamdulillah, Aku langsung sujud syukur di dalam atm. Karya tulis perdana yang kukirim sebulan yang lalu ternyata jadi pemenang pertama. Bahkan aku hampir lupa pernah mengikuti lomba tersebut, aku pikir naskahku kalah karena tidak ada pemberitahuan dari panitia.

Sebuah tropi, piagam penghargaan, dan uang tunai 2 juta kini ada dalam genggamanku. Ya Allah, syukron atas nikmat yang Kau berikan padaku.

***

Sejak aku membaca buku NFQ dan melakukan terapi sedekah, akhirnya sekarang aku kecanduan melakukannya lagi. Lebih rajin bersedekah. Alhamdulillah, sekarang aku mengikuti bimbel meskipun tinggal tiga minggu lagi menuju ujian SNMPTN. Semua berkah dari buah sedekah.

“Kayaknya sisa dari hadiah kemarin lebih baik disedekahkan lagi,” aku keranjingan sedekah.

Aku punya teman sekelas waktu masih kelas sepuluh, dia tinggal di Panti. Dan aku berinisiatif untuk berbagi dengan anak-anak yang kurang beruntung di Panti itu.

Setelah mendaftar bimbel di Primagama, aku dengan vario-ku menyusuri jalan mencari warung makan. Kalau nasi bungkus sepertinya mereka sering makan.

“Aha, Prochicken, seperti KFC tapi ini versi indonesianya, harganya terjangkau lagi. Sepertinya ini cocok untuk makan siang mereka.” Gumamku sembari memarkir motor di halaman restoran mungil ini.

“Kalau ini aja kayaknya kurang nikmat, beli cemilan aja lah.”

Aku segera ke Indomaret yang terletak tepat di depan restoran ini.

Aku meraih keranjang belanja berwarna biru dan memilih cemilan yang enak untuk anak-anak panti. Seorang pemuda memakai kaos oblong cokelat dan bertopi hitam menghampiriku.

“Belanjanya banyak banget? Untuk siapa?” tanyanya.

Aku menatap wajah pemuda itu sebentar. Mataku bisa mencerna rona wajahnya yang tidak asing bagiku. Aku mengenal topinya.

“Untuk Adek yang ada di Panti.” Jawabku singkat dengan sedikit senyum.

Aku berlalu meninggalkannya menuju kasir. Dia mengikutiku hingga keluar dari gedung putih.

“Saya pergi duluan, Mas.” Sambil menutup kaca helm. Dia membalas dengan senyuman manis.

Akhirnya sampai di tujuan. Panti Teratai. Terlihat anak-anak sedang bermain layangan di halaman Panti. Mereka tertawa lepas, seolah tidak ada beban dalam pikiran mereka. Aku melangkah masuk dengan membawa banyak makanan ditanganku. Raja, salah satu anak panti yang akrab denganku meraih bungkusan di tanganku. Dua tahun lalu, Panti ini pernah menjadi tempat singgahku setiap pulang sekolah, tapi sejak aku pindah ke Mayang, aku tidak pernah lagi berkunjung ke sini. Hanya Raja dan teman sekelasku yang bernama Rajma yang masih mengenalku.

Raja memainkan jarinya sebagai bahasa isyarat, aku lumayan mengerti dengan bahasa jemarinya lalu membalas dengan senyuman. Hanya sedikit yang kutahu dari bahasa isyarat tersebut. Dia memanggil anak Panti lainnya untuk berkumpul di Aula. Mereka yang masih memiliki tubuh sempurna berlari menuju Aula, namun ada yang ingin sekali berlari tapi harus menghadapi kursi roda dan tongkat.

Tuhan, andai mereka dilahirkan kembali, mereka menginginkan kesempurnaan berjalan, berbicara, mendengar dan melihat. Namun, tidak ada yang salah dalam penciptaan-Mu.

Air mata ini sempat menetes. Tuhan, boleh aku meminta? Aku ingin seperti mereka. Meski dengan ketidaksempurnaan fisik, namun Engkau menciptakan kesempurnaan dalam hatinya.

***

Setelah melakukan terapi sedekah, aku semakin yakin untuk melangkah. Keyakinan ini muncul karena aku yakin keyakinan ini datangnya dari Allah Swt. Setiap kebaikan adalah sedekah, dan setiap sedekah akan menerima pahala dari-Nya. Dengan sedekah bisa membeli keinginan. Atas kehendak Allah, aku membeli keinginanku dengan sedekah. Dan kini aku menanti janji-Mu.

Perjuangan memperebutkan 120.000 kursi mahasiswa telah berakhir. Semua kuserahkan pada-Nya, apapun hasilnya inilah pilihan-Nya untukku. Dan aku kembali meyakini bahwa tidak ada perjuangan yang sia-sia. Siapa yang bersungguh-sungguh dia akan memetik buah dari kesungguhannya.

Hari ini seperti dihadapkan ribuan kuda untuk kutunggangi, dan aku yakin Allah memilihkan yang terbaik bagiku. Sebentar lagi pengumuman SNMPTN jalur tertulis, tapi aku tidak bisa membuka situsnya, karena aku berada di kampung, dan disini sulit mendapatkan jaringan internet. Jantungku semakin berdegub. Aku berusaha untuk tetap optimis, apapun hasilnya, orang yang pertama kupeluk adalah Ibu. Setelah sholat mahgrib dan tadarus, aku duduk di pangkuan Ibu. Hangat dan menenangkan jantungku yang kian memburu. Aku terlelap dalam tidurku.

“Sarni, semalam temanmu telepon nyariin kamu, tapi kamu ketiduran. Dia titip pesan agar kamu menghubunginya.” Suara Ibu terdengar dari dapur.

Aku segera meraih nokia, banyak sort massage menghiasi inbox.

“Bangun, Bu Dokter,” dari Tiwi.

“Selamat, ya, Bu Dokter, salam sama orang padang,” dari Yoko.

“Wah, selamat, Sar. Nanti kalau aku berobat gratis, ya,” dari Rizka.

Dan sms lainnya yang membuatku sangat terharu. Sempat terpikir bahwa aku dikerjain oleh sahabatku, tapi tidak masuk akal, karena teman yang ada di Yogja, Palembang, juga ngucapin selamat. Ucapan di facebook juga bertaburan di kronologiku.

Tiada hal lain yang kulakukan selain sujud syukur dan segera memeluk Ibu di dapur.

“Ibu, Sarni diterima di Padang. Semua berkat doa Ibu.” Aku mencium tangan Ibu berkali-kali meskipun bau terasi.

Ayah, hasil perjuangan ini untuk Ayah. Sarni sangat merindukan Ayah, pulanglah. Antar sarni ke Padang. Doaku untuk Ayah.

Ya Allah, Engkau tidak pernah ingkar akan janji-Mu.

Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir: seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.

(QS AL-Baqarah[2]:261

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun