IFCPs memiliki 8 standard, yaitu: 1) Penilaian dan pengelolaan Risiko dan Dampak Lingkungan & Sosial (Assessment and Management of Environmental and Social Risks and Impacts), Â 2) Ketenagakerjaan dan Pekerjaan (Labor and Working), 3) Kinerja, Efisiensi Sumber Daya dan Pencegahan Polusi (Resource Efficiency and Pollution Prevention Performance), 4) Kesehatan, Keselamatan dan Keamanan (Health, Safety, and Security), 5) Pembebasan Lahan dan Pemukiman Kembali Tidak Secara Sukarela (Land Acquisition and Involuntary Resettlement), 6) Konservasi Keanekaragaman Hayati dan Pengelolaan Sumber Daya Alam Secara Berkelanjutan (Biodiversity Conservation and Sustainable Management of Living Natural Resources), 7) Â Masyarakat Adat (Indigenous Peoples), dan 8) Warisan Budaya (Cultural Heritage).
Dalam konteks gentrifikasi, IFCPs sangat terkait erat dengan Performance Standard (Ps) 1, yakni  Social and Environmental Assessment and Management System (Sistem Management dan Penilaian Lingkungan dan Sosial). Ini berarti seluruh proyek pertambangan harus melakukan 'identifikasi dan assesment', mengelola dampak sosial dan lingkungan yang akan timbul karena adanya proyek.Â
Dalam hal ini, industri pertambangan ditekankan untuk menyiapkan: aturan, kebijakan, rencana implementasi, alat monitoring & evaluasi  bahkan grievance mechanism (mekanisme pengaduan) yang kesemuanya untuk meminimalkan ataupun memitigasi terhadap dampak yang ditimbulkan, terutama terhadap 1) dampak sosial dan lingkungan bagi masyarakat sekitar pertambangan, 2) mempromosikan kinerja lingkungan dan sosial secara lebih baik melalui sistem manajemen yang efektif dengan tata kelola yang tepat dan 3) memastikan keterlibatan masyarakat setempat dalam siklus kinerja pertambangan dan memastikan publikasi atas aspek sosial dan lingkungan dengan benar.
Selain IFCPs 1, gentrifikasi juga sangat relate dengan IFCPs 5, yang harus fokus terhadap proses pengalihan lahan dan pemindahan penduduk harus sesuai dengan prosedur, sesuai dengan standard nasional dan internasional, dimana proyek pertambangan harus memberikan perhatian dan penanganan kepada masyarakat terdampak, atau punya potensi terdampak.
Untuk memenuhi performance standard ini maka perusahaan pertambangan harus membuktikan kelengkapan dokumen, kebijakan, struktur kelembagaan, Standard Operational Procedure (SOP), Kinerja Research & Development (R&D), misalnya untuk melihat kelengkapan dokumen, berkaitan dengan kebijakan, struktur kelembagaan, SOP, kinerja, laporan penelitian, standard yang digunakan, seperti Feasibility Study (FS), Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL), Rencana Kelola Lingkungan (RKL)-Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL), termasuk didalamnya Corporate Social Responsibility (CSR) maupun Kesehatan Keselamatan Kerja (K3) pertambangan.
Gentrifikasi dalam industri pertambangan pada dasarnya memang masih berdasarkan Rational Comperehensive Planning (RCP)Â yang sudah ada sejak 1960-an, yang masih bersifat keruangan dengan desain lingkungan fisik pemukiman bagi masyarakat yang tinggal. Pendekatan sosial dan lingkungan secara lebih berkelanjutan kini telah menjadi acuan utama yang mendorong gentrifikasi kaum muda ke arah tata kelola pemanfaatan sumber daya alam yang lebih baik.
Mengacu pada  Francis Perroux (1955) bahwa pembangunan kota atau wilayah di mana pun bukan merupakan suatu proses yang terjadi secara serentak, tetapi mucul di tempat-tempat tertentu dengan kecepatan dan intensitas yang berbeda-beda. Maka, industri pertambangan punya peran penting dalam gentrifikasi, yang turut menjadi 'penentu' perubahan, apakah itu polanya menjadi masyarakat yang ke depan 'urban cities' oriented ataukah justru 'kwichon village' oriented. Dua term inilah yang kini diikuti kaum muda dengan pergeseran dalam mempertimbangkan ruang hidup dan keberlangsungn masa depan.
Pendekatan multi pihak secara kolaboratif menjadi kata kunci gentrifikasi dalam industri petambangan dalam perspektif IFCPs, terutama apabila kita ingin meraih Sustainable Development Goals (SDGs) 2030. Adalah lima hal penting yang harus diperhatikan;
- Gunakan pendekatan spatial secara Rational Comperehensive Planning (RCP) dengan pengamatan kultur, sosial dan nilai kearifan lokal ketika kita akan membangun sebuah proyek.
- Lakukan identifikasi dan penilaian sosial dan lingkungan terhadap masyarakat sekitar yang secara dampak akan terimbas
- Memastikan mekanisme dalam penanganan dampak sosial dan lingkungan
- Melibatkan masyarakat dalam proses integrasi proyek sebagai bagian dari entitas masyarakat yang merupakan pelaku pembangunan
- Lakukan monitoring dan evaluasi bersama secara terukur, dengan melihat keanekaragaman hayati dan kearifan lokal.
Dengan demikian, gentrifikasi yang kini tengah tren di kaum muda, akan bergeser ke arah yang lebih positif dengan tata kelola lingkungan yang lebih baik serta optimasi terhadap sumber daya alam dapat berjalan berimbang, termasuk industri pertambangan dalam perspektif IFCPs.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya