Mohon tunggu...
Nodievel Steven Kwaitota
Nodievel Steven Kwaitota Mohon Tunggu... singkat

Menyelesaikan pendidikan Sarjana Hukum di Universitas Atma Jaya Makassar. Sekaran berprofesi sebagai Analis Perkara Peradilan di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

20 Tahun Napak Tilas Sang "Guardian of The Constitution", Kritik dan Polemik Mahkamah Konstitusi

27 Juni 2023   14:33 Diperbarui: 27 Juni 2023   14:39 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.kompas.com

Sejak didirikan pada tahun 2003 silam, sebagai salah satu buah manis amandemen undang-undang dasar yang ketiga, Mahkamah Konstitusi telah memberikan warna baru dalam kancah peradilan bangsa Indonesia. Didorong bekal yang sangat fundamental, berdasarkan ketentuan undang-undang nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi sebagaimana telah dibuah oleh Undang-undang nomor 7 tahun 2020, Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi salah satu Lembaga tinggi negara yang paling esensial sekaligus kritikal dalam menjaga stabilitas yudisial di Indonesia. Bagaimana tidak, kewenangan-kewenangan konstitusional yang diemban, menjadi salah satu tonggak penentuan arah kebijakan bangsa. Kewenangan memutus pembubaran partai politik, kewenangan menguji suatu undang-undang terhadap undang-undang dasar (UUD), serta kewenangann memutus sengketa pemilihan umum, adalah sederet tugas dan kewenangan MK yang bukan hanya luhur, namun tentu saja sangat berat. Tak ayal tugas-tugas konstitusional tersebut bermuara pada penyematan julukan "The Guardian of The Constitution" kepada Lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman tersebut.

Selain tugas-tugas yang agung tersebut, penentuan formasi pengisian Hakim konstitusi pada Mahkamah Konstitusi juga merupakan hal yang menarik untuk diitelisik. Bukan tanpa alasan penempatan hakim konstitusi dianggap sebagai hal yang krusial karena mewakili 3 lembaga kekuasaan terbesar di Indonesia, yaitu kekuasan Eksekutif, Legislatif, dan yudikatif. 9 orang hakim konstitusi tersebut secara proposional merupakan usulan dari 3 lembaga tersebut, dengan kuota untuk setiap Lembaga tersebut adalah 3 orang. Prof. Dr. Mohammad Mahfud MD., SH. yang juga pernah menjabat sebagai ketua Mahkamah Konstitusi periode 2008-2013 menegaskan bahwa aturan pengisian jabatan hakim konstitusi tersebut demi menjaga keseimbangan dan mencegah dominasi berlebih suatu Lembaga kekuasaan. Namun hal ini juga dapat menjadi pisau bermata 2, karena dengan pengusulan yang bersifat perwakilan tiap Lembaga tersebut, akan sulit menekankan independensi hakim konstitusi mengingat sistem perwakilan tersebut sarat akan agenda politik.

Political issue inilah yang selama 2 dekade selalu  menjadi momok yang mendegradasi Marwah MK  di mata publik. Mulai dari isu pengujian produk perundang-undangan yang merupakan "pesanan" dari pihak tertentu, intervensi pemilihan ketua Mahkamah Konstitusi, indikasi bocornya putusan MK  sebelum diputus. Terbaru adalah pemberhentian Hakim Konstitusi Aswanto yang dipecat dari jabatannya oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pemecatan ini dilatarbelakangi oleh seringnya Aswanto menggugurkan produk undang-undang dari DPR dalam proses uji undang-undang di Mahkamah Konstitusi. Bahkan hal itu mendapat tanggapan dari Mantan Ketua MK Jimly Asshiddiqie, ia menilai langkah DPR itu berpotensi melanggar undang-undang.

Selain isu kepentingan politik, Mahkamah Konstitusi juga menghadapi badai kritik terkait dengan ketegasannya dalam memutus suatu sengketa konstitusional. Sebagai contoh sikap MK yang menerima permohonan pengujian sistem pemilu terbuka-walaupun pada akhirnya ditolak oleh MK, merupakan Tindakan yang dapat berpotensi melanggar ketentuan Undang-undang Dasar 1945 dan juga undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang pemilihan umum. Teknis penyelenggaraan pemilihan umum telah diatur oleh UUD dan UU pemilu adalah sistem pemilu terbuka, sehingga bukan merupakan kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam memeriksa kelayakan metode penyelenggaraan pemilu tersebut, hal tersebut, merupakan kewenangan Majleis Permusyawaratan Rakyat (MPR) dan DPR. . Seharusnya sebagai penjaga nilai-nilai konstitusi, MK menolak sejak awal permohonan tersebut sehingga tidak terdapat kesan Mahkamah Konstitusi melampaui kewenangan yang telah diamanatkan kepadanya. Polemik yang sempat menghiasi seluruh sudut tanah air adalah polemic pengujian undang-undang nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Putusan akhir yang dijatuhkan oleh MK adalah undang-undang Cipta Kerja tesebut dinyatakan Inkonstitusional Bersyarat, dengan masa perbaikan selama  2 tahun oleh DPR. Istilah "Inkonstitusional Bersyarat" oleh Sebagian pakar dan pengamat hukum tata negara tanah air dianggap tidak memberikan kepastian hukum, karena disatu sisi MK menandaskan bahwa undang-undang tersebut cacat secara formil dan melanggar ketentuan UUD 1945, namun di sisi yang lain MK membiarkan UU tersebut tetap dapat dijalankan selama periode tertentu. Hal ini yang kemudian menimbulkan dualiisme dalam memandang independensi MK. Sederet permasalahan yang telah diuraikan diatas menghasilkan sebuah epilog yang ditunjukan oleh survey yang dilakukan oleh Lembaga Survey Indonesia (LSI) mengenai kepuasan masyarakat terhadap kinerja Lembaga Negara yang menempatkan MK pada posisi ke empat dengan pencapaian kepuasan hanya 60%. Rendahnya nilai kepuasan terhadap MK ini tidak bisa dilepaskan dari sekian banyak polemic yang terjadi di tubuh MK selama 2 dekade terakhir.

Untuk mengembalikan Kembali sebagai Lembaga pengawal konstitusi, terdapat Langkah-langkah konkrit yang harus diambil, diantaranya:

  • Kebijakan Pengsusulan Hakim MK

Kebijakan pengsulan pengsisian jabatan hakim MK yang sekarang seyogianya dapat ditelaah Kembali. Tak dipungkiri banyaknya kepentingan politik di tubuh MK berawal dari proses rekrutment yang dipenuhi intrik politik. Tentunya Lembaga pengusung hakim konstitusi tersebut mempunya keinginan agar political interest dari Lembaga tersebut, dapat diakoomodir oleh hakiim MK yang diusung Ketika dia duduk di kursi hakim konstitusi.

  • Regulasi Pemberhentian Hakim Konstitusi

Menghindari kesan bahwa hakim konstitusi hanya sebagai pembawa amanat Lembaga pengusung, maka aturan pemberhentian hakim konstitusi harus ditegaskan Kembali. Sehingga bukan hanya pemberhentian berdasar syarat formil, harus juga didasarkan pada pemberhentian berdasark ketentuan substantif, seperti teori yang dikemukakan oleh Prof. Mahfud MD, tentang demokrasi substantial. Hal ini demi menghindari kejadian yang sama yang dialami oleh hakim Aswanto yang dipecat oleh DPR, sehingga tidak menimbulkan kesan hakim MK berada dibawah kewenangan Lembaga Watchdog tersebut.

Masyarakat menaruh harapan yang besar di Pundak Mahkamah Konstitusi, untuk  itu masyarakat pula yang harus menjadi yang pertama memberikan dukungan terhadap perbaikan MK. Mahkamah Konstitusi yang kuat, mnciptakan konstitusi yang kuat, melahirkan bangsa yang kuat. Terima Kasih.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun