Mohon tunggu...
Nor Qomariyah
Nor Qomariyah Mohon Tunggu... Freelancer - Pembelajar stakeholder engagement, safeguard dan pegiat CSR

Senang melakukan kegiatan positif

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Ketika Perempuan Memilih Berhenti di "Lampu Merah" atau Waithood, Fenomena Sosial-Global?

1 Maret 2024   09:37 Diperbarui: 1 Maret 2024   22:18 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: Shutterstock/ANDRII YALANSKYI via KOMPAS.com)

Perempuan memang memiliki kecenderungan untuk lebih berhati-hati memilih pasangan dan harus mengenal secara pribadi terlebih dahulu sebelum memutuskan untuk menikah.

4) Deep Traumatic. Trauma yang dalam atau deep traumatic juga bisa menjadi tantangan tersendiri bagi perempuan gen M dan gen Z.

Tak jarang deep traumatic membuat perempuan sulit kembali untuk menjalani kehidupan normal. Menunda menikah dalam hal ini tentu menjadi solusi sekaligus memiliki waktu untuk menyembuhkan deep traumatic yang diderita.

5) Digital life identity. Identitas kehidupan digital membawa pengaruh tersendiri dari kehidupan perempuan gen M dan gen Z. di sisi lain, digitalisasi mampu menjadikan perempuan gen M dan gen Z lebih terbuka, memegang kontrol atas kekuasaanya sendiri, sehingga lebih memiliki keleluasaan dalam mengambil peran, tindakan ataupun memustuskan sesuatu, termasuk kapan akan menikah. Identitas ini juga menjadi lifestyle baru di kalangan gen M dan Z, sehingga teknologi menjadi bagian dari hidup dan kehidupan keseharian mereka.

Waithood Sebuah Fenomena Sosial-Global? 

Waithood tak hanya populer di Indonesia, melainkan juga di Yordania, China, AS, Rwanda, Guatemala termasuk Jepang dengan nama "Bankonka".

Perempuan Jepang menganggap pernikahan justru akan menyulitkan langkah gerak mereka dan menyulitkan untuk menempuh Pendidikan yang lebih tinggi. Sehingga populasi manusia di Jepang terus mengalami penurunan karena trend Bankonka yang telah ada sejak Perang Dunia II.

Hal ini juga diperkuat oleh Surat kabar Youmiri, 7 dari 10 perempuan lajang di Jepang mengaku benar-benar merasa bahagia saat melajang dan tidak menikah.

Jumlah ini terus mengalami peningkatan rata-rata 10% dari tahun ke tahun. Waithood juga menjadi salah satu penyebab menurunnya populasi di Jepang sebesar -0,5% per 2021 (Worldbank, 2021).

Jerman, juga terjadi fenomena yang sama, dimana 80% dari 1.003 perempuan single mengaku lebih bahagia tanpa keberadaan pasangan. Mereka merasa bisa melakukan berbagai hal yang diinginkan tanpa harus melibatkan orang lain. Bahkan jumlah ini terus meningkat sebesar 0,75% sejak tahun 2005 (https://www.kompas.id/, 2005).

Indonesia menjadi negara berikutnya yang juga terus mengalami peningkatan dari jumlah individu yang memilih untuk berstatus 'lajang'. Prosentase lajang dewasa pada 2011 di 51,98% dan meningkat di 61,09% pada 2021 (Jayani, 2021). Sehingga jumlah ini mendorong waithood di Indonesia menjadi fenomena dalam menunda pernikahan serta childfree (Inhorn, & Smith-Hefner, 2021).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun