Mohon tunggu...
Hilman I.N
Hilman I.N Mohon Tunggu... ASN

Si bodoh yang tak kunjung pandai

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Pilihan

Antara Bingkisan dan Integritas: Menjaga Profesionalisme di Tengah Budaya Berbagi

14 Maret 2025   15:14 Diperbarui: 14 Maret 2025   16:31 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
anti gratifikasi, sumber:KPK.go.id

Momen perayaan selalu menghadirkan suasana yang hangat. Entah itu perayaan keagamaan, hari besar nasional, atau momen spesial lainnya, ada satu hal yang kerap menjadi tradisi: berbagi. Di kantor, rekan kerja saling memberikan bingkisan. Atasan mengirimkan hadiah kepada bawahan, sebaliknya, bawahan menunjukkan rasa hormat dengan memberikan sesuatu kepada pimpinan. Tak jarang, mitra kerja atau rekanan juga ikut serta, mengirimkan parsel sebagai bentuk apresiasi.

Di balik tradisi ini, ada pertanyaan mendasar yang kerap kali terabaikan: kapan sebuah hadiah menjadi sekadar ungkapan kasih, dan kapan ia berubah menjadi sesuatu yang memiliki konsekuensi lebih besar? Di lingkungan profesional, batas ini tidak selalu jelas. Budaya berbagi yang melekat di masyarakat sering kali membuat kita sulit membedakan mana pemberian yang wajar dan mana yang dapat menimbulkan konflik kepentingan.

Dalam berbagai regulasi tentang etika profesional, baik dalam pemerintahan maupun sektor swasta, aturan mengenai gratifikasi selalu menjadi perhatian. Prinsip dasarnya sederhana: segala bentuk pemberian yang terkait dengan jabatan, posisi, atau pengaruh yang dimiliki oleh seseorang dalam institusi tertentu, berpotensi menimbulkan bias dalam pengambilan keputusan. Bukan semata-mata soal jumlah atau bentuknya, tetapi lebih kepada hubungan yang tercipta setelahnya.

anti gratifikasi, sumber:KPK.go.id
anti gratifikasi, sumber:KPK.go.id

Pada awalnya, mungkin hanya sekadar bingkisan makanan atau hadiah kecil. Namun, dari situlah sering kali terbuka celah bagi hubungan transaksional yang lebih besar. Hari ini mungkin hanya parsel, esok bisa berkembang menjadi sesuatu yang lebih serius. Dan ketika sudah menjadi kebiasaan, sulit untuk menolak tanpa menimbulkan rasa tidak enak.

Masyarakat kita dikenal dengan budaya gotong royong dan kekeluargaan yang erat. Memberi hadiah, berbagi makanan, atau sekadar berbasa-basi dengan bingkisan sudah menjadi bagian dari tradisi sosial. Namun, dalam lingkungan kerja yang profesional, terutama yang melibatkan pengambilan keputusan strategis, penerimaan hadiah dapat berisiko. Jika seorang pegawai menerima bingkisan dari pihak yang memiliki kepentingan terhadap keputusannya, apakah ia masih bisa bersikap sepenuhnya objektif?

Dilema ini sering kali membuat banyak orang berada dalam posisi serba salah. Di satu sisi, menolak hadiah dapat dianggap sebagai tindakan yang tidak sopan atau bahkan merusak hubungan baik. Di sisi lain, menerimanya bisa membawa konsekuensi etis dan hukum. Oleh karena itu, semakin banyak institusi yang mengimbau para pekerjanya untuk menolak gratifikasi dalam bentuk apa pun, terutama saat momen perayaan yang rawan dijadikan celah.

Namun, penolakan saja tidak cukup. Yang lebih penting adalah membangun kesadaran bahwa profesionalisme bukan hanya soal kepatuhan terhadap aturan tertulis, tetapi juga tentang menjaga kepercayaan dan kredibilitas. Menolak gratifikasi bukan berarti menghilangkan nilai berbagi, tetapi menempatkan segala sesuatu pada porsi yang tepat. Jika ingin berbagi, ada cara lain yang lebih aman dan tidak menimbulkan konsekuensi etis, misalnya dengan menyalurkan bantuan kepada yang benar-benar membutuhkan, bukan kepada individu tertentu yang memiliki posisi strategis.

Banyak organisasi telah menetapkan mekanisme pelaporan gratifikasi untuk memastikan transparansi. Jika ada hadiah yang diterima dan sulit ditolak, biasanya ada prosedur tertentu untuk melaporkannya dan memastikan bahwa penerimaannya tidak menimbulkan konflik kepentingan. Beberapa institusi juga menerapkan kebijakan bahwa bingkisan berupa makanan yang mudah rusak dapat disalurkan ke panti asuhan atau lembaga sosial sebagai bentuk donasi.

Perubahan budaya ini tentu tidak bisa terjadi dalam semalam. Menghilangkan kebiasaan menerima hadiah di lingkungan kerja bukan perkara mudah, terutama ketika hal tersebut telah menjadi tradisi yang mengakar. Namun, setiap perubahan selalu dimulai dari kesadaran individu. Memilih untuk tidak menerima gratifikasi berarti turut berkontribusi dalam membangun ekosistem kerja yang lebih bersih, profesional, dan bebas dari konflik kepentingan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun