Di ruang sidang paripurna DPR yang penuh sorot kamera, Menteri Keuangan Purbaya melangkah ke podium seperti seorang koki yang hendak memamerkan resep rahasia. Namun yang ia sajikan bukan menu kuliner, melainkan menu fiskal: Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026, resep ekonomi pertama era Presiden Prabowo Subianto. Di balik tumpukan angka triliunan rupiah, ia mengusung sebuah nama , Sumitronomics, tiga pilar yang dijanjikan akan membawa Indonesia tancap gas: pertumbuhan tinggi, pemerataan, dan stabilitas nasional.
Angka yang ditembakkan Purbaya sontak membuat banyak ekonom mengerutkan kening: pertumbuhan ekonomi 8 persen dalam jangka menengah. Sebuah target yang berani, bahkan nyaris nekad, mengingat Indonesia selama dua dekade terakhir nyaman di kisaran 4-6 persen.
"Korea Selatan, Singapura, dan Tiongkok pernah mencapainya," katanya mantap, seolah ingin meyakinkan bahwa sejarah berpihak pada yang berani.
Benar, negara-negara itu sempat menikmati "keajaiban pertumbuhan" sebelum naik kelas menjadi negara maju. Tapi sejarah juga mencatat bahwa keajaiban itu tidak jatuh dari langit.
Korea Selatan menempuh reformasi industri yang brutal, Singapura melakukan deregulasi radikal, dan Tiongkok menggabungkan investasi infrastruktur masif dengan disiplin fiskal ketat. Apakah Indonesia kini berada di titik start yang sama? Pertanyaan itu menggantung di udara, tak kalah penting dari angka yang dipajang di layar.
Untuk mengejar mimpi besar itu, APBN 2026 dirancang bak mesin turbo. Total belanja negara dipatok Rp3.842,7 triliun, sementara pendapatan ditargetkan Rp3.153,6 triliun. Artinya, pemerintah siap menanggung defisit Rp689,1 triliun atau sekitar 2,68 persen dari PDB.
"APBN bukan sekadar kantong belanja, tapi pengungkit pertumbuhan," tegas Purbaya.
Pemerintah menyiapkan tax holiday, potongan pajak riset, hingga pemindahan dana kas Rp200 triliun dari Bank Indonesia ke bank-bank Himbara agar kredit bisa mengalir lebih deras ke sektor riil. Ibarat memindahkan air dari tangki raksasa ke keran-keran rumah, uang negara diharapkan tidak diam saja di brankas, tetapi cepat menyiram lahan ekonomi yang haus modal.
Agenda belanja prioritas menggabungkan janji kampanye dengan kebutuhan struktural. Program makanan bergizi gratis, ikon kampanye Prabowo, mendapat alokasi Rp335 triliun. Pendidikan menjadi jawara dengan Rp769,1 triliun, dana terbesar sepanjang sejarah, untuk gaji guru hingga beasiswa. Kesehatan diguyur Rp244 triliun, ketahanan pangan Rp164,7 triliun, dan ketahanan energi Rp402,4 triliun. Belanja sosial pun tak ketinggalan, Rp508,2 triliun disiapkan agar jaring pengaman kemiskinan lebih kuat. Di atas kertas, angka-angka ini seperti perayaan: negara hadir, rakyat diperhatikan.
Namun setiap triliun punya konsekuensi. Defisit yang melebar berarti utang baru, dan utang berarti kewajiban membayar bunga. Pertanyaannya, apakah lonjakan belanja ini cukup menyalakan mesin pertumbuhan delapan persen atau justru menyiapkan bom waktu fiskal? APBN bukan sekadar tabel Excel raksasa, tapi harapan yang menempel di dapur keluarga, ruang kelas, dan sawah-sawah desa. Pemerintah bisa menulis angka setinggi langit, tetapi dampaknya akan diukur dari seberapa cepat uang itu menyentuh tanah.
Sumitronomics sendiri sebetulnya lebih dari sekadar kata keren. Ia adalah branding politik fiskal, cara pemerintah menyuntikkan identitas ke dalam kebijakan ekonomi. Dalam pidato panjangnya, Purbaya menyebut pilar pemerataan sebagai fondasi yang sama pentingnya dengan pertumbuhan. Ia ingin memastikan bahwa setiap tambahan PDB terasa di kantong rakyat, bukan hanya di laporan laba korporasi. "Pertumbuhan tanpa pemerataan hanya memperbesar jurang," katanya, menutup kalimat dengan nada serius.
Namun, sejarah Indonesia menunjukkan pemerataan bukan pekerjaan semalam. Reformasi agraria mandek, pajak progresif belum optimal, dan ketimpangan antardaerah masih menganga. Di sinilah Sumitronomics akan diuji: apakah ia hanya janji manis atau benar-benar resep baru yang bekerja.
Tak hanya angka dan konsep, Purbaya juga menyelipkan humor segar yang membuat sidang kaku menjadi cair. Menyinggung "tantangan Pak Said", salah satu anggota dewan yang meminta tambahan subsidi pangan, ia berkelakar, "Kalau masih kurang, kita tambah lagi," disambut tawa seisi ruangan. Gaya ini memberi kesan pemerintah percaya diri namun tetap siap diawasi. "Kalau kebanyakan nganggur, tolong kasih tahu," katanya soal dana anggaran yang tidak terserap, seperti orang tua yang meminta anaknya rajin menabung tapi tetap bisa jajan.
Di luar gedung DPR, realitas global menunggu dengan wajah dingin. Perlambatan ekonomi Tiongkok bisa menekan ekspor, suku bunga Amerika yang masih tinggi bisa mengguncang nilai tukar, dan ketegangan geopolitik di Laut Cina Selatan bisa memicu volatilitas pasar. Target inflasi 2,5 persen, suku bunga SBN 6,9 persen, dan kurs Rp16.500 per dolar AS mungkin terlihat rapi dalam presentasi, tetapi siap diuji oleh badai eksternal. Sejarah pun mengajarkan bahwa krisis kerap datang bukan dari kebijakan domestik, melainkan dari guncangan global yang tak terduga.
Meski begitu, APBN 2026 tetap menyisakan alasan untuk optimisme. Besarnya anggaran pendidikan dan kesehatan adalah investasi jangka panjang yang tak ternilai. Fokus pada ketahanan pangan dan energi menegaskan kesadaran bahwa kedaulatan ekonomi dimulai dari perut dan listrik yang menyala. Jika deregulasi perizinan benar-benar memangkas hambatan, dunia usaha bisa bergerak lebih cepat, dan pertumbuhan 8 persen tak lagi terdengar seperti mimpi.
Seorang pelaku UMKM di Surabaya, misalnya, berharap aturan positif fiktif yang memungkinkan izin otomatis disetujui jika tidak diproses tepat waktu, benar-benar dijalankan. "Kalau perizinan cepat, kami bisa ekspansi tanpa harus kenal orang dalam," ujarnya singkat.
Pada akhirnya, APBN hanyalah alat, bukan tujuan. Sumitronomics akan dinilai bukan dari seberapa keren namanya, tetapi dari seberapa nyata dampaknya bagi kehidupan sehari-hari. Kita bisa berdebat soal angka, menimbang risiko fiskal, atau membandingkannya dengan Korea Selatan, tetapi ujungnya tetap sama: rakyat menunggu bukti. Apakah petani bisa menjual gabah dengan harga layak? Apakah guru honorer mendapat gaji yang manusiawi? Apakah UMKM benar-benar bisa berkembang tanpa "pelicin"?
Purbaya menutup pidatonya dengan doa agar Indonesia diberkahi keberanian dan keberhasilan. Doa itu penting, tapi keberanian yang sejati bukan sekadar menargetkan angka fantastis, melainkan berani mengeksekusi kebijakan, menertibkan birokrasi, dan mengakui bila arah perlu dikoreksi. Sumitronomics mungkin akan tercatat sebagai strategi brilian yang membawa Indonesia naik kelas, atau sekadar jargon kreatif yang cepat pudar seperti banyak slogan sebelumnya.
Di sinilah publik perlu ikut bermain. Sebab kemajuan bukan hanya soal pemerintah yang berani bermimpi, tetapi juga masyarakat yang berani mengawasi. Pertumbuhan 8 persen hanya berarti jika ia diterjemahkan menjadi lapangan kerja, pangan murah, dan kesempatan yang merata. Jika tidak, Sumitronomics hanya akan menjadi cerita manis yang kita kenang seperti kembang api, indah sekejap, lalu lenyap di udara.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI