Akal sangat sangat terbatas kemampuannya. Maka itu tak jauh
jangkauannya, apa lagi mengenai sesuatu yang tak berujung
dan tak berpangkal, seperti Zat Allah Tuhan Yang Maha Esa.
Kita tak dapat mengenal Tuhan dengan akal, maka kita akan
mengenal-Nya dengan hati nurani. Adapu buktinya antara lain :
Kita selalu mengharapkan keadilan, karena adanya hakim adil.
Kita memerlukan air, karena adanya air.
Kata Aristoteles, Profesor Yunani yang kenamaan, tentang
hukum sebab dan akibat, antara lain : "Kursi terbuat dari kayu.
Kayu dari pohon. Pohon berasal dari bibit. Bibit dari petani".
Setelah menjajagi mata rantai sebab dan akibat itu, Profesor
Aristoteles mengakui akan terhenti pada suatu sebab yang
tidak disebabkan (tiada penyebabnya). Suatu sebab pertama,
penggerak pertama yang tidak memerlukan penggerak. Dan
pencipta yang tidak diciptakan. Yang demikian itu, adalah
Allah Tuhan Yang Maha Esa.Â
Kata Ibnu Arabi menjawab pertanyaan "Siapakah yang
menjadikan atau menciptakan Tuhan Yang Maha
Pencipta itu?".Â
"Pertanyaan tersebut takkan dikeluarkan kecuali dari orang
yang tidak sehat pikirannya. Cahaya adalah bukti adanya siang.
Dan siang itu tidak dibenarkan dijadikan bukti adanya cahaya.
Begitulah Allah Tuhan Yang Maha Esa, Yang Maha Pencipta
tak dapat dibalik pembuktiannya".
Allah merupakan bukti. Bukti tidak perlu dibuktikan. Dia
merupakan haq yang nyata. Dia tampak pada segala sesuatu,
pada aturan-aturan, pada keindahan alam, pada hukum-
hukum dan lain-lain. Dia tampak pada daun-daun pohon
dan tumbuh-tumbuhan, pada bulu burung merak, pada
sayap kupu-kupu.Â
Tampak pula pada wangi bunga-bunga, pada aroma kopi,
pada syair-syair puisi. Dia tampak pada tata surya, pada
planet-planet dan cara hidup seluruh makhluk dengan
teratur dan rapihnya.
"Apakah semua ini terjadi secara kebetulan?"Â
*sumber : Dialog Muslim dan Atheis, oleh : DR. Mustafa Mahmud.Â
Singosari, 14 Juli 2019
@J.Barathan.
 Â
Â
 Â