Di puncak bukit yang jauh dari hiruk-pikuk kota, tenda-tenda besar berdiri megah. Lampu-lampu yang tergantung di antara pepohonan menjadikan tempat itu seperti negeri dongeng. Para pemimpin dari berbagai penjuru negeri berkumpul di sana, mengikuti sebuah retret yang katanya akan membentuk masa depan. Di luar pagar kemewahan itu, angin malam membawa suara yang lebih sunyi, keluhan dari mereka yang tak diundang ke perjamuan ini.
Di antara para peserta, ada seorang kepala daerah muda bernama Arya. Ia baru saja terpilih, penuh semangat untuk membuktikan bahwa kepemimpinan bukan sekadar tentang kekuasaan, melainkan tanggung jawab. Namun, sejak ia tiba di retret ini, ada sesuatu yang mengusiknya. Bukan hanya tentang makanan mewah yang tersaji, atau fasilitas yang membuatnya bertanya-tanya seberapa banyak anggaran yang dihabiskan, tetapi juga tentang keheningan yang terasa ganjil.
Malam pertama, saat para pemimpin lain tertawa dan berdiskusi dalam suasana santai, Arya memilih untuk berjalan-jalan sendiri di sekitar area perkemahan. Dari kejauhan, ia melihat seorang pria tua berdiri di luar pagar, memandang ke dalam dengan mata yang seolah menyimpan banyak cerita. Rasa penasaran membawanya mendekat.
"Pak, sedang apa di sini malam-malam?" tanya Arya.
Pria itu menatapnya lama sebelum menjawab. "Aku ingin melihat bagaimana pemimpin di negeri ini ditempa."
Arya terdiam. Ada nada sinis dalam suara pria itu. Ia mendekat, melewati pagar batas perkemahan. "Apa menurut Bapak acara ini tidak bermanfaat?"
Pria tua itu menghela napas. "Tentu bermanfaat. Hanya saja, manfaatnya mungkin bukan untuk rakyat. Pernahkah kau bertanya, Nak, berapa banyak uang yang dihabiskan untuk acara ini? Sementara di desa-desa, banyak jalan yang rusak, banyak anak yang kesulitan sekolah, dan banyak orang tua yang bertanya-tanya apakah esok mereka masih bisa makan?"
Arya terdiam. Kata-kata itu seperti tamparan. Ia sendiri sudah memiliki pertanyaan serupa, tetapi mendengarnya dari mulut seseorang di luar pagar kemewahan ini membuatnya lebih nyata.
"Mungkin mereka ingin memastikan pemimpin daerah memiliki pemahaman yang lebih baik," Arya mencoba membela.
Pria tua itu tersenyum samar. "Pemimpin yang baik tidak perlu diajarkan di tempat seperti ini. Mereka harusnya turun ke jalan, mendengarkan sendiri suara rakyat, bukan mendengar teori dari balik meja."