Mohon tunggu...
Nona Mustika
Nona Mustika Mohon Tunggu... Mahasiswi

Tertarik dengan teka-teki kasus yang sulit dipecahkan

Selanjutnya

Tutup

Love

Mengurai Alasan di Balik Keputusan Wanita Bertahan dalam Lingkaran Kekerasan Rumah Tangga

24 September 2025   10:21 Diperbarui: 24 September 2025   10:21 31
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) merupakan fenomena sosial yang kompleks dan multidimensional, di mana dinamika kekuasaan, ketergantungan, serta norma budaya saling berkelindan. Meskipun secara rasional banyak orang beranggapan bahwa meninggalkan hubungan yang penuh kekerasan adalah pilihan terbaik, kenyataannya tidak sedikit wanita yang justru memilih untuk bertahan. Keputusan ini tidak dapat dipandang semata-mata sebagai kelemahan individu, melainkan sebagai hasil dari interaksi berbagai faktor struktural, psikologis, dan sosial yang membentuk realitas kehidupan korban. Dalam konteks ini, penting untuk memahami bahwa bertahannya seorang wanita dalam relasi yang penuh kekerasan sering kali merupakan strategi bertahan hidup yang dipengaruhi oleh keterbatasan pilihan, rasa takut, serta tekanan lingkungan yang tidak mendukung. Dengan demikian, analisis mengenai alasan wanita bertahan dalam KDRT harus ditempatkan dalam kerangka yang lebih luas, bukan sekadar pada aspek personal semata.

Salah satu alasan yang paling dominan adalah ketergantungan ekonomi. Banyak wanita korban KDRT tidak memiliki akses terhadap sumber daya finansial yang memadai untuk menopang kehidupannya secara mandiri. Ketika seorang wanita tidak memiliki pekerjaan tetap, tabungan, atau dukungan finansial dari keluarga, meninggalkan pasangan yang melakukan kekerasan berarti menghadapi risiko kehilangan tempat tinggal, kesulitan memenuhi kebutuhan dasar, bahkan potensi kehilangan hak asuh anak. Dalam kondisi demikian, bertahan dalam hubungan yang penuh kekerasan sering kali dipandang sebagai pilihan yang lebih "aman" dibandingkan menghadapi ketidakpastian ekonomi. Ketergantungan finansial ini semakin diperparah oleh struktur sosial yang masih menempatkan laki-laki sebagai pencari nafkah utama, sehingga wanita kerap merasa tidak memiliki legitimasi atau kemampuan untuk berdiri sendiri.

Selain faktor ekonomi, rasa takut dan ancaman juga menjadi alasan kuat yang membuat wanita memilih bertahan. Pelaku KDRT sering menggunakan kekerasan fisik, verbal, maupun ancaman eksplisit untuk memastikan pasangannya tetap berada dalam kendali. Ancaman ini tidak hanya ditujukan kepada korban, tetapi juga kepada anak-anak atau anggota keluarga lain, sehingga korban merasa meninggalkan hubungan justru akan memperbesar risiko bahaya. Dalam situasi seperti ini, rasa takut menjadi mekanisme psikologis yang melumpuhkan kemampuan korban untuk mengambil keputusan rasional. Bahkan ketika ada kesempatan untuk keluar, bayangan ancaman yang terus menghantui membuat korban merasa bahwa bertahan adalah jalan yang lebih aman. Dengan demikian, rasa takut bukan sekadar emosi, melainkan instrumen kontrol yang efektif digunakan pelaku untuk mempertahankan dominasinya.

Manipulasi psikologis dan isolasi sosial juga berperan besar dalam menjebak korban KDRT. Banyak pelaku secara sistematis memutus akses korban terhadap jaringan sosial, baik keluarga, teman, maupun lembaga yang dapat memberikan dukungan. Korban dibuat merasa tidak berharga, tidak mampu, bahkan tidak layak mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Proses ini dikenal sebagai "gaslighting," di mana pelaku menanamkan keraguan dalam diri korban terhadap persepsi dan penilaiannya sendiri. Akibatnya, korban merasa terjebak dalam lingkaran kekerasan tanpa jalan keluar. Isolasi sosial memperkuat perasaan terasing, sehingga korban meyakini bahwa tidak ada pihak yang dapat menolong mereka. Dalam kondisi demikian, bertahan dalam hubungan yang penuh kekerasan sering kali dipandang sebagai satu-satunya pilihan yang realistis.

Perasaan bersalah dan harapan akan perubahan pasangan juga menjadi faktor yang tidak dapat diabaikan. Banyak wanita korban KDRT masih memiliki keterikatan emosional yang kuat terhadap pasangannya. Mereka berharap bahwa kekerasan yang dialami hanyalah fase sementara yang dapat berubah seiring waktu. Harapan ini sering diperkuat oleh siklus kekerasan itu sendiri, di mana setelah melakukan kekerasan, pelaku menunjukkan penyesalan, meminta maaf, dan berjanji untuk berubah. Pola ini menciptakan ilusi bahwa hubungan masih dapat diperbaiki, sehingga korban merasa bertahan adalah bentuk kesetiaan sekaligus tanggung jawab moral untuk membantu pasangan "menjadi lebih baik." Perasaan bersalah juga muncul ketika korban meyakini bahwa kekerasan terjadi akibat kesalahan mereka sendiri, sehingga meninggalkan hubungan dianggap sebagai bentuk kegagalan pribadi.

Pengaruh budaya dan norma sosial turut memperkuat keputusan wanita untuk bertahan. Dalam banyak masyarakat, termasuk di Indonesia, terdapat pandangan bahwa keutuhan keluarga harus dijaga dengan segala cara, bahkan jika itu berarti mengorbankan kesejahteraan individu. Norma patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai kepala keluarga dan perempuan sebagai penjaga keharmonisan rumah tangga membuat korban merasa terikat pada kewajiban moral untuk mempertahankan hubungan. Tekanan sosial dari keluarga besar, komunitas, atau institusi keagamaan sering kali memperkuat keyakinan bahwa perceraian adalah aib yang harus dihindari. Dalam kerangka budaya seperti ini, bertahan dalam hubungan yang penuh kekerasan dipandang lebih terhormat dibandingkan meninggalkan pasangan, meskipun konsekuensinya adalah penderitaan berkepanjangan.

Kurangnya kesadaran dan pendidikan mengenai hak-hak individu dalam hubungan juga menjadi faktor penting. Banyak wanita korban KDRT tidak menyadari bahwa mereka memiliki hak untuk hidup bebas dari kekerasan. Minimnya akses terhadap informasi, pendidikan, dan layanan pendukung membuat korban tidak mengetahui adanya lembaga atau mekanisme hukum yang dapat melindungi mereka. Dalam beberapa kasus, korban bahkan tidak mengenali perilaku pasangannya sebagai bentuk kekerasan, karena sudah terbiasa dengan normalisasi kekerasan dalam lingkungan sosial mereka. Kurangnya kesadaran ini membuat korban tidak memiliki keberanian untuk mencari bantuan, sehingga bertahan dalam hubungan yang penuh kekerasan menjadi pilihan yang dianggap paling realistis.

Pada akhirnya, keputusan wanita untuk bertahan meski menjadi korban KDRT merupakan hasil dari interaksi kompleks antara faktor ekonomi, psikologis, sosial, dan budaya. Tidak ada satu alasan tunggal yang dapat menjelaskan fenomena ini, melainkan kombinasi dari berbagai kondisi yang saling memperkuat. Oleh karena itu, upaya untuk membantu korban KDRT keluar dari lingkaran kekerasan harus dilakukan secara komprehensif, mencakup pemberdayaan ekonomi, perlindungan hukum, dukungan psikologis, serta perubahan norma sosial yang mendukung kesetaraan gender. Pendidikan masyarakat tentang KDRT dan penghapusan stigma terhadap korban juga menjadi langkah penting untuk menciptakan lingkungan yang lebih aman dan adil bagi semua. Dengan memahami alasan-alasan yang melatarbelakangi keputusan wanita untuk bertahan, kita dapat merumuskan strategi intervensi yang lebih efektif dan berkelanjutan.

Referensi: https://pojokjakarta.com/2023/11/25/alasan-wanita-memilih-untuk-bertahan-meski-korban-kdrt/

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun