Mohon tunggu...
Nol Deforestasi
Nol Deforestasi Mohon Tunggu... Petani - profil
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Nusantara Hijau

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pemindahan Ibu Kota, Siasat Lari dari Masalah?

30 April 2019   18:33 Diperbarui: 30 April 2019   18:44 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rapat terbatas antara presiden dan sejumlah menteri Senin kemarin (29/4) menghasilkan sebuah keputusan mengejutkan yang sebenarnya tidak bikin kita terkejut lagi. Kemungkinan ibu kota pindah ke luar Jawa mungkin bakal benar-benar terjadi.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) bilang, saat ini DKI Jakarta menanggung dua beban berat sekaligus: sebagai pusat pelayanan pemerintah maupun publik, serta sebagai pusat bisnis. Besar kemungkinan kota ini tidak akan mampu memikul beban demikian berat tersebut di masa depan.

Salah satu alasan utama dipindahnya ibu kota adalah kemacetan. Kata macet seolah sudah akrab dengan kota Jakarta. Banyaknya kendaraan disertai pembangunan jalan turut berkontribusi menambah kemacetan di Jakarta.

Tak heran kalau Jakarta masuk ke dalam daftar kota termacet di dunia pada saat jam sibuk. Melansir CNN, Selasa (8/1) Jakarta berada di urutan keempat sebagai kota termacet di dunia, dengan rata-rata 63 jam terbuang sia-sia karena kemacetan di jam-jam sibuk. Di atas Jakarta berturut-turut masih ada kota Los Angeles, Moskow dan Bangkok yang memuncaki daftar kota termacet di dunia.

Alasan signifikan lainnya yang mendukung ibu kota Indonesia perlu pindah adalah banjir. Tiap tahun, siapapun itu gubernurnya, rasa-rasanya belum pernah satu kali pun Jakarta benar-benar bebar banjir. Tidak hanya banjir yang berasal dari hulu, tapi juga penurunan tanah di Pantai Utara dan kenaikan permukaan air laut.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro bilang, 50% wilayah Jakarta masuk kategori rawan banjir atau memiliki tingkat di bawah 10 tahunan, dimana idealnya kota besar keamanan banjirnya minimum adalah 50 tahunan.

Di Jakarta penurunan permukaan air tanah di utara rata-rata sekitar 7,5 cm per tahun dan permukaan tanah turun sudah sampai 60 cm pada tahun 1989-2007. Angka tersebut diprediksi akan terus meningkat sampai 120 cm karena pengurasan air tanah Sementara air laut naik rata-rata 4 cm-6 cm per tahun karena perubahan iklim.
Berdasarkan fakta-fakta diatas, mewujudkan mimpi memindahkan ibu kota ke sebuah wilayah yang terbebas dari macet berjam-jam dan banjir tahunan, adalah sebuah keharusan.

Bambang Brodjonegoro memproyeksi pemindahan ibu kota dari Jakarta ke kota lain setidaknya membutuhkan dana sebesar US$23 miliar- US$33 miliar atau setara Rp323 triliun-Rp466 triliun.

Wacana pemindahan ibu kota saat ini masih merujuk pada tiga alternatif. Pertama, ibu kota tetap di Jakarta, namun pemerintah membuat satu distrik tersendiri di kawasan Monas, Jakarta Pusat sebagai pusat pemerintahan. Alternatif kedua adalah ibu kota dipindahkan ke kota di dekat Jakarta, seperti Bogor, Depok, Tangerang, atau Bekasi. Sementara alternatif ketiga, ibu kota dipindahkan ke luar Pulau Jawa.

Perlu Kesadaran Masyarakat

KOMPAS / TOTOK WIJAYANTO
KOMPAS / TOTOK WIJAYANTO
Wacana untuk memidahkan ibu kota telah muncul bahkan sejak era Presiden Soekarno. Tahun demi tahun, maraknya pembagunan ditambah populasi pertambahan kendaraan bermotor yang terus meningkat, sukses membuat jalan makin padat merayap.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun