Mohon tunggu...
Sarni Al-boegisy
Sarni Al-boegisy Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Aku hanyalah manusia biasa, terlahir di lingkungan suku bugis.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Tentang Ketegaran Nenek

18 Mei 2012   01:54 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:09 107
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth




Agustus, 2010.


Seminggu menjelang  hari raya Idul Fitri. Ritual rutin yang dilakukan bagi anak perantau seperti aku adalah pulang kampung setiap akhir bulan ramadhan. Sore itu aku tiba di rumah ketika adzan maghrib dikumandangkan, pertanda waktu memasuki berbuka puasa. Aku melangkah masuk, kusalami tangan seorang wanita yang wajahnya telah renta.  Dia adalah Ibu dari Ibuku, Nenek. Kulit wajahnya yang keriput, tubuhnya hanya ditopang oleh tulang tanpa lilitan daging yang berlemak. Duduk dengan kaki bersilang di lantai, di depannya tersedia kolak dan mangkuk yang masih kosong, hanya mangkuknya saja terisi kolak dan roti tawar. Seorang diri di rumah yang cukup luas tanpa ditemani kakek, anaknya, dan para cucunya.  Kemanakah Ayah dan Ibu? Yah, mereka masih sibuk dengan dunia kerja, dunia dengan bergelimpahan uang yang setiap hari keluar masuk laci. Sementara Kakek, sejak 10 tahun lalu dia datang dan pergi meninggalkan nenek. Mungkin ini akan berlaku pada Ayah dan Ibuku kelak. Tapi kuharap tidak.
“Kakek dimana, Nek?” tanyaku sembari menyalami tangannya yang beraroma bawang.


“Kakekmu belum pulang seminggu yang lalu, dia lebih memilih tinggal bersama nenek tirimu.” Ada getaran suara yang berbeda ketika kata itu terlontar dari bibirnya.
Aku terdiam. Bergumam dalam hati, betapa sangat sulit melewati hidup sebagai istri yang ditigakan oleh suami. Semulia apapun hatinya, dia tetaplah berjiwa rapuh, she is human, like the others. Hanya kesabaran dan keikhlasan yang mampu membuatnya tegar.  Akan tetapi, kesabaran memiliki batas, dia bukan malaikat yang dianugerahi Tuhan tanpa nafsu. Dia hanya wanita biasa yang memiliki kelopak mata yang setiap malam mengeluarkan air mata. Wanita yang dianugerahi ketegaran yang tegar. Dia lah Nenek-ku, sama seperti Ibuku. Dua wanita tertangguh yang kukenal di dunia ini.
“Sarni, katakan pada Ayahmu, berhentilah berbuat yang tidak baik.” Tutur nenek dengan logatbahasa bugis sembari menyendok kolak.
Aku tertegun mendengar ucapan Nenek. Lalu tertunduk tuk berpikir sejenak. Benarkah ini akan terjadi pada Ibuku setelah Nenek?
“Nek, Sarni tidak tahu harus melakukan apa. Biarkanlah mereka menyelesaikan masalahnya sendiri. InsyaAllah, mereka akan baik-baik saja.” Ada tangis dalam hati.
“Nenek hanya tidak mau Ibumu sama seperti Nenek.”
“Cukuplah Nenek yang merasakan penderitaan ini, jangan kalian.” Lanjutnya.
Kurasakan bulir-bulir air menyembul dari kelopak mataku dengan derasnya.  Aku tak berani melihat nenek, dia bersandar di dinding dengan mata berkaca, tidak ada air mata, karena telah habis terkuras setiap malamnya. Tampak aura jiwanya yang gelap jauh dari cahaya. Jiwanya memang gelap, tapi masih ada tanda kehidupan didalam sana, masih ada Tuhan yang selalu bersamanya.
Tidak ada seorang pun yang sudi berbagi hati apalagi berbagi suami.
Perih. Mungkin tak ada kata yang lebih perih dari ini. Menyaksikan kenyataan hidup yang bergelimpangan harta tapi miskin kebahagiaan. Kaya akan penghianatan, tapi miskin perdamaian.
Nenek, yakinlah bahwa Tuhan tidak pernah tidur. Dia menyaksikan ketegaranmu  dari atas sana. Dan untuk Ayah dan Ibuku, aku sangat menyayangi kalian. Aku hanya ingin  kedamaian cinta di keluarga kita. Hanya ada kebahagiaan dan kedamaian di hati kalian untuk selalu bersama hingga akhir hayat…

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun