Mohon tunggu...
Noval Zakaria99
Noval Zakaria99 Mohon Tunggu... Mahasiswa - Have fun

Yeahh

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hukum Media Massa

21 Juni 2021   20:31 Diperbarui: 21 Juni 2021   20:56 246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Media massa merupakan komponen penting sebagai penyalur informasi kepada masyarakat. Dalam kehidupan bernegara, media massa merupakan alat penghubung suatu negara dengan masyarakatnya. Mulai dari informasi dibidang politik, ekonomi, pendidikan, sosial budaya, semua dapat di salurkan negara melalui media kepada masyarakat.
Pentingnya media sebagai alat bantu negara dalam berkomunikasi dengan masyarakatnya, menjadikan media juga harus dibaluti dengan tatanan hukum yang baik,benar, dan adil.
Karena ketika media tidak dalam tatanan hukum yang benar, media justru dapat merusak kehidupan bernegara. Mulai dari adanya pihak yang superior mempengaruhi kehidupan masyarakat untuk kepentingan individu/kelompok.

Hukum media massa di Indonesia nyatanya masih belum berjalan dengan baik dan benar. Berbagai perilaku yang justru cenderung menyimpang dari isi peraturan UU tentang hukum media sering kali terjadi. Peraturan yang telah dibuat seolah-olah tidak menemui titik adil. Hal ini bisa dilihat dari masih banyaknya pelanggaran mengenai hukum media di Indonesia. Banyak pihak yang masih merasa kurang diuntungkan sehingga penyimpangan terhadap peraturan juga masih sering terjadi.

Masing-masing  pihak terlihat ingin bertindak dominan, tentu hal itu bersebrangan ketika kita melihat peraturan perundang-undangan tentang hukum dan media di Indonesia. Mulai dari siaran  pers yang semakin hari semakin menyuguhkan berita yang tak bermanfaat bagi masyarakat, hingga berbagai polemik seperti pencemaran nama baik oleh wartawan terhadap
suatu instansi.

Kemerdekaan pers sering kali disalah gunakan oleh suatu instansi pers di Indonesia. Kemerdekaan pers yang mestinya memprioritaskan kebutuhan informasi dan komuniasi untuk masyarakat, agar mendapat wawasan yang kompeten berguna bagi nusa dan bangsa. Justru sekarang seperti terlihat pers hanya mementingkan kepentingan pribadi dengan mengedepankan uang dalam suguhan penyiarannya.
Pers yang memperhatikan kepentingan pasar sejatinya tidak dipermasalahkan selagi masih dalam batas normal, dan tidak mengkesampingkan kepentingan masyarakat diatas segalanya. Artinya pers tetap berpedom kepada kepentingan publik dimana masyarakat sebagai obyek terpenting yang harus dicerdaskan dalam kehidupan bernegara. Sebagi bentuk perwujudan negara yang maju.

Alih-alih memberi suguhan tayangan yang bermanfaat untuk kepentingan masyarakat, media di Indonesia justru kerap kali menayangkan informasi yang seharusnya itu tidak penting bagi kehidupan bernegara. Media menayangkan tayangan seperti gosip kehidupan artis, acara pernikahan artis yang semestinya itu menjadi informasi yang tidak penting bagi masyarakat. Dalih menyuguhkan acara pernikahan sebagai bentuk pengenenalan kebudayaan, kurang dapat dimengerti karena jam tayang yang dikuras habis dalam sesi siaran pernikahan artis tersebut.

 Semuanya saling berkaitan dan harusnya tidak ada yang dominan. Ketika negara dominan, maka muncul pers yang sifatnya otoriter. Ketika pemilik modal yang dominan, maka akan tercipta pers kapitalis. Dan ketika masyarakat yang dominan, maka pers yang ada adalah pers liberal.

Selain itu controlling terhadap terpaan media bagi setiap generasi tentu juga harus beda. Tidak semua informasi yang orang dewasa boleh tonton, bisa disuguhkan juga ke anak-anak. Contohnya pada dunia maya/ media sosial. Tidak adanya filter yang membatasi usia pengguna, menjadikan pengguna media sosial tergabung dari semua kalangan. Buntut dari hal ini berujung pada kehalalan konten setiap usia sama rata. Seorang anak dibawah umur yang mestinya memiliki batasan konten yang boleh didapatnya, kini seolah mereka sah-sah saja mengkonsumsi berbagai konten tanpa memperhatikan batasan usia. Tentu fenomena ini bertentangan dengan bunyi UU No.44 tahun 2008 pasal 1, bahwa unsur pornografi tidak diperkenakan dikonsumsi oleh anak (seseorang berusia 18 tahun).
Keterlibatan anak dibawah umur kedalam dunia orang dewasa memang sulit terbendung. Bahkan hampir semua anak dibawah umur di era sekarang seluruhnya memiliki gadged dan akun media sosial. Tingkat rasa ingin tahu yang sangat tinggi pada usia anak-anak, tentu mendukung merebahnya unsur seperti pornografi dan kekerasan terhadap dunianya.
Pada kenyataannya media sosial kini terbentuk menjadi wadah komunitas sosial yang penuh dengan persaingan. Pengartian media sosial sebagai sesuatu aset penting bagi setiap orang, merupakan sebab adanya keinginan untuk terlihat exis dimata banyak orang. Dampaknya setiap orang belomba-lomba demi memperoleh popularitas dalam media sosial. Tak jarang seseorang rela melakukan sandiwara membohongi dirinya sendiri dan publik, demi mencapai banyak perhatian. Terkadang seseorang terpaksa melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak sejalan dengan keinginan hatinya, tetapi demi kebutuhan popularitas dunia maya. Banyak orang bahkan menyebutnya (media sosial) dengan dunia tipu-tipu.
Penyakit media sosial telah merambah pada psikis setiap penggunanya. Jumlah like, comment, dan viewers dianggap sebagai prestasi yang sangat menjanjikan. Pertaruhan antara mempertahankan nilai moral yang ada ditengah masyarakat atau mementingkan persaingan eksistensi selalu menjadi pilihan bagi setiap pengguna media sosial. Maka tak heran jika sekarang banyak beredar konten yang menyimpang dari nilai moral yang ada dalam masyarakat namun dibenenarkan di dalam media sosial.
Misalanya seorang publik figur yang terkenal dengan penampilannya yang seksi. Seolah seperti ia menjual tubuhnya dengan cara bernampilan vulgar. Tentu bukan tanpa alasan, hal ini terpaksa dilakukan karena menurutnya ia bakal diperhatikan banyak orang dengan berpakaian seksi. Tetapi bukan hanya kepuasan dengan tingginya insight akun media sosial yang ia miliki, tapi juga citra yang cenderung ke arah negatif. Mengapa menimbulkan citra negatif? Kan banyak yang memperhatikan. Karena budaya masyarakat Indonesia yang masih cenderung mengharamkan pakai pakaian terbuka atau seksi.
UU no.44 tahun 2008 pasal 4, bahwa setiap orang dilarang memproduksi, membuat memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi.
Dalam pasal 4 tersebut terdapat enam point yang dimasukkan dalam kategori pornografi, salah satunya adalah ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan. Berpedoman dengan point tersebut, apakah konten seorang wanita berpakaian seksi termasuk sebagai tampilan yang mengesankan ketelanjangan??
Konten wanita berpakaian seksi dalam berbagai platform media sosial sering menjadi perdebatan publik. Ada pihak yang menyalahkan pengunggah (wanita) sebagai bentuk konten pornografi tetapi ada juga yang menyalahkan persepsi negatif seseorang. Salah satunya di platform instagram dan tiktok. Bertebaran vidio ataupun foto wanita yang berpakaian seksi.
Wanita dijadikan objek yang sering kali dikaitkan dengan unsur pornografi. Di era media sosial yang sedang ramai penggunaannya, eksploitasi tubuh seorang wanita seakan dijadikan alat jual tersendiri. Daya tarik tubuh wanita lebih mudah mengundang perhatian negatif, jadi tak heran jika ketika seorang wanita mengunggah foto maupun vidio seksinya banyak comment negatif juga yang ditujukan padanya. Seperti anggapan open BO, wanita murahan, dll.        
Media sosial juga dapat berujung pada tindak kekerasan terhadap seseorang (pengguna). Terdapat berbagai jenis kekerasan media sosial diantaranya, konten hoax yang menyudutkan salah seorang pihak, hated comment, pelecehan sosial berupa hinaan di ranah media sosial, dll. Maka dari itu, tindak kejahatan tidak hanya berupa fisik ataupun komunikasi verbal tetapi juga dapat secara non verbal (tidak langsung). Lewat media sosial, citra seseorang dapat dicemarkan. Lewat media sosial, psiskis seseorang dapat terganggu, hal terburuk yang terjadi adalah peristiwa bunuh diri akibat stres tinggi (efek media sosial).
Maka dari itu adanya peran hukum media sangat berguna bagi kehidupan masyarakat dalam penggunaan media.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun