Di setiap pom bensin, percakapan tentang harga bensin kini punya warna baru. Bukan lagi soal naik atau turun, tapi tentang campuran baru dalam bahan bakar lama. Pemerintah berencana menerapkan kebijakan E10, yaitu mencampur 10% bioetanol ke dalam seluruh bensin yang dijual di Indonesia.
Sekilas, ini terdengar seperti kabar baik, sebuah langkah hijau menuju kemandirian energi, sebuah simbol peradaban baru yang lebih ramah lingkungan. Namun di lapangan, terutama di bengkel-bengkel dan forum pengguna kendaraan, wacana ini justru memunculkan satu pertanyaan yang sederhana tapi tajam: "Apakah tangki saya siap?"
Di sinilah menariknya kebijakan energi. Ia sering kali datang dari langit visi besar, tetapi jatuh di bumi yang penuh kekhawatiran kecil, karat, injektor, dan saku pengendara.
Etanol sejatinya bukan pendatang baru dalam dunia energi. Di Amerika Latin, terutama Brasil, bioetanol telah menjadi tulang punggung mobilitas rakyat sejak dekade 1980-an. Brasil bahkan berani menggunakan E100 (100% etanol) pada kendaraan khusus. Di Amerika Serikat dan Eropa, E10 telah lama menjadi standar, berkat sistem bahan bakar yang sudah disesuaikan dengan teknologi etanol.
Indonesia memilih jalur bertahap. Setelah sempat menguji E5, kini pemerintah berambisi menaikkan kadar bioetanol menjadi 10%. Targetnya jelas: mengurangi ketergantungan pada impor BBM fosil, menghemat devisa hingga Rp 40,9 triliun per tahun, dan meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) hingga 1,2%.
Secara makro, ini adalah kalkulasi yang nyaris tak terbantahkan. Setiap liter etanol dalam negeri yang menggantikan bensin impor adalah satu tetes kedaulatan yang diselamatkan. Dalam bahasa ekonomi, kita menahan "kebocoran devisa", uang yang biasanya mengalir ke luar negeri untuk membeli minyak, kini berputar di dalam negeri, menumbuhkan industri pertanian dan energi terbarukan.
Namun, sebagaimana setiap kebijakan publik yang menyentuh dapur rakyat, keberhasilan tak hanya ditentukan oleh rumus makro, melainkan oleh rasa aman mikro: sejauh mana masyarakat percaya bahwa kebijakan ini tidak akan merusak mesin atau menambah biaya hidup sehari-hari.
Masalah utamanya ada pada sifat kimia etanol. Cairan ini higroskopis, mudah menyerap air dari udara. Dalam iklim tropis seperti Indonesia, hal ini berarti risiko bertambahnya kadar air di dalam tangki dan saluran bahan bakar. Air yang bercampur etanol dapat memicu korosi atau karat pada logam-logam kendaraan, terutama model lama yang belum didesain kompatibel dengan biofuel.
Kendaraan keluaran baru (setelah 2010) umumnya sudah memiliki sistem bahan bakar yang lebih tahan terhadap E10. Tapi populasi kendaraan lawas di Indonesia masih sangat besar, dan justru mendominasi jalan raya. Dari mobil tua hingga motor bebek warisan keluarga, semuanya kini menjadi bagian dari percobaan besar energi hijau ini.
Selain karat, persoalan efisiensi juga muncul. Energi yang terkandung dalam etanol lebih rendah daripada bensin murni, sekitar 23,4 MJ/liter dibanding 39,2 MJ/liter. Artinya, campuran E10 memiliki energi sekitar 3,2% lebih rendah. Hasilnya, jarak tempuh kendaraan bisa turun sekitar 2 kilometer per liter. Dalam hitungan kasar, itu bisa berarti tambahan biaya sekitar Rp 400 per liter.