Mohon tunggu...
Norman Meoko
Norman Meoko Mohon Tunggu... Lainnya - Penulis

Menulis Tiada Akhir...

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Jurnalisme Warung Kopi

22 Juli 2021   14:26 Diperbarui: 22 Juli 2021   15:02 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Setiap mendapat kabar media arus utama seperti koran gulung tikar, jujur saya sedih. Hampir 30 tahun lebih saya berjibaku Bersama media arus utama terutama koran. Orang lalu menyebut: kini saatnya senja kala media cetak! Media cetak ditinggal pembacanya. Media cetak tinggal kenangan.

Kalau pun bertahan maka itu hanya koran-koran bermodal besar dan sudah mempunyai pelanggan setia. Dengan modal yang bejibun, media arus utama mulai berbenah diri dan masuk dalam pertarungan apa yang disebut jurnalisme multiplatform. Sebuah jurnalisme yang memanfaat saluran komunikasi untuk menyampaikan pesan-pesannya kepada publik.

Sayangnya, sampai sekarang pun belum ada sosok jurnalisme multiplatform yang ideal. Masih banyak media massa yang masih meraba-raba untuk mencari bentuk yang ideal.

Pertanyaan yang mendasar dalam soal ini sebenarnya bagaimana ruang publik bisa menjadi dibuka seluas-luasnya oleh media arus utama. Karena sekarang ini ruang publik sudah bertebaran di mana-mana. Orang dengan handphone sudah bisa berselancar melalui media sosial. Entah itu twitter, instagram, facebook atau yang lainnya. Ada yang menyebut sebagai era banjir informasi. Bahkan, informasi dari media sosial tidak mengenal deadline. Dia datang bertubi-tubi dari pelbagai sisi tanpa bisa dihentikan sama sekali!

Pertanyaannya: bagaimana ruang publik itu kini? Di mana media arus utama bisa bermain?

Ya jujur saja media arus utama kini tertatih-tatih menghadapi gempuran media sosial. Kalau dulu reporter harus menggunakan kaki untuk mencari berita. Sindhunata mantan jurnalis Kompas menyebut hidup wartawan bukanlah di kantor tapi di jalanan. Selanjut dia bilang begini: "Wartawan pada awalnya adalah pekerjaan kaki, baru kemudian pekerjaan otak. "

Artinya, wartawan itu harus mencari objek beritanya dengan menggunakan kakinya, dengan berjalan terlebih dahulu, sebelum ia menggunakan otak dan pikirannya.

Masih menurut Sindhunata, secemerlang apapun otak sesorang wartawan, kalau ia malas menggunakan kakinya, ia tidak akan memperoleh berita yang autentik.

Namun kondisi sudah berubah. Tak bisa dipungkiri lagi banyak wartawan yang malah mendapatkan bahan berita hanya dengan memantau media sosial. Media sosial kini menjadi sumber berita yang tiada habisnya. Misalnya saja ketika terjadi kecelakaan maut di Jalan Tol Cipularang, maka media arus utama terutama media online tanpa malu-malu mengambil video yang diunggah saksi mata kejadian itu instagram. Berita kecelakaan tersebut lalu dibumbui dengan video dari media sosial. Lengkap sudah berita tersebut!

Copy paste ikut mewarnai dunia persilatan jurnalistik. Ada jurnalis yang copy paste berita dari sebuah atau beberapa portal berita lalu menuliskan ulang dengan gaya penyajian berbeda. Yang penting fakta-fakta utamanya sama. Tidak lebih pun tak kurang! Ada senior saya dengan enteng mengatakan, dirinya tinggal menulis: pelbagai sumber di bawah berita yang diambil dari sejumlah portal berita. Selesai! Soal etis atau tidak persetan katanya! Itu urusan belakang. Lagi pula siapa yang tahu!

Inikah sosok jurnalisme di era internet seperti sekarang ini?

Warganet Cerewet

Diakui atau tidak media sosial kini sedang naik daun. Loncatan perubahan dalam dunia komunikasi digital yang secepat kilat itu telah mengubah cara berkomunikasi manusia. Rektor saya dulu mengistilahkan "isi pernyataan" untuk konten.

Sayangnya perubahan di media sosial itu tidak diimbangi dengan pendidikan literasi digital yang kuat. Akhirnya orang kini bisa seenaknya menclak-menclek di media sosial. Mereka berselancar tanpa batas. Intinya: kedalaman berpikir sering takluk dengan kecepatan jari-jemari.

Warganet tiba-tiba menjadi "cerewet" di media sosial karena banyak isu berseliweran dengan cepat dan memancing lalu membuat jempol pembacanya "gatal" untuk segera menuliskan komentar.

Singkat kata: media sosial kini menjadi panggung mendeklarasikan diri dengan tujuan agar dilihat banyak orang. "Ini gue, elu mana!" Sayangnya tanpa sadar bahwa perilaku di media sosial kadang juga bisa berimbas ke dunia nyata.

Parahnya lagi media arus utama belakangan ikut bermain dalam ragam media sosial. Bahkan agar berita diklik banyak pembaca, media sosial kini menjadi strategis menyebarkan berita-berita liputannya.

Lantas bagaimana posisi media arus utama? Ikut terus dengan genderang irama media sosial atau bagaimana?

Tanpa sadar media arus utama melupakan apa yang disebut sebagai jurnalisme yang berkualitas, relevan dan bermakna bagi kehidupan publik. Media arus utama kerap lupa bahwa loyalitas pertama jurnalisme adalah kepada masyarakat. Lupa bahwa kewajiban pertama jurnalisme adalah pada kebenaran bukan hoaks apalagi caci-maki dan malah menjadi penyulut konflik.

Seorang jurnalis senior kepada saya mengatakan begini: hanya dengan kembali pada fungsi-fungsi utama jurnalisme yakni jurnalisme yang lebih berkualitas, relevan dan bermakna bagi publik, media arus utama utamanya media cetak akan mampu menjaga eksistensi dan mempertahankan relevansinya di tengah terpaan gelombang informasi yang bergulung-gulung tak terbatas. Ada yang mengistilahkan sebagai era banjir informasi!

Jujur hal utama yang dihadapi pencari informasi di Indonesia saat ini bukan lagi kelangkaan informasi seperti di masa Orde Baru melainkan adanya situasi kelimpahan informasi atau the abundance of information. Dalam kondisi seperti itu maka pencari informasi perlu mencermati serta memilah informasi yang tersedia dari timbunan gunung informasi. Dan ini sebenarnya menjadi tugas media, jurnalis dan editor untuk membantu masyarakat menyediakan informasi yang dibutuhkan, dianggap penting dan dinilai relevan serta lebih bermakna.

Pertanyaannya: sanggupkah media arus utama melakukan itu di tengah bejibun informasi?

Di balik Warung Kopi

Untuk menjawab pertanyaan ini saya teringat tradisi warung kopi yang hampir ada di belahan negeri ini. Ketika saya bertugas ke Aceh, betapa nikmatnya saya diajak teman untuk ngopi di sebuah warung kopi tak jauh dari Bandara Udara Blang Bintang di daerah Aceh Besar, Provinsi Aceh.

Di sebuah warung kopi yang sangat sederhana. Karena alas meja hanya lembaran plastik yang apa adanya. Bangkunya pun begitu. Tetapi sajian kopinya luar biasa. Di warung kopi itu saya melihat bagaimana sebuah komunkasi terbangun. Ada yang datang dan share tentang pekerjaan kebunnya hari itu. Ada juga yang datang dengan cerita anaknya yang tidak mau bersekolah karena lebih suka bermain tembak-tembakan dan segalanya. Mereka bercakap-cakap karena di situ ada proses pertukaran informasi. Mereka suka menyampaikan pendapat dan didengar ceritanya. Ada canda. Ada tawa dan semua hati pun senang.

Hal serupa saya temukan juga ketika saya melakukan tugas jurnalistik ke Manado, Sulawesi Utara. Saudara-saudara saya di sana suka sekali bahkan betah berlama-lama di warung kopi. Saya berkesempatan berkunjung ke sebuah warung kopi di Jalan Dr Sutomo Pinaesaan Kecamatan Wenang Manado. Seperti halnya di Aceh, di sana pun saya temukan sebuah komunikasi yang terbangun dari obrolan. Termasuk topik politik terhangat pun bisa menjadi bahan diskusi. Para pengunjung yang rata-rata kaum adam itu mengeluarkan pendapatnya. Lalu disanggah. Tidak ada yang marah tetapi mereka tertawa lepas sambil sesekali menyeruput kopi dan kukis di meja kayu yang sudah reot itu.

Melihat hal itu, apa tidak sebaiknya media arus utama mengambil komunikasi yang saya sebut jurnalisme warung kopi. Di warung kopi, para pengunjung ingin didengar suaranya. Mereka ingin sekali menyampaikan aspirasinya termasuk juga solusi jika ada topik yang dibahas. Ada beragam topik yang dibagi dan ditanggapi. Semua mendapat kesempatan yang sama untuk berpendapat. Uneg-uneg pun meluncur deras tanpa terbendung.

Mengapa media arus utama tidak mengadopsi itu. Menjadikan pola-pola komunikasi di warung kopi yang kemudian dipindahkan dalam cara penyampaian  pesan seperti halnya di warung kopi. Ada ruang publik yang dibuka secara besar-besaran di sana. Publik diberi tempat. Publik menjadi raja.  

Jika itu dilakukan saya pikir senja kala media cetak tidak menjadi kenyataan. Karena kuncinya adalah bagaimana media arus utama mau tidak mau; suka tidak suka: meletakkan informasi dalam konteks yang tepat, latar belakang yang sesuai serta perspektif yang jelas dan jernih. Dan, rasanya tidak salah jika meniru apa yang saya sebut "jurnalisme warung kopi".(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun