Mohon tunggu...
Novel Abdul Gofur
Novel Abdul Gofur Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan di Bidang Kepemerintahan yang sudah pengalaman di sektor / isu pembangunan berkelanjutan selama 20 tahun

Lahir di Jakarta 28 Maret 1975 dan menempuh pendidikan S1 di UI Jurusan Adm Negara (FISIP) 2000, dan S2 di Makati, Phillipine, Asian Institute of Management (AIM), jurusan Development Management, 2005. Bekerja di sektor kepemerintahan untuk pembangunan berkelanjutan.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Indonesia (Kabupaten dan Kota) Perlu Pedoman Pengelolaan Persampahan

6 April 2020   18:41 Diperbarui: 9 April 2020   15:32 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Melalui kewenangan lokal untuk mengurusi urusan pemerintahan kabupaten dan kota, pada tahun 2008, UU No. 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Persampahan diterbitkan bersamaan dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) No. 33 Tahun 2010 tentang Pedoman Pengelolaan Persampahan, serta Peraturan Pemerintah (PP) No. 81 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Sampah Rumah Tangga dan Sampah Sejenis Rumah Tangga (Pengelolaan SRT dan SSRT).

Bahwa peraturan perundang-undangan ini telah seiring sejalan dengan semangat pelaksanaan Otonomi Daerah yang dilaksanakan oleh Pemerintah Kabupaten dan Kota di Indonesia. Seperti yang tertera di Pasal 9 dan Pasal 10, UU No. 18 Tahun 2008; lampiran UU 23 Tahun 2014 yaitu untuk Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), sub-urusan Persampahan; serta di lampiran Pembagian Urusan Pemerintahan Bidang Lingkungan Hidup (LH), Sub-Bagian Persampahan, serta pada Pasal 2 dan Pasal 3 Permendagri No. 33 Tahun 2010.  

Melihat lengkapnya peraturan perundang-udangan tentang pengelolaan persampahan, serta dengan didukung berbagai sumber keuangan yang ada (dana transfer, Pendapatan Asli Daerah (PAD), bantuan keuangan pusat dan provinsi, hibah, kerjasama, dan pendapatan lain-lainnya yang sah), kiranya sudah selayaknya kekuatan Pemerintahan Kabupaten dan Kota selaku pelaksana kewenangan untuk urusan persampahan kabupaten dan kota dapat terlaksana dengan baik.

 Kondisi Terkini 

Pelaksanaan pengelolaan persampahan di kabupaten dan kota di Indonesia masih jauh dari harapan seperti yang dicita-citakan di UU No. 18 Tahun 2010, dan PP No. 81 Tahun 2012.

Sampai tahun 2020 ini, hampir semua TPA yang jumlahnya sekitar 438 TPA dari 514 Kabupaten dan Kota di Indonesia, belum melaksanakan amanat regulasi dari UU Pengelolaan Persampahan tersebut. Pasal 44 PP UU No. 18 Tahun 2008 mengamanatkan bahwa 5 tahun setelah UU ini diterbitkan untuk dilaksanakan, pelaksanaan pengelolaan controlled landfill dan / ataupun sanitary landfill di TPA harus dilaksanakan, dalam hal ini tidak ada lagi pelaksanaan pengelolaan open dumping di TPA di kabupaten dan kota. Sementara itu, melalui Kementerian PUPR, anggaran untuk perencanaan penutupan open dumping dan pembangunan sistem control landfill dan sanitary landfill tersebut telah disiapkan. 

Kondisi lainnya yang juga hampir sama dengan isu diatas adalah waste collection rate atau tingkat pengumpulan sampah di Indonesia yang masih 39 %. Ini artinya sampah yang tidak terkumpul itu dapat berakhir dibakar, tercecer di daratan, terbuang di selokan/drainase lalu mengalir ke sungai-sungai dan berujung di muara / lautan. 

Indonesia di tahun 2018 menyabet polutan sampah di lautan ke-2 setelah Cina dan Sungai Citarum pernah menjadi sungai tekotor di dunia dari sampah / libah padat dan cair di tahun 2017. Hal lainnya seperti pemanfaatan Waste to Energy yang ramah lingkungan dari sampah organic belum banyak dimanfaakan, atau sangat amat sedikit presentasenya dibandingkan dengan kebutuhan bauran kebutuhan energi terbarukan di Indonesia.

Pemanfaatan sampah dengan konsep ekonomi sirkular, khususnya daur ulang, yang belum banyak dimanfaatkan secara structural baik oleh Pemerintah (Pusat s/d Desa) maupun masyarakat itu sendiri. Walhasil, presentase kegiatan sampah daur ulang secara nasional hanya 7 %. Selain itu para pelaku pemanfaatan daur ulang sampah, seperti Bank Sampah {yang resmi (mempunyai lembaga), atau hanya pelapak} dan pelapak, itu masih menjadi bulan-bulanan oleh para pelapak besar/utama maupun oleh para industri daur ulang sampah plastik untuk penjualan sampah plastik (dan sejenisnya) serta sampah kertas/kardus (dan sejenisnya). 

Dalam hal ini, para pelaku Bank Sampah mendapatkan harga yang tidak setimpal atau dimainkan sepihak oleh para pelapak besar dan industri daur ulang tersebut (memonopoli harga). Semestinya, Pemerintah Daerah (Provinsi, Kabupaten dan Kota) selaku regulator, dapat membantu menstabilkan harga, atau membantu subsidi pelaku Bank Sampah ini.

Kondisi-kondisi diatas yang sudah buruk malah bertambah buruk, dan makin runyam dikarenakan kekosongan aturan pelaksanaan pengelolaan persampahan di tingkat kabupaten dan kota, yaitu karena telah dicabutnya Permendagri No. 33 Tahun 2010 melalui Permendagri No. 20 Tahun 2016 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Dalam Negeri dan Keputusan Menteri Dalam Negeri Bidang Pembangunan Daerah Tahap III tertanggal 19 April 2016.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun