Mohon tunggu...
Norman Meoko
Norman Meoko Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Menulis Tiada Akhir...

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Juraganisme dalam Media, Siapa Untung Siapa Buntung?

23 Juli 2021   20:55 Diperbarui: 23 Juli 2021   22:00 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya bersyukur bisa bekerja sebagai jurnalis sebuah koran sore bernama Sinar Harapan. Saya bertemu dengan sosok tokoh pers yang menjadi musuh besar penguasa Orde Baru: Pak Harto! Namanya Aristides Katoppo. Kini beliau sudah berpulang ke rumah bapa di surga tetapi kenangan bersama almarhum begitu kental melekat dalam perjalanan karir jurnalistik saya. Bahkan, hingga kini.

Salah satu yang saya ingat. Ketika itu barus saja selepas deadline di Sinar Harapan. Matahari sudah tinggi. Saya kedatangan tamu luar biasa. Namanya Janet Steele, pengajar di Universitas George Washington. Saya diperkenalkan Aristides Katoppo. Suhu jurnalistik saya!  

Kami mengajak Janet Steele untuk naik ke ruangan Pak Tides di lantai lima. Peraih gelar Ph.D dari Universitas Johns Hopkins pada tahun 1985 itu berpenampilan sederhana. Mengenakan kemeja warna hitam dengan rok cream. Orangnya sangat ramah dan asik untuk diajak berdiskusi.

Pak Tides, biasa kami di Sinar Harapan memanggil Aristides Katoppo ketika itu mengatakan, Jenet Steele datang ke Sinar Harapan untuk keperluan penelitiannya mengenai media di Indonesia terkait isu pluralisme.

Ditemani makan siang khas Kawanua yang kami beli dari Warung Manado di Kramat V Jakarta Pusat (biasa disebut Warung Kremlin), kami berdiskusi panjang. Sesekali Janet Steele senang dengan bakwan jagung khas Manado. Banyak hal yang kami diskusikan dan tidak hanya soal isu pluralisme yang diangkat media di Indonesia tetapi juga dia menyinggung soal pembredelan media massa. Kebetulan Janet Steele pernah menulis buku berjudul "Wars Withing". Isinya terutama terkait soal Pergulatan Majalah Berita Mingguan Tempo di Zaman Orde Baru.

Janet Steele bilang begini: "Masa pembredelan adalah pertarungan mati-matian seperti Baratayudha, pertempuran yang mengakhiri perang saudara antara Pandawa dan Kurawa."

Persoalan untuk sekarang ini apakah pembredelan media itu masih ada? Jika ada bagaimana wujud pembredelan itu? Akankah wartawan sadar dengan itu?

Di masa Orde Baru dulu ketika Departemen Penerangan upaya untuk mengekang media jelas di depan mata. Ada apa yang dinamakan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Dengan SIUPP ini pemerintah di masa itu bisa membatalkan usaha penerbitan pers yang berimplikasi terhadap keberadaan pers itu sendiri. Sinar Harapan, koran tempat saya bekerja sudah berulang kali mengalami nasib pembredelan itu. Karena kritis, koran yang lahir 27 April 1961 sudah beberapa kali dibredel di masa Orde Baru.

Di masa lalu banyak pejabat terutama militer yang main telepon ke kantor redaksi dan minta berita ini tak dimuat atau diturunkan. Bayangan hanya melalui telepon sebuah berita yang sebenarnya perlu publik tahu tetapi tidak muncul. Berita yang sudah dibuat cape-cape oleh reporter harus dirobek dan dibuang ke tempat sampah. Akhirnya berita yang muncul saat itu adalah berita yang sesuai dengan keinginan penguasa. Di luar itu: terserah saja tetapi risiko terlalu besar: bisa dibredel gais! Dan jika itu terjadi maka sekian banyak perut akan kelaparan karena wartawan kehilangan media ekspresinya dan keluarga otomatis menjerit.

Ada cerita menarik. Seorang teman usai jumpa pers di Cilangkap terpaksa harus "menginap" di sana hanya karena sehari sebelumnya menulis berita yang dianggap keliru dan itu omongan dari Panglima ABRI Jenderal TNI Feisal Tanjung. Sang teman harus menginap di sana dan baru diizinkan pulang setelah dijemput pemimpin redaksinya. Teman saya itu bercerita bagaimana dia ditaruh dalam sebuah ruangan dengan sebuah lampu yang besar dan sebuah meja. Ketika teman saya itu minta pulang maka perwira jaga hanya mengatakan tunggu sampai komandannya datang. Dan itu berlangsung selama dua hari.

Bagaimana sekarang ini?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun