Mohon tunggu...
Noer Ima Kaltsum
Noer Ima Kaltsum Mohon Tunggu... Guru - Guru Privat

Ibu dari dua anak dan suka menulis

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Ma, Mengapa Kita Tak Dapat Bingkisan Lebaran?

5 Juli 2015   13:52 Diperbarui: 5 Juli 2015   13:52 1177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Parcel Lebaran/Tribunnews

Ma, Mengapa Kita Tak Dapat Bingkisan Lebaran?

Sore ini putri saya minta izin mau ke Tawangmangu bersama teman SMP-nya. Saya memperbolehkan karena Fai berjanji akan pulang secepatnya. Saya berpesan untuk hati-hati di jalan dan tidak usah ngebut. Pelan-pelan saja naik motornya. Yang penting sampai tujuan dengan selamat dan pulang sebelum maghrib.

Ketika Fai dijemput temannya, saya minta dibawakan seledri. Seledri itu nanti untuk pelengkap soto yang akan dipakai untuk buka puasa di rumah. Fai setuju. Setelah Fai pergi, saya mulai beraktifitas di dapur. Kebetulan Ayah dan si kecil pergi. Hari ini saya harus sabar di dapur, maklum kompor yang biasa dipakai rusak. Dalam keadaan darurat saya menggunakan kompor jatah dari pemerintah. Kompor klasik, dengan nyala yang tidak bisa besar walau sudah maksimal.

Akhirnya selesai juga masaknya. Fai pulang dari Tawangmangu sambil senyum-senyum, sepertinya menahan geli. Saya Cuma membatin. Fai salah mencabut tanaman!

“Mama, aku salah mengambil tanaman. Ternyata yang aku cabut bukan seledri melainkan wortel.”

“Dari jauh mama juga tahu. Daunnya saja beda!”

“Padahal tadi waktu lewat Ngargoyoso ada tanaman seledri lo.”

“Kok kamu tidak mengambil?”

“Habis kasihan temanku kalau berhenti terus.”

“Walah, sudah sampai sana kok ya nggak mau membawakan pesanannya mama to, Nok.”

Setelah terdengar suara azan maghrib, saya dan Fai berbuka puasa. Menunya adalah soto dengan taburan bawang merah goreng dan irisan seledri layu sisa sayuran kemarin. Saya sangat bersyukur Ramadhan tahun ini berbeda dengan tahun sebelumnya. Sebelumnya saya harus memenuhi suami dan Fai untuk membuat aneka makanan dan kolak/yang segar-segar. Ramadhan tahun ini no kolak. Kami berbuka cukup dengan air teh dan makan seadanya. Saya coba menerapkan Ramadhan tidak dengan hidangan yang justeru berlebihan dibanding selain Ramadhan.

00000

Malam hari tiba-tiba saya dikejutkan pertanyaan putriku.

“Mama, kok kita tidak dapat bingkisan lebaran?”

Wajar Fai menanyakan ini. Tahun lalu suami juga tidak mendapatkan bingkisan lebaran seperti sebelumnya. Akan tetapi tahun lalu Fai tidak menanyakan itu.

“Tahun kemarin ayah juga tidak membawa bingkisan seperti biasanya. Biasanya memang ayah membawa bingkisan yang berisi gula, the, sirup, wafer dan lain-lain. Lo, mama belum cerita ya? Ayah mendapatkan perhiasan gelang, Nok. Tahun lalu dapat cincin.”

Saya menunjukkan perhiasan yang kami miliki. Ya, meskipun tidak dapat bingkisan lebaran, tapi mendapat ganti yang lain. Bagi saya ini malah bermanfaat. Bisa disimpan sebagai tabungan. Suatu saat bila kita membutuhkan uang perhiasan tersebut bisa dijual. Bandingkan dengan bahan makanan/minuman, yang kemudian habis.

“Nok, tak usah risau bila tak mendapatkan bingkisan lebaran. Banyak juga orang yang tidak mendapatkan bingkisan lebaran/THR. Kalau ayah dan mama mendapat THR sebenarnya itu bukan tunjangan hari raya. THR ayah dan mama adalah tabungan hari raya. Uang kita sendiri. Tiap bulan kita menabung. Lihat buruh harian, pemulung, tukang becak dan lain-lain. Mereka tidak dapat THR. Mereka juga tenang dalam menghadapi lebaran. Untuk bingkisan lebaran mungkin mereka mendapatkan dari para dermawan. Tapi mereka tetap khusyu’ menjalankan ibadah.”

Saya mulai berbicara panjang lebar pada Fai yang sekarang sudah masuk di bangku SMA. Menyisihkan uang untuk biaya sekolah lebih utama daripada untuk membeli barang-barang yang tidak begitu penting menyambut lebaran.

Setelah memasuki minggu ketiga bulan Ramadhan ini banyak orang yang menulis status tentang THR di facebook. Mungkin ini yang menyebabkan anak-anak ikut-ikutan menuntut macam-macam kepada orang tuanya. Anak-anak tidak mau tahu orang tuanya dapat THR atau tidak. Trennya status minggu ini lagi THR. Orang tua dan anak-anak jadi latah. Mereka ikut-ikutan memosting status dengan foto segepok uang. Atau gambar orang meneropong dengan komen THR juga.

Ya, semua suka-suka orang. Kita tak bisa melarang orang lain dengan postingannya. Tapi kita sebagai orang tua punya kewajiban mengingatkan kepada anak-anak kita. Tak perlu latah dan berlebihan.

Semoga memberikan manfaat.

Karanganyar, 5 Juli 2015

Ini kisah saya tentang Ramadhan dan menjelang lebaran tahun ini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun