Mohon tunggu...
nody arizona
nody arizona Mohon Tunggu... -

Bukan pejabat yang maha kuasa

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Mesin Pendidikan Kita

27 Mei 2011   07:22 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:09 125
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Pendidikan untuk orang tertindas [adalah] pendidikan yang harus dilaksanakan dengan, bukan untuk, kaum tertindas (individu atau manusia secara keseluruhan) dalam perjuangan tanpa henti untuk meraih kembali kemanusiaan mereka. Pendidikan ini membuat penindasan dan penyebabnya menjadi obyek refleksi kaum tertindas, dan dari refleksi itulah lahir pembebasan. (Paulo Freire)[i].

SESEORANG dengan sedikit keraguan-raguannya mencoba mengutarakan pendapatnya di depan forum Dewan Perwakilan Rakyat. Pemikirannya perihal pendidikan yang sepertinya telah lama mengendap di dadanya ia sampaikan dengan penuh kehati-hatian.

Ia pun memulai kalimat pertamanya. Meskipun seorang awam di bidang pendidikan, saya memberanikan diri mengambil bagian di dalam pertukaran pikiran atas dasar keyakinan mendalam bahwa dalam analisa terakhir pendidikan hanyalah alat menuju tujuan–dan bahwa dia tidak akan bergerak lebih dari itu untuk mencapai tujuan dalam diri sendiri.

“Betapapun jua kepentingan dan kebutuhan masyarakat adalah yang terutama dan tentang itu saya ingin mengatakan sepatah dua kata sekarang,” ia melanjutkan perkataannya. Menurutnya, masyarakat yang sekarang diusahakan pemerintah untuk dibangun cepat melalui pendidikan memiliki dua ciri penting. Pertama, masyarakat ini … adalah suatu masyarakat yang memiliki pertentangan-pertentangan tajam; ia adalah konglomerasi dari suatu sistem equilibrium yang labil. Kedua, negeri ini miskin.

Bilamana kita meneliti sistem pendidikan kita, kita lihat adanya kekurangan justru pada dua masalah pokok ini. Dengan nada yang lebih meyakinkan dia melemparkan pertanyaan, “Apakah pendidikan meningkatkan ketidakpuasan dan mempertajam pertentangan? Apakah pendidikan turut mempertajam kontras sosio-ekonomis sedemikian rupa sehingga melonggarkan sendi-sendi persatuan?”

“Jangan salah paham terhadap saya,” cergahnya. “Saya yakin bahwa pendidikan membawa pembangunan, meningkatkan harkat pribadi dan nasionalisme. Saya sadar akan hal ini dan saya hargai. Saya sadar bahwa justru karena ini akan datang perjuangan … yang membawa kemajuan. Tanpa kesadaran akan hal ini saya tidak akan berdiri di depan saudara dan berjuang.”

Orang itu rupanya cemas akan benih-benih tumbuhnya gerakan perjuangan yang dipimpin oleh intelektual-intelektual yang justru lahir dari sistem pendidikan yang dijalankan pemerintah. Pada hemat penglihatannya, pendidikan bukanlah jimat penyembuh segala untuk memperbaiki nasib bangsa. Intelektualisme telah berakar kuat dalam masyarakat. Dan ia tidak menentang perkembangan intelektual pada diri setiap orang, akan tetapi bilamana ditengok di negeri-negeri di mana pendidikan pada hakekatnya lebih praktis, dan terbatas pada apa yang dibutuhkan masyarakat, kita lihat bahwa hasil pendidikan jauh lebih baik dari sini, di mana pendidikan semata-mata diarahkan untuk menimbun pengetahuan sebanyak-banyaknya.

“Dan kita pun harus bertanya kepada diri kita sendiri apakah kita berada di jalan yang benar  dalam pendidikan kita sejauh menyangkut kebutuhan ekonomi?” Sampai titik ini seorang yang ragu-ragu tadi telah sampai pada pokok pembicaraannya. “Pendidikan baru berguna bagi ekonomi bilamana dia mampu memperkuat kehidupan bisnis dengan menghasilkan tenaga-tenaga pribumi yang memegang setiap jenis pekerjaan di dalam industri, perdagangan, dan perkapalan atas peri yang sama seperti orang Eropa. Namun, di negeri ini semuanya hanya cita-cita belaka … karena kita berada di jalan yang salah, dari mana harus berbalik secepat mungkin. Karena itu, harus kita hubungkan pendidikan dengan kehidupan praktis dan menyesuaikan dengan kebutuhan ekonomi negeri ini,” pungkasnya.

Memang benar seseorang yang menyampaikan pendapat itu, yang bernama  J. Meyer Ranneft, bukan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia melainkan anggota Volksraad (Dewan Perwakilan Rakyat) Hindia Belanda[ii]. Tetapi dari materi argemuntasinya, kita dapat melihat ke mana arah kebijakan pendidikan pemerintah kolonial Belanda. Sayangnya, pendapat Ranneft  tertanggal 22 Juni 1927 itu yang justru menjadi cerminan kebijakan pendidikan di negeri ini sampai sekarang, meski telah memproklamirkan kemerdekaannya 66 tahun silam dan bercita-cita mencerdaskan kehidupan bangsa serta menyejahterakan rakyatnya.

Sebagaimana paradigma pendidikan yang bertujuan untuk menghubungkan pendidikan dengan dunia bisnis, yang dalam bahasa Ranneft dikatakan, kehidupan praktis dan menyesuaikan dengan kebutuhan ekonomi. Maka pendidikan diarahkan menjadi transfer of training. Di sini siswa diajarkan keahlian-keahlian yang dibutuhkan sektor industri yang ada.

Kita pun bertanya-tanya mengapa pemerintah pada 2009 lalu melalui Menteri Pendidikan, Bambang Sudibyo, sampai tampil dalam iklan di televisi. Para orang tua dirayu untuk menyerahkan anak-anak mereka supaya dididik sebagai tenaga terampil di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK). Iming-iming yang disampaikan dalam iklan tersebut bahwa dengan sekolah di SMK, anak-anak mereka akan diberikan keterampilan yang membuat setiap lulusan siap kerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun