Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... ASN

Si bodoh yang tak kunjung pandai

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Sumitronomics dan Janji 8 Persen: APBN 2026 Antara Mimpi Besar dan Ujian Realitas

23 September 2025   14:50 Diperbarui: 24 September 2025   08:04 249
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sidang Paripurna DPR, sumber: Kompas.com

Sumitronomics sendiri sebetulnya lebih dari sekadar kata keren. Ia adalah branding politik fiskal, cara pemerintah menyuntikkan identitas ke dalam kebijakan ekonomi. Dalam pidato panjangnya, Purbaya menyebut pilar pemerataan sebagai fondasi yang sama pentingnya dengan pertumbuhan. Ia ingin memastikan bahwa setiap tambahan PDB terasa di kantong rakyat, bukan hanya di laporan laba korporasi. "Pertumbuhan tanpa pemerataan hanya memperbesar jurang," katanya, menutup kalimat dengan nada serius.

Namun, sejarah Indonesia menunjukkan pemerataan bukan pekerjaan semalam. Reformasi agraria mandek, pajak progresif belum optimal, dan ketimpangan antardaerah masih menganga. Di sinilah Sumitronomics akan diuji: apakah ia hanya janji manis atau benar-benar resep baru yang bekerja.

Tak hanya angka dan konsep, Purbaya juga menyelipkan humor segar yang membuat sidang kaku menjadi cair. Menyinggung "tantangan Pak Said", salah satu anggota dewan yang meminta tambahan subsidi pangan, ia berkelakar, "Kalau masih kurang, kita tambah lagi," disambut tawa seisi ruangan. Gaya ini memberi kesan pemerintah percaya diri namun tetap siap diawasi. "Kalau kebanyakan nganggur, tolong kasih tahu," katanya soal dana anggaran yang tidak terserap, seperti orang tua yang meminta anaknya rajin menabung tapi tetap bisa jajan.

Di luar gedung DPR, realitas global menunggu dengan wajah dingin. Perlambatan ekonomi Tiongkok bisa menekan ekspor, suku bunga Amerika yang masih tinggi bisa mengguncang nilai tukar, dan ketegangan geopolitik di Laut Cina Selatan bisa memicu volatilitas pasar. Target inflasi 2,5 persen, suku bunga SBN 6,9 persen, dan kurs Rp16.500 per dolar AS mungkin terlihat rapi dalam presentasi, tetapi siap diuji oleh badai eksternal. Sejarah pun mengajarkan bahwa krisis kerap datang bukan dari kebijakan domestik, melainkan dari guncangan global yang tak terduga.

Meski begitu, APBN 2026 tetap menyisakan alasan untuk optimisme. Besarnya anggaran pendidikan dan kesehatan adalah investasi jangka panjang yang tak ternilai. Fokus pada ketahanan pangan dan energi menegaskan kesadaran bahwa kedaulatan ekonomi dimulai dari perut dan listrik yang menyala. Jika deregulasi perizinan benar-benar memangkas hambatan, dunia usaha bisa bergerak lebih cepat, dan pertumbuhan 8 persen tak lagi terdengar seperti mimpi.

Seorang pelaku UMKM di Surabaya, misalnya, berharap aturan positif fiktif yang memungkinkan izin otomatis disetujui jika tidak diproses tepat waktu, benar-benar dijalankan. "Kalau perizinan cepat, kami bisa ekspansi tanpa harus kenal orang dalam," ujarnya singkat.

Pada akhirnya, APBN hanyalah alat, bukan tujuan. Sumitronomics akan dinilai bukan dari seberapa keren namanya, tetapi dari seberapa nyata dampaknya bagi kehidupan sehari-hari. Kita bisa berdebat soal angka, menimbang risiko fiskal, atau membandingkannya dengan Korea Selatan, tetapi ujungnya tetap sama: rakyat menunggu bukti. Apakah petani bisa menjual gabah dengan harga layak? Apakah guru honorer mendapat gaji yang manusiawi? Apakah UMKM benar-benar bisa berkembang tanpa "pelicin"?

Purbaya menutup pidatonya dengan doa agar Indonesia diberkahi keberanian dan keberhasilan. Doa itu penting, tapi keberanian yang sejati bukan sekadar menargetkan angka fantastis, melainkan berani mengeksekusi kebijakan, menertibkan birokrasi, dan mengakui bila arah perlu dikoreksi. Sumitronomics mungkin akan tercatat sebagai strategi brilian yang membawa Indonesia naik kelas, atau sekadar jargon kreatif yang cepat pudar seperti banyak slogan sebelumnya.

Di sinilah publik perlu ikut bermain. Sebab kemajuan bukan hanya soal pemerintah yang berani bermimpi, tetapi juga masyarakat yang berani mengawasi. Pertumbuhan 8 persen hanya berarti jika ia diterjemahkan menjadi lapangan kerja, pangan murah, dan kesempatan yang merata. Jika tidak, Sumitronomics hanya akan menjadi cerita manis yang kita kenang seperti kembang api, indah sekejap, lalu lenyap di udara.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun