Karanganyar -- Di Dusun Dukuh, Desa Jatikuwung, Kecamatan Jatipuro, Kabupaten Karanganyar, ada satu tradisi yang tetap hidup dan lestari meski zaman terus berganti: pasar tradisional yang hanya buka dua kali dalam lima hari, yaitu setiap pasaran Pon dan Legi. Warga sekitar menyebutnya Pasar Bulu. Meski hanya beroperasi mulai pukul 05.00 hingga 07.00 pagi, pasar ini tak pernah sepi dari pembeli. Justru dalam waktu singkat itu, denyut ekonomi lokal bergerak dengan cepat. Suasana pasar seakan menjadi ritual kecil yang dinanti, bukan sekadar tempat transaksi, tetapi juga ajang srawung antarwarga.
Setiap Pon dan Legi, jalan kampung menuju pasar sudah mulai ramai sejak sebelum subuh. Lampu-lampu rumah warga masih menyala, namun aroma bumbu pecel dan suara ibu-ibu menyiapkan dagangan sudah lebih dulu mengisi udara. Pasar ini digelar sederhana---tanpa los atau kios permanen---pedagang hanya menggelar tikar, meja kayu, atau gerobak kecil di sepanjang jalur kampung. Tapi justru kesederhanaan inilah yang menjadi daya tarik utamanya.
Apa saja yang dijual di Pasar Bulu? Jawabannya cukup lengkap untuk ukuran pasar kecil. Mulai dari sayur mayur segar hasil kebun warga, sembako seperti gula, minyak, dan beras, ayam potong, jajanan pasar, hingga pecel ndeso yang laris manis diserbu pembeli. Tak ketinggalan ada pula pedagang sate ayam, pakan burung, bahkan perlengkapan rumah tangga dalam skala kecil. Suasana terasa guyub dan meriah, terlebih karena banyak pedagang dan pembeli sudah saling kenal sejak lama.
"Rasane nyenengke, bisa ketemu tangga-tangga, sambil belanja ya sambil ngumpul. Iki ora mung pasar, tapi pertemuan wong kampung," ujar Sumarni (52), salah satu pelanggan tetap pasar yang hampir tak pernah absen setiap Pon dan Legi. Ia biasa berangkat sehabis salat Subuh dan membeli kebutuhan dapur untuk dua-tiga hari ke depan. Menurutnya, harga di Pasar Bulu relatif lebih murah dibanding toko kelontong atau pasar besar.
Pasar Bulu bukan hanya urusan ekonomi, tetapi juga tentang ritme hidup warga. Ada keakraban khas desa yang terasa hangat. Para pembeli datang dengan mengenakan daster, sarung, bahkan kadang tanpa alas kaki. Tidak ada aturan baku, semuanya berjalan apa adanya, tapi justru teratur karena terbentuk oleh kebiasaan bertahun-tahun. Sistem tawar-menawar pun menjadi bagian dari dinamika pasar yang menyenangkan, tak jarang diselingi candaan atau kabar terbaru antarwarga.
Para pedagang pun sebagian besar adalah warga sekitar, yang membuka lapak hanya di hari pasaran. Salah satunya adalah Bu Lurah, penjual ayam potong yang sudah berjualan sejak 20 tahun lalu. "Rejeki saya ya dari pasar iki. Meski cuma buka dua kali seminggu, tapi cukup buat mencukupi kebutuhan rumah," ungkapnya sambil melayani pembeli yang memilih ayam segar.
Keunikan Pasar Bulu terletak pula pada sistem waktunya yang mengikuti penanggalan Jawa. Pasaran Pon dan Legi dalam kalender Jawa memiliki interval tetap, sehingga warga dengan mudah mengetahui kapan pasar buka. Tak jarang, keluarga dari luar dusun pun datang saat pasaran hanya untuk menikmati suasana khas yang sulit ditemukan di pasar modern.
Meski sederhana, pasar ini juga menjadi pusat distribusi hasil tani lokal. Banyak pedagang membawa cabai, bayam, kangkung, kacang panjang, hingga ketela dari ladang sendiri. Selain menambah penghasilan, ini juga memperkuat ketahanan pangan lokal. Menariknya, sebagian warga tidak menggunakan plastik, melainkan daun pisang atau kertas bekas sebagai bungkus, mencerminkan kearifan lokal yang berkelanjutan.
Namun, keberadaan pasar ini juga menghadapi tantangan. Generasi muda cenderung kurang terlibat dalam aktivitas pasar. Beberapa memilih berbelanja ke toko modern yang buka setiap hari. Padahal, nilai-nilai kebersamaan dan ekonomi kerakyatan yang melekat di pasar seperti ini sangat penting dijaga. Sejumlah tokoh masyarakat berharap agar pasar tetap lestari dan lebih dikenal generasi baru.