Mohon tunggu...
novanromadhonii
novanromadhonii Mohon Tunggu... Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Novan Romadhoni seseorang yang tidak suka bercerita sana-sini

Selanjutnya

Tutup

Metaverse

Lahan Hijau yang Menghilang : Dampak Perumahan yang Menggerus Pertanian di Sidoarjo

22 September 2025   19:23 Diperbarui: 22 September 2025   19:23 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada tahun 2010 -- an dulu, Kabupaten Sidoarjo masih berupa lahan persawahan yang cukup  luas. Hamparan persawahan hijau terbentang luas sejauh mata memandang, menciptakan mozaik perubahan warna sesuai siklus pertanian, hijau tua selama masa pertumbuhan dan kuning keemasan ketika musim panen tiba. Pemandangan ini tidak hanya merefleksikan kesuburan tanah, akan tetapi juga ebagai indikator produktivitas pertanian yang menjadi tulang punggung perekonomian wilayah Sidoarjo.

Pada saat sore hari, aktivitas pertanian tetap berlangsung dengan para petani yang kembali dari ladang membawa alat-alat pertanian serta hasil bumi, membentuk siluet para petani yang pulang dengan langkah lelah namun penuh kepuasan. Suara aliran air dari jaringan irigasi turut menyertai hembusan angin, menciptakan latar suara yang khas bagi lingkungan persawahan. Aspek sosial-budaya juga tampak pada aktivitas anak-anak yang bermain di area pematang sawah, sementara perempuan-perempuan setempat berperan dalam mendukung kegiatan pertanian dengan membawakan bekal bagi keluarga yang bekerja di ladang.

Secara sosiologis, masyarakat Sidoarjo masa itu merepresentasikan suatu bentuk kehidupan agraris yang harmonis, ditandai oleh kesederhanaan dan nilai-nilai kebersamaan yang kuat. Setiap bagian dari landscape pertaniannya tidak hanya berfungsi sebagai penghasil padi, tetapi juga menjadi penopang memori kolektif, budaya, dan identitas komunitas yang hidup dalam keselarasan dengan lingkungan alamnya. Interaksi sosial yang terbangun antara individu menggambarkan nilai-nilai gotong royong dan kesederhanaan yang menjadi ciri khas utama.

Kenangan dahulu akan masih melekat kuat di benak mereka untuk yang sempat menyaksikan Sidoarjo dalam dua puluh atau bahkan sepuluh tahun silam. Jika masih ada, mungkin kita masih bisa melihat petani membajak sawah atau anak-anak berlarian di pematang sawah. Tetapi, yang tersisa hanyalah kenangan. Sepanjang jalur utama menuju Surabaya, hamparan hijau itu satu per satu menghilang, digantikan oleh dinding-dinding beton bertuliskan nama perumahan megah yang menjanjikan "kehidupan modern".

Setiap kali saya melalui jalan tol atau arteri utama, yang saya lihat adalah deretan rumah tipe 36 samapi 70 yang tumbuh seperti jamur di musim hujan. Ratusan, hingga sampai ribuan unit rumah baru muncul setiap tahunnya, menggerus sawah dan kebun yang dulu menjadi napas hijau sebuah kota. Prosesnya begitu cepat, seolah tanpa jeda, belum selesai satu proyek, proyek berikutnya sudah dimulai di seberangnya. Perubahan ini tidak hanya mengubah pemandangan, tetapi juga denyut nadi kehidupan. Suara jangkrik dan kodok malam hari kini tergantikan oleh deru mesin diesel dan bunyi bor. Jalan-jalan desa yang dulu sepi kini ramai oleh mobil dan motor penghuni baru. Ini bukan hanya sekedar perubahan, akan tetapi sebuah "replacement" atau penggantian paksa sebuah ekosistem lama dengan yang baru, tanpa bisa kembali.

Dalam beberapa tahu tertentu, lahan pertanian di Sidoarjo mengalami penurunan akibat alih fungsi menjadi perumahan dan kavling tanah. Seperti pada tahun 2019, luas lahan pertanian (produktif) di Sidoarjo masih sekitar 20.900 ha dan kemudian mengalami penurunan pada tahun 2023 yang menjadi 20.500 ha, ada sekitar 400 ha lahan yang tergerus pada periode tersebut. Beberapa kecamatan atau desa yang terdampak contohnya, Kecamatan Sedati seperti di Desa Sedati Agung, Kwangsan, dan Pabean ini merupakan area yang cukup dekat dengan Bandara Juanda dan akses tol yang membuat wilayah ini akan menjadi pusat Pembangunan perumahan yang cukup intensif. Kemudian ada juga di Kecamatan Taman, tepatnya di Desa Trosobo, Bohar, Geluran yang dekat dengan pusat kota (Sidoarjo dan Surabaya) dimana perumahan mewah tumbuh pesat menggantikan lahan pertanian.

