Mohon tunggu...
Norman Meoko
Norman Meoko Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Menulis Tiada Akhir...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Jurnalisme Harapan dan Mimpi Aristides Katoppo

24 Juli 2021   10:23 Diperbarui: 24 Juli 2021   16:32 145
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Di tengah era banjir informasi seperti sekarang ini. Konten di media sosial datang silih berganti dengan bejibun perguncingan. Tidak heran dalam zaman informasionalisme gunjing diakui atau tidak sudah memasuki ke level tingkat tinggi. Bahkan, sudah mampu mengalahkan kecepatan media arus utama. Media arus utama akhirnya hanya tertatih-tatih tanpa tahu mau berbuat apa.

Deadline tidak lagi menjadi ukuran sebuah informasi. Di tangan jari-jari lentik yang menari-nari di atas smartphone, segala perguncingan apapun jenisnya telah menjadi konsumsi publik ketika diunggah di media sosial. Entah melalui twitter, facebook, instagram atau jenis media sosial lainnya.

Media sosial telah menjadi sarana untuk berkeluh kesah dan luapan kegembiraan (yang paling parah) menebar hoaks dan menjadi alat politik untuk kepentingan diri sendiri, kelompok atau apapun itu Namanya. Jika pembaca tidak mempunyai literasi media yang baik maka sulit dibayangkan apa yang terjadi. Konten ditelan mentah-mentah tapi dicek dulu kebenarannya.

Media sosial telah menjadi medium berceloteh, bergunjing meski sekaligus juga menjadi garis depan revolusi teknologi informasi yakni "berita rakyat untuk rakyat, rakyat untuk pemimpin, pemimpin untuk rakyat, dan pemimpin untuk pemimpin", di mana pun dan kapan pun. Dalam konteks ini maka berita yang diagung-agungkan di media arus utama menjadi tak mempunyai arti lagi. Tak jarang berita tidak lebih dari big talk on small things maka gunjing dalam media sosial sangat sering menjadi small talks on big things.

Melihat semua itu saya menjadi gusar dan benak saya tiba-tiba mengembalikan kenangan ketika menjadi jurnalis di sebuah sore yang bernama Sinar Harapan. Di sanalah saya berjumpa dengan seorang sosok yang belakangan saya juluki sebagai "suhu jurnalistik saya". Ya suhu jurnalistik saya itu Bernama Aristides Katoppo. Kamu di redaksi biasa memanggil Pak Tides. Teman-teman Mapala Universitas Indonesia (UI) biasa hanya memanggil nama saja yakni Aristides Katoppo. Kebetulan Pak Tides adalah salah satu nama besar di Mapala UI. Di Sinar Harapan ada rekan dari Mapala UI. Salah satunya Adiseno.

Ada satu hal yang selalu saya ingat bahkan hingga kini saya simpan dalam lubuk saya yang paling dalam terkait Pak Tides. Begini: dalam setiap rapat redaksi, Pak Tides selalu menekankan sebuah harapan meski peristiwa atau kejadian yang diliput jurnalis hampir tidak ada fakta yang mengandung harapan.

Pak Tides bilang begini: "Selipkan satu kata atau sejumlah kalimat yang memberi harapan dalam berita yang kamu tulis dan laporkan kepada masyarakat."

Bagi saya filosofi itu sederhana tetapi  maknanya sangat dalam apalagi di tengah era bejibun informasi seperti sekarang ini. Ketika pembaca tidak tahu lagi mana fakta yang sesungguhnya fakta; mana fakta yang sudah dikemas menjadi hoaks. Ibarat sebuah pasar, pelbagai informasi berseliweran di ruang publik. Masyarakat akhirnya linglung dan seakan tak berdaya dengan gempuran informasi yang bertubi-tubi itu.

Berita Wabah Covid-19

Memberi harapan kepada pembaca bagi saya adalah penting. Contohnya, ketika berita mengenai wabah Covid-19 yang datang silih berganti dan maaf saja: media lebih menyukai berita mengenai pandemi tersebut dari sisi genit, kadang dibumbui dramatis yang bukan tidak mungkin akan menimbulkan kengerian bagi pembaca. 

Apalagi laporan beritanya dilengkapi dengan foto-foto mengenai peti jenazah pasien Covid-19 ditambah lubang-lubang makam yang ibarat deret ukur yang seperti tidak ada ujungnya. Tayangan stasiun televisi lebih memperburuk. Visual yang dramatis menjadi sesuatu yang berbahaya.

Dalam komunikasi ada yang disebut sebagai terpaan media. Informasi yang berulang-ulang disampaikan kepada publik lamban laun akan berpengaruh terhadap perilaku pembaca. Cara peliputan media massa dampaknya akan dirasakan oleh para penyintas (survivors) dan keluarganya, masyarakat maupun bagi jurnalis peliput itu sendiri. 

Bila peliputan dilakukan dengan tepat sesuai dengan karakterikstik peristiwa tersebut maka hal ini dapat menjadi bagian dari proses pemulihan penyintas. Sebaliknya, bila peliputan dilaksanakan dengan kurang peka maka akan timbul efek-efek negatif seperti trauma ulangan (retraumatisasi) yaitu keadaan di mana korban (pembaca) merasa seperti mengalami kembali kejadian tersebut.

Menyajikan berita Covid-19 yang berlebihan dan tidak proporsional apalagi -- maaf -- dengan motif komunikasi agar diklik banyak pembaca (clikbait) dengan pemakaian kalimat menyeramkan; menakutkan bahkan menyeramkan, akan melahirkan efek-efek negatif yang saya sebut tadi. Pengelola kota di Wuhan -- daerah di China -- yang disebut sebagai sumber pertama kali munculnya kasus Covid-19 kini sukses mengatasi pandemi virus berbahaya itu. 

Salah satu caranya dengan meredam pemberitaan mengenai Covid-19 yang menyeramkan tersebut. Pemerintah Singapura juga melakukan hal itu. Beda dengan di Indonesia di mana media arus utama berlomba-lomba untuk menayangkan rekor jumlah kematian akibat pandemi Covid-19 tersebut bahkan dihiasi dengan ilustrasi yang buat bulu kudu merinding.

Seharusnya media arus utama menyajikan fakta harapan di tengah kondisi seperti itu. Peluang membagi harapan seperti yang diimpikan Pak Aristides Katoppo itu ternyata telah ambil media sosial dengan menyebar semangat saling berbagi dengan mereka yang terdampak pandemi Covid-19. 

Contohnya bagaimana Youtuber Doni Salamanan membagi duit di jalan raya di Bandung kepada pengendara sepeda motor. Ada lagi pria bermasker yang naik Alpharda yang juga ikut melakukan hal serupa kepada ojek online. 

Itu hanya contoh tetapi itulah sebenarnya "jurnalisme harapan". Semangat berbagi dan menolong di tengah kesusahan seperti sekarang ini telah menjadi obat di tanah tandus di siang bolong.

Bersyukur belakangan Polri dan TNI ikut juga melakukan tindakan serupa yang dikemas dengan nama bantuan sosial (bansos) lepas dari perintah langsung dari Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Sepatunya media arus utama ikut memberi andil. Ya setidaknya dengan menyebarkan berita atau reportase yang memberi harapan. Sehingga masyarakat terobsesi untuk bangkit dan semangat untuk keluar dari pandemi Covid-19. 

Dibutuhkan sebuah tanggung jawab sosial kepada masyarakat. Saya tidak menggunakan istilah pers bebas yang bertanggung jawab seperti di masa Orde Baru. Karena apalah artinya sebuah nama.  

Sosok Aristides Katoppo

Aristides Katoppo sudah tenang di sorga. Tokoh pers yang dikenal gigih berseberangan dengan rezim Orde Baru itu berpulang 29 September 2019 lalu dalam usia 81 tahun.  Tokoh yang tetap menerapkan prinsip "sersan" -- serius tapi santai dalam bekerja. Irama hidupnya memang berubah-ubah antara serius dan santai.

Bahkan,  ketika ia masih aktif terlibat pengelolaan koran sore Sinar Harapan, bak seperti jenderal, ia terus menerus memberi komando kepada stafnya. Sambil hilir-mudik, dengan tangan dimasukkan ke saku celana, ia terus mengontrol seluruh pekerjaan yang dilakukan anak buahnya.

Pria Kelahiran Tomohon, Minahasa, Sulawesi Utara, 14 Maret 1938 itu memang tetap energik. Tides memang tidak pernah berubah. Gaya pakaiannya tidak terlalu formal. Jarang ia mengenakan dasi dan pakaian formal.

Ada satu hal yang tidak pernah berubah. Itu berkaitan dengan idealisme, sesuatu yang berkaitan dengan cita-cita besar. Jika di era Soeharto, aspek demokrasi yang ia perjuangkan maka di era keterbukaan ini, ia memperjuangkan idealisme pers perdamaian dan pers harapan.

Idealisme Tides tersebut bukannya tanpa tantangan. Di tengah komersialisasi media yang begitu luar biasa saat ini, cita-cita Tides tersebut jelas berisiko. Ia sadar untuk mengimplementasikan pers perdamaian (peace jurnalisme) dan pers harapan itu bukan hal mudah. Media, tegas Tides, ikut terpuruk dengan kegamangan yang terjadi di masyarakat.

Sementara itu, media nasional baik cetak dan elektronik terjebak dalam kapitalisasi. Materi pemberitaan sebagian besar bersifat hiburan. Program Infotainment menjadi menu utama masyarakat. "Sekarang ada kecenderungan media semata-mata untuk hiburan yang celakanya tidak mencerdaskan, " katanya suatu ketika.

Di tengah kegalauan dan cuaca mendung itulah, Tides berpesan agar ada guyuran pikiran-pikiran jernih dan cerah. Bukannya menggomel, menggerutu, mencari kambing hitam, menyalahkan keadaan dan cuci tangan. 

Ia ingin media massa menurunkan berita dan artikel yang memunculkan perdamaian dan harapan bagi bangsa ini. "Saya akui, pesan saya, bukan masalah tiras tapi kualitas pemberitaan," ujarnya.

Katanya, "Datanglah ke Jembrana, Kebumen atau Merauke.  Di sana ada hal-hal positif yang bisa membangkitkan harapan. Bagikan itu kepada pembaca."

Sang tokoh boleh pergi tetapi mimpinya untuk terus menularkan jurnalisme harapan tidak akan pupus dimakan zaman. Dia akan selalu abadi di dunia pers nasional, setidaknya!(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun