Ah, tapi, kan, itu hanya pendapat saya. Pendapat dari orang yang telah menjadi budak korporat selama lebih dari tiga belas tahun.
Tidak apa-apa. Ada dan tidaknya aturan itu, yang jelas, kita bisa membiasakan diri dan menetapkan pola pikir untuk bekerja seimbang saat bulan Ramadan. Kebiasaan itu, nantinya, bisa kita praktikkan secara mandiri saat bulan-bulan berikutnya.
Sepakat?
Seimbang dalam Beribadah
Selain berpuasa, satu-satunya ibadah yang hanya ada di bulan Ramadan adalah salat tarawih. Salat sunnah yang dikerjakan pada malam hari itu seakan menegaskan kepada kita akan pentingnya berserah diri usai berikhtiar sepanjang hari.
Setelah beraktivitas seharian, kita diingatkan agar tidak lupa dengan Sang Pencipta. Memanjatkan doa dan memohon rida atas segala upaya yang telah kita kerjakan sehari penuh.
Salat tarawih juga menjadi pengingat diri agar tidak alpa meramaikan masjid. Di bulan puasa, terutama pada hari-hari awal puasa, kita bisa mendapati masjid-masjid penuh berisi jamaah yang hendak menunaikan salat tarawih.
Semua menyambut bulan penuh keberkahan dengan hati bahagia. Ada yang rela beli sarung atau baju koko baru untuk bertarawih. Ada pula yang terpanggil jiwanya bikin grup percakapan khusus untuk saling mengingatkan waktu salat tarawih.
Dalam hidup, keseimbangan seperti ini perlu kita jaga. Sebab apa pun yang terjadi dalam diri kita, sejatinya hanya bisa terjadi atas seizin-Nya. Dalam tarawih, kita diingatkan untuk berdoa supaya dimudahkan dalam menempuh ujian kehidupan dan senantiasa diberi petunjuk menapaki jalan kebenaran.
Tugas dan tanggung jawab yang kita miliki bisa jadi menyibukkan kita dengan perkara duniawi sepanjang hari. Lewat salat tarawih di malam hari, semuanya jadi serba seimbang. Tidak berat sebelah, atau condong ke sikap hedonisme.