Percepatan alih fungsi lahan pertanian di Sidoarjo tidak terlepas dari besarnya tekanan ekonomi dan demografi yang terjadi. Sebagai daerah penyangga Surabaya, Sidoarjo mengalami pertumbuhan penduduk yang signifikan, sehingga kebutuhan permukiman pun meningkat drastis. Di sisi lain, nilai ekonomis lahan untuk permukiman jauh lebih menggiurkan bagi pemilik tanah dan untuk harga jualnya bisa mencapai 5-10 kali lipat dibandingkan jika tetap dipertahankan sebagai sawah. Hal ini mendorong banyak petani melepas lahannya, terlebih dengan adanya tawaran tunai dari pengembang.

Fenomena ini juga diperparah oleh masifnya investasi properti dan lemahnya penegakan regulasi tata ruang. Pengembang besar dan kecil berlomba membangun perumahan, memanfaatkan akses transportasi yang semakin terbuka seperti jalan tol dan bandara. Tapi, dinamika ini seringkali tidak diimbangi dengan kebijakan yang protektif terhadap lahan pertanian. Perubahan RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) justru kerap mengakomodasi kepentingan investasi, sehingga lahan hijau semakin tergusur oleh pembangunan perumahan.

Apa Dampak dari Fenomena Itu?

Dampak Lingkungan

Alih fungsi lahan pertanian menjadi kawasan permukiman telah menimbulkan konsekuensi lingkungan yang nyata bagi Sidoarjo. Salah satu dampak paling kritis adalah berkurangnya daerah resapan air secara signifikan. Lahan sawah yang sebelumnya berfungsi sebagai penyerap air hujan alami kini tertutup permukaan kedap air seperti beton dan aspal. Akibatnya, air hujan tidak lagi dapat meresap secara optimal ke dalam tanah, melainkan langsung mengalir ke saluran drainase yang kerap tidak memadai. Kondisi ini memperburuk kerentanan kawasan terhadap banjir, terutama di wilayah-wilayah dataran rendah yang secara tradisional menjadi langganan genangan.

Selain masalah hidrologis, perubahan tutupan lahan juga memicu fenomena urban heat island (pulau panas perkotaan). Permukaan beton dan aspal menyerap lebih banyak radiasi matahari dibandingkan vegetasi, lalu melepaskannya kembali sebagai energi panas. Proses ini menyebabkan suhu udara di kawasan terbangun menjadi lebih tinggi dibandingkan daerah sekitarnya yang masih mempertahankan ruang terbuka hijau. Dalam jangka panjang, kenaikan suhu ini tidak hanya mengurangi kenyamanan termal, tetapi juga meningkatkan konsumsi energi untuk pendinginan ruangan.

Dampak lingkungan yang tidak kalah penting adalah hilangnya keanekaragaman hayati. Lahan pertanian yang terfragmentasi dan menyusut mengakibatkan terganggunya koridor ekologis dan habitat berbagai spesies. Burung-burung pemakan serangga, katak, dan berbagai organisme penyeimbang ekosistem semakin sulit ditemui. Perubahan ini mengganggu keseimbangan ekologis yang telah terbentuk puluhan tahun, dimana sebelumnya sawah tidak hanya menghasilkan padi tetapi juga menjadi penopang kehidupan berbagai jenis flora dan fauna.

Dampak Sosial-Ekonomi

Transformasi lahan pertanian menjadi kawasan permukiman tidak hanya mengubah wajah fisik Sidoarjo, tetapi juga meruntuhkan fondasi sosial-ekonomi masyarakat yang selama ini bertumpu pada sektor agraris. Banyak petani kehilangan mata pencaharian akibat terjualnya lahan yang mereka garap puluhan tahun. Meskipun menerima kompensasi finansial, sebagian besar tidak memiliki keterampilan alternatif untuk beralih profesi, sehingga uang penjualan tanah seringkali habis tanpa meninggalkan sumber pendapatan yang berkelanjutan.

Perubahan ini juga mengikis identitas budaya agraris yang menjadi ciri khas Sidoarjo. Tradisi turun-temurun seperti mapag temanten (ritual pernikahan berbasis pertanian) atau festival panen semakin terpinggirkan seiring hilangnya ruang fisik dan sosial yang mendukungnya. Generasi muda kini lebih familiar dengan kehidupan urban ketimbang nilai-nilai kegotongroyongan dan kearifan lokal yang sebelumnya melekat pada masyarakat agraris.

Di tingkat makro, alih fungsi lahan memicu kesenjangan sosial yang kian lebar. Harga tanah yang melambung tinggi---akibat spekulasi properti---menguntungkan pemilik modal besar, sementara masyarakat lokal kesulitan mengakses permukiman layak. Dampaknya, terbentuk enclave-enclave perumahan mewah yang berdampingan dengan permukiman kumuh, mencerminkan fragmentasi sosial yang semakin nyata.

Dampak Ketahanan Pangan

Konversi lahan pertanian di Sidoarjo secara langsung menggerogoti ketahanan pangan lokal yang selama ini dibangun melalui sistem produksi beras dan komoditas pertanian lainnya. Setiap hektar sawah yang beralih fungsi mengurangi pasokan pangan pokok seperti beras, sayuran, dan buah-buahan yang sebelumnya dipasok dari dalam daerah. Data Dinas Pertanian setempat menunjukkan bahwa penurunan luas lahan pertanian sebesar 400 hektar dalam empat tahun terakhir berpotensi mengurangi produksi beras hingga 2.400 ton per tahun, mengasumsikan produktivitas rata-rata 6 ton per hektar.

Dampak jangka panjangnya adalah meningkatnya ketergantungan pada pasokan pangan dari luar daerah, bahkan dari luar pulau. Hal ini tidak hanya berisiko terhadap fluktuasi harga yang tidak stabil akibat biaya logistik dan ketergantungan pada cuaca atau kondisi geopolitik, tetapi juga membuat Sidoarjo rentan terhadap krisis pangan jika terjadi gangguan pada rantai pasok. Sebagai contoh, dalam situasi bencana atau krisis seperti pandemi, ketergantungan pada pasokan eksternal dapat memperparah kerawanan pangan.

Selain itu, hilangnya lahan pertanian juga mengancam diversifikasi pangan lokal yang selama ini menjadi bagian dari budaya konsumsi masyarakat. Komoditas khas seperti mentimun Sidoarjo atau beras varietas unggul perlahan-lahan semakin sulit diproduksi dalam skala besar. Imbasnya, masyarakat tidak hanya kehilangan sumber pangan lokal yang segar dan terjangkau, tetapi juga warisan kuliner yang menjadi identitas kultural daerah.

Menurut saya sendiri yang menyaksikan langsung transformasi Sidoarjo selama dua dekade terakhir, saya tidak dapat menyembunyikan rasa prihatin terhadap perubahan yang terjadi. Setiap kali melintasi kawasan yang dahulu merupakan hamparan sawah hijau dan kini berubah menjadi deretan perumahan - perumahan mewah, yang terasa bukan hanya kehilangan pemandangan lagi, tetapi juga kehilangan sebuah warisan budaya dan ekologis. Kekhawatiran terbesar saya adalah ketika kita sedang menukar kemandirian pangan dengan pembangunan properti yang hanya menguntungkan segelintir pihak, sementara petani yang merupakan pahlawan pangan kita justru semakin terpinggirkan.

Perubahan ini terasa seperti sebuah pengingkaran terhadap jati diri Sidoarjo sebagai lumbung padi Jawa Timur. Yang lebih mengkhawatirkan lagi ketika proses ini terjadi secara masif tanpa diimbangi dengan perencanaan jangka panjang yang memadai. Kita seolah lupa bahwa sekali lahan pertanian hilang, hampir mustahil untuk mengembalikannya menjadi sawah produktif lagi. Ketidakpuasan saya terutama ditujukan pada kebijakan tata ruang yang cenderung meminggirkan kepentingan ketahanan pangan dan keberlanjutan lingkungan demi kepentingan investasi jangka pendek. Di balik semua ini, yang paling menyedihkan adalah menyaksikan betapa masyarakat lokal justru sering menjadi penonton di tanah sendiri. Harga tanah yang melambung tinggi mungkin menguntungkan secara finansial dalam jangka pendek, namun dalam jangka panjang, kita semua khususnya generasi mendatang yang akan menanggung akibatnya berupa ketergantungan pangan, kerusakan lingkungan, dan hilangnya identitas kultural.

Pertanyaan mendasar yang perlu kita bahas adalah apakah pembangunan perumahan memang menjadi satu-satunya pilihan untuk kemajuan Sidoarjo? Jika berdasarkan fakta yang ada, menunjukkan bahwa pola pembangunan konvensional yang mengorbankan lahan pertanian justru menimbulkan masalah jangka panjang, mulai dari krisis ekologis hingga ancaman ketahanan pangan. Pembangunan perumahan memang diperlukan untuk setiap wilayah, akan tetapi tidak harus dengan mengorbankan lahan produktif yang menjadi penopang kehidupan dasar masyarakat. Dalam menghadapi tantangan ini kuncinya terletak pada pendekatan pembangunan berkelanjutan yang memprioritaskan keseimbangan antara kebutuhan permukiman dan pelestarian lingkungan. Salah satu solusi strategis yaitu dengan mengoptimalkan atau memanfaatkan lahan terbengkalai seperti pabrik yang sudah tidak terpakai atau bekas industri untuk pembangunan perumahan, bukan meneruskan ekspansi ke lahan pertanian produktif. Pemerintah di sini juga dapat memberikan kebijakan seperti menerapkan insentif bagi pengembang yang mengadopsi konsep vertical housing atau perumahan padat yang tidak memerlukan lahan luas.

Di sisi lain, perlindungan lahan pertanian harus menjadi kebijakan yang tidak dapat ditawar lagi. Penerapan zoning regulation atau zonasi yang ketat agar tetap dapat melestarikan sumber daya yang ada, disertai dengan penegakan hukum yang konsisten terhadap pelanggaran tata ruang sangat mutlak diperlukan. Selain itu, inovasi pertanian perkotaan seperti urban farming dan hidroponik dapat diintegrasikan dalam kawasan permukiman baru untuk mempertahankan ketahanan pangan lokal. Yang tak kalah penting adalah melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan. Dengan memberikan pemahaman tentang pentingnya lahan pertanian dan mendorong partisipasi aktif dalam perumusan kebijakan, diharapkan muncul kesadaran kolektif bahwa pembangunan berkelanjutan bukanlah pilihan, melainkan keharusan untuk menjamin keberlangsungan hidup untuk generasi mendatang.

Perubahan wajah Sidoarjo dari hamparan sawah menjadi deretan perumahan bukan sekadar persoalan fisik, melainkan sebuah transformasi yang mengorbankan pondasi keberlanjutan wilayah. Setiap hektar lahan pertanian yang hilang tidak hanya mengurangi produksi pangan, tetapi juga merusak sistem ekologis yang telah terbangun puluhan tahun. Hilangnya fungsi resapan air memperparah banjir, berkurangnya tutupan vegetasi meningkatkan suhu perkotaan, dan punahnya biodiversitas mengganggu keseimbangan alam.

Yang patut disadari yaitu ketika kita bukan lagi kehilangan lahan secara fisik, akan tetapi sedang mengorbankan warisan keberlanjutan untuk generasi mendatang. Lahan pertanian bukan sekadar angka dalam statistik, melainkan penjaga siklus air, penyeimbang iklim mikro, dan penopang ketahanan pangan lokal. Setiap hektar yang hilang berarti memperlebar ketergantungan pada pasokan pangan dari luar daerah dan meningkatkan kerentanan terhadap krisis pangan.. Oleh karena itu, yang sedang dipertaruhkan dalam alih fungsi lahan ini bukanlah sekadar kepemilikan tanah, melainkan masa depan sebuah peradaban yang berkelanjutan. Setiap keputusan untuk mengonversi lahan pertanian harus dilihat sebagai pilihan antara keuntungan jangka pendek dengan kelangsungan hidup jangka panjang. Kita tidak hanya mewarisi tanah dari nenek moyang, tetapi juga meminjamnya dari generasi yang akan datang dan tanggung jawab kitalah untuk mengembalikannya dalam kondisi yang layak huni.

Di tengah pesatnya pembangunan, saya tetap percaya bahwa Sidoarjo mampu menemukan jalan tengah yang harmonis antara kemajuan dan kelestarian. Harapan saya tertumpu pada visi pembangunan berkelanjutan yang tidak melihat lahan pertanian sebagai hambatan, melainkan sebagai aset strategis yang justru dapat memperkaya karakter pembangunan. Dengan memanfaatkan inovasi seperti pertanian vertikal di kawasan permukiman, mengoptimalkan lahan tidur untuk pembangunan, dan menerapkan konsep agro-wisata, Sidoarjo dapat menciptakan model development yang mempunyai daya Tarik dan juga menghargai sosial budaya sambil membangun masa depan.

Kunci utamanya terletak pada komitmen kolektif seluruh pemangku kepentingan. Pemerintah perlu memperkuat regulasi dan konsistensi penegakan tata ruang, sementara masyarakat dapat berperan aktif melalui pengawasan dan pelestarian. Dunia usaha pun dapat berkontribusi dengan mengadopsi praktik-praktik pembangunan yang ramah lingkungan dan responsif terhadap konteks lokal. Saya membayangkan suatu saat nanti Sidoarjo akan dikenal tidak hanya sebagai kawasan penyangga metropolitan, tetapi sebagai contoh bagaimana modernitas dan tradisi agraris dapat berpadu secara selaras. Di mana anak-anak tetap dapat belajar tentang siklus padi di tengah kota, di mana ruang hijau produktif menjadi bagian tak terpisahkan dari landscape perkotaan, dan di where kemajuan ekonomi tidak berarti mengorbankan jati diri sebagai daerah lumbung padi. Masa depan dimana Sidoarjo tetap hijau, namun tetap progresif bukanlah mimpi belaka, jika kita semua bersedia bekerjasama mewujudkannya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Metaverse Selengkapnya
Lihat Metaverse Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun