Jalan hidup tak pernah bisa ditebak tapi saya sangat bersyukur telah menjalani banyak perjalanan yang penuh warna. Salah satu perjalan yang pernah saya lalui adalah menjadi guru honorer. Pilihan menjadi guru sudah saya persiapkan baik baik. Karena saya memiliki riwayat yang cukup tentang dunia guru.
Ayah dan ibu saya berprofesi sebagai guru. Ayah saya lebih dari 30 tahun mengabdi sebagai guru. Hampir sepanjang hidupnya. Perih, getir dan tentu bahagia sudah saya rasakan sebagai anak seorang guru. Ibu berhenti menjadi guru saat telah menikah dan memiliki anak.
Keluarga kami hidup sederhana, ayah hanya memiliki sebuah sepeda balap untuk alat transportasinya. Namun kami nersyukur bisa membeli sebidang tanah ukuran 27 meter persegi untuk dibangun rumah. Surga kecil yang tempat saya tumbuh. Ayah mengajar di sebuah sekolah dasar negeri (SDN) di daerah Tanah Tinggi Jakarta Pusat. Untuk menambah penghasilan Ayah juga mengajar di SD swasta kelas bawah di wilayah Kebon Kosong Kemayoran.
Ibu juga tak tinggal diam, berjualan pakaian dan berbagai barang lainnya untuk bisa menambah keuangan keluarga. Saat itu belum ada marketplace guru. Berjualan dari rumah ke rumah dari satu kelompok arisan ke kelompok arisan lainnya.
Ayah juga pernah mengambil pekerjaan memberikan les tambahan untuk sebuah keluarga kaya di Kebayoran. Tapi tak lama, hanya satu tahun.Â
Dalam kesederhanaan hidup keluarga guru, saya menjadi paham bagaimana ayah dan ibu bertahan hidup di tengah kota Jakarta. Hidup tidak neko neko, tidak berani mengambil barang dengan cicilan walau saat itu sudah banyak tawaran. Hampir tak ada barang mewah di rumah selain barang jadul yang kami miliki.
Ini Kisah Saya Menjadi Guru Honorer
Saya masih ingat momen saya resign dari perusahaan multinasional. Sebuah keputusan yang luar biasa nekat, keluar dari zona nyaman. Salah satu profesi yang saya pilih saat itu adalah menjadi guru. Maka saya pun membuat lamaran ke beberapa sekolah. Sayang, tak ada satu pun sekolah yang menerima lamaran saya.Â
Saya pun akhirnya memilih menjadi pendamping pertanian, sebuah pekerjaan yang membuka mata saya tentang nasib petani. Pekerjaannya hampir seluruhnya di lapangan. Keluar masuk desa atau dusun di Kabupaten Tangerang. Setiap hari saya mengunjungi petani untuk memberikan masukan dan saran untuk keuangan pertanian.
Pekerjaan ini saya jalani hampir 3 tahun, setelah program ini berakhir saya akhirnya jobless, tak ada pekerjaan dan saya menambah jumlah pengangguran di Indonesia saat itu. Dalam keadaan seperti itu, datanglah seorang sahabat yang meminta bantuan untuk menghidupkan kembali sebuah sekolah tingkat SMP dan SMA yang mati suri.