Mohon tunggu...
novanromadhonii
novanromadhonii Mohon Tunggu... Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Novan Romadhoni seseorang yang tidak suka bercerita sana-sini

Selanjutnya

Tutup

Metaverse

Lahan Hijau yang Menghilang : Dampak Perumahan yang Menggerus Pertanian di Sidoarjo

22 September 2025   19:23 Diperbarui: 22 September 2025   19:23 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Menurut saya sendiri yang menyaksikan langsung transformasi Sidoarjo selama dua dekade terakhir, saya tidak dapat menyembunyikan rasa prihatin terhadap perubahan yang terjadi. Setiap kali melintasi kawasan yang dahulu merupakan hamparan sawah hijau dan kini berubah menjadi deretan perumahan - perumahan mewah, yang terasa bukan hanya kehilangan pemandangan lagi, tetapi juga kehilangan sebuah warisan budaya dan ekologis. Kekhawatiran terbesar saya adalah ketika kita sedang menukar kemandirian pangan dengan pembangunan properti yang hanya menguntungkan segelintir pihak, sementara petani yang merupakan pahlawan pangan kita justru semakin terpinggirkan.

Perubahan ini terasa seperti sebuah pengingkaran terhadap jati diri Sidoarjo sebagai lumbung padi Jawa Timur. Yang lebih mengkhawatirkan lagi ketika proses ini terjadi secara masif tanpa diimbangi dengan perencanaan jangka panjang yang memadai. Kita seolah lupa bahwa sekali lahan pertanian hilang, hampir mustahil untuk mengembalikannya menjadi sawah produktif lagi. Ketidakpuasan saya terutama ditujukan pada kebijakan tata ruang yang cenderung meminggirkan kepentingan ketahanan pangan dan keberlanjutan lingkungan demi kepentingan investasi jangka pendek. Di balik semua ini, yang paling menyedihkan adalah menyaksikan betapa masyarakat lokal justru sering menjadi penonton di tanah sendiri. Harga tanah yang melambung tinggi mungkin menguntungkan secara finansial dalam jangka pendek, namun dalam jangka panjang, kita semua khususnya generasi mendatang yang akan menanggung akibatnya berupa ketergantungan pangan, kerusakan lingkungan, dan hilangnya identitas kultural.

Pertanyaan mendasar yang perlu kita bahas adalah apakah pembangunan perumahan memang menjadi satu-satunya pilihan untuk kemajuan Sidoarjo? Jika berdasarkan fakta yang ada, menunjukkan bahwa pola pembangunan konvensional yang mengorbankan lahan pertanian justru menimbulkan masalah jangka panjang, mulai dari krisis ekologis hingga ancaman ketahanan pangan. Pembangunan perumahan memang diperlukan untuk setiap wilayah, akan tetapi tidak harus dengan mengorbankan lahan produktif yang menjadi penopang kehidupan dasar masyarakat. Dalam menghadapi tantangan ini kuncinya terletak pada pendekatan pembangunan berkelanjutan yang memprioritaskan keseimbangan antara kebutuhan permukiman dan pelestarian lingkungan. Salah satu solusi strategis yaitu dengan mengoptimalkan atau memanfaatkan lahan terbengkalai seperti pabrik yang sudah tidak terpakai atau bekas industri untuk pembangunan perumahan, bukan meneruskan ekspansi ke lahan pertanian produktif. Pemerintah di sini juga dapat memberikan kebijakan seperti menerapkan insentif bagi pengembang yang mengadopsi konsep vertical housing atau perumahan padat yang tidak memerlukan lahan luas.

Di sisi lain, perlindungan lahan pertanian harus menjadi kebijakan yang tidak dapat ditawar lagi. Penerapan zoning regulation atau zonasi yang ketat agar tetap dapat melestarikan sumber daya yang ada, disertai dengan penegakan hukum yang konsisten terhadap pelanggaran tata ruang sangat mutlak diperlukan. Selain itu, inovasi pertanian perkotaan seperti urban farming dan hidroponik dapat diintegrasikan dalam kawasan permukiman baru untuk mempertahankan ketahanan pangan lokal. Yang tak kalah penting adalah melibatkan masyarakat dalam proses perencanaan pembangunan. Dengan memberikan pemahaman tentang pentingnya lahan pertanian dan mendorong partisipasi aktif dalam perumusan kebijakan, diharapkan muncul kesadaran kolektif bahwa pembangunan berkelanjutan bukanlah pilihan, melainkan keharusan untuk menjamin keberlangsungan hidup untuk generasi mendatang.

Perubahan wajah Sidoarjo dari hamparan sawah menjadi deretan perumahan bukan sekadar persoalan fisik, melainkan sebuah transformasi yang mengorbankan pondasi keberlanjutan wilayah. Setiap hektar lahan pertanian yang hilang tidak hanya mengurangi produksi pangan, tetapi juga merusak sistem ekologis yang telah terbangun puluhan tahun. Hilangnya fungsi resapan air memperparah banjir, berkurangnya tutupan vegetasi meningkatkan suhu perkotaan, dan punahnya biodiversitas mengganggu keseimbangan alam.

Yang patut disadari yaitu ketika kita bukan lagi kehilangan lahan secara fisik, akan tetapi sedang mengorbankan warisan keberlanjutan untuk generasi mendatang. Lahan pertanian bukan sekadar angka dalam statistik, melainkan penjaga siklus air, penyeimbang iklim mikro, dan penopang ketahanan pangan lokal. Setiap hektar yang hilang berarti memperlebar ketergantungan pada pasokan pangan dari luar daerah dan meningkatkan kerentanan terhadap krisis pangan.. Oleh karena itu, yang sedang dipertaruhkan dalam alih fungsi lahan ini bukanlah sekadar kepemilikan tanah, melainkan masa depan sebuah peradaban yang berkelanjutan. Setiap keputusan untuk mengonversi lahan pertanian harus dilihat sebagai pilihan antara keuntungan jangka pendek dengan kelangsungan hidup jangka panjang. Kita tidak hanya mewarisi tanah dari nenek moyang, tetapi juga meminjamnya dari generasi yang akan datang dan tanggung jawab kitalah untuk mengembalikannya dalam kondisi yang layak huni.

Di tengah pesatnya pembangunan, saya tetap percaya bahwa Sidoarjo mampu menemukan jalan tengah yang harmonis antara kemajuan dan kelestarian. Harapan saya tertumpu pada visi pembangunan berkelanjutan yang tidak melihat lahan pertanian sebagai hambatan, melainkan sebagai aset strategis yang justru dapat memperkaya karakter pembangunan. Dengan memanfaatkan inovasi seperti pertanian vertikal di kawasan permukiman, mengoptimalkan lahan tidur untuk pembangunan, dan menerapkan konsep agro-wisata, Sidoarjo dapat menciptakan model development yang mempunyai daya Tarik dan juga menghargai sosial budaya sambil membangun masa depan.

Kunci utamanya terletak pada komitmen kolektif seluruh pemangku kepentingan. Pemerintah perlu memperkuat regulasi dan konsistensi penegakan tata ruang, sementara masyarakat dapat berperan aktif melalui pengawasan dan pelestarian. Dunia usaha pun dapat berkontribusi dengan mengadopsi praktik-praktik pembangunan yang ramah lingkungan dan responsif terhadap konteks lokal. Saya membayangkan suatu saat nanti Sidoarjo akan dikenal tidak hanya sebagai kawasan penyangga metropolitan, tetapi sebagai contoh bagaimana modernitas dan tradisi agraris dapat berpadu secara selaras. Di mana anak-anak tetap dapat belajar tentang siklus padi di tengah kota, di mana ruang hijau produktif menjadi bagian tak terpisahkan dari landscape perkotaan, dan di where kemajuan ekonomi tidak berarti mengorbankan jati diri sebagai daerah lumbung padi. Masa depan dimana Sidoarjo tetap hijau, namun tetap progresif bukanlah mimpi belaka, jika kita semua bersedia bekerjasama mewujudkannya.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Metaverse Selengkapnya
Lihat Metaverse Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun