Mohon tunggu...
Norberth Javario
Norberth Javario Mohon Tunggu... Konsultan - Pengelana Ilmu

Menulis semata demi Menata Pikiran

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Latto-Latto, Benarkah Berbahaya?

9 Januari 2023   20:10 Diperbarui: 16 Januari 2023   07:25 1093
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penjualan lato-lato di Bandung. (Dok TRIBUN JABAR via KOMPAS.com)

Sinisme adalah teori segalanya. Orang sinis selalu benar.

Muncul rasa curiga, apakah asumsi kita bahwa mainan ini berefek baik selama ini salah? Apakah kita keliru menilai? Bukankah kehilangan bola mata merupakan hal buruk? Mungkin kita jadi bertanya-tanya, benarkah pada hakikatnya latto-latto ini permainan tak aman?

Pada zaman digital ini, berita yang kita dapat makin ekstrem. Jurnalis tahu apa yang mengejutkan dan menakutkan kita, mereka mengetahui apa yang ingin kita klik. Mereka tahu cara menarik perhatian dan mempertahankan perhatian itu agar bisa menyajikan iklan pribadi yang paling menguntungkan.

Gema media modern itu merupakan serangan terhadap suasana biasa. Permainan latto-latto sudah menyita perhatian anak-anak secara nasional. Itu biasa. Semua baik-baik saja. Tapi itu membosankan. Sesuatu yang biasa tak akan membuat kita bangkit dan memperhatikan. "Baik" tidak cocok untuk iklan.

Oleh sebab itu, media memberi kita umpan klik (clickbait) yang makin sensasional, karena kita tahu bahwa -- sebagaimana pernah dikatakan Rolf Dobelli, seorang novelis Swiss-"Berita bagi akal ibarat gula bagi tubuh."

Terkadang kita tak menyadari bahwa kita berada pada situasi baik-baik sebab media media mengangkat kekecualian, dan makin jarang suatu peristiwa terjadi -- aksi kekerasan, serangan teroris, kecelakaan -- makin besar beritanya.

Kita tak akan pernah melihat reporter dengan laporan langsung sebagai berikut, "Saya berdiri di Jalan Tol A, di mana hari ini tak ada kecelakaan." Atau, apakah kita pernah melihat judul berita JUMLAH ANAK INDONESIA YANG MEMAINKAN LATTO-LATTO BERTAMBAH 5.000 SETIAP HARINYA, walau itu bisa dipantau secara akurat dengan melihat produksi atau penjualannya.

Tentu saja, tak semua jurnalisme demikian. Banyak berita membantu kita memahami dunia dengan lebih baik. Namun berita -- dalam arti kejadian terbaru, insidental, dan sensasional -- sangatlah lazim. Kita terpapar berita setiap hari, berjam-jam.

Dalam Buku Humankind: Sejarah Penuh Harapan-nya Rutger Bregman, dikatakan ada dua alasan penyebab manusia sangat rawan terpengaruh berita. Pertama, bias negativitas. Kita lebih memperhatikan yang buruk daripada yang baik. Terlalu banyak ketakutan tak bisa membunuh kita; terlalu sedikit bisa.

Kedua, kita juga dibebani bias ketersediaan. Jika bisa dengan mudah mengingat contoh sesuatu, kita menganggap sesuatu itu relatif lazim. Fakta bahwa kita dibombardir berita setiap hari mengenai kecelakaan mobil, penculikan anak, dan juga ehm, korban latto-latto -- yang cenderung bertahan kuat dalam ingatan -- membuat pandangan kita akan realita melenceng. Seperti ahli statistik Nicholas Taleb katakan, "Kita tak cukup rasional untuk menghadapi pers".

Saat masih kanak-kanak dulu, saya pernah tertembak peluru bunga kayu putih kala main perang-perangan. Merah terang bekasnya di kulit. Rasa sakitnya jangan dibilang, perih tak tertahankan. Bagi kami, tertembak itu barang biasa. Teman saya terluka parah di bagian jari kaki saat jatuh dari sepeda yang ribuan kali dikayuhnya. Darah mengalir menganak sungai di siang saat kami menikmati hari. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun