Mohon tunggu...
Panji Saputra
Panji Saputra Mohon Tunggu... Freelancer - Makelar Kopi

Sunyi bukan berarti mati

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pedesaan yang Menenangkan dalam Bayang-bayang Urbanisasi

8 Januari 2020   00:37 Diperbarui: 8 Januari 2020   00:40 129
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jauh dari riuh masyarakat urban perkotahan, ada rumah kayu sederhana yang menenangkan yang menjadi tempat melepas penat para penggarap sawah. Lebih-lebih posisinya yang sangat strategis (tepat di tenga-tenga tanaman padi yang baru tumbuh) yang seakan berada pada hamparan padang rumput maha menyejukkan.

Belum lagi ngopi sambil bertukar cerita dengan para pengarap sawah yang lain yang sangat hangat dan mengalir. Tidak tegang, juga hampir tidak terlihat ambisius sama sekali terpampang di wajah mereka. Yang ada hanyalah wajah yang terbakar matahari dengan penuh keiklasan demi menyambung hidup dengan modal bercocok tanam yang sederhana. Tanpa mesin pengarap modern.

Sebagian pemilik lahan, sudah memiliki alat pengarap modern yang hanya membutukan satu orang sebagai pengebudi sudah bisa memanen padi dengan berhektar-hektar sendirian. Para buru pengarap sawah mulai memasuki babak baru: bersaing dengan mesin pengarap sawa yang lebih efisien.

Di rumah kayu sederhana itu, saya bersama para petani lain duduk melepas penat sambil menyeruput kopi saling bertukar kata satu sama lain. Saya kurang banyak bicara. Banyak nyimaknya. Memang begitulah seharusnya. Terkadang kita banyak bicara saat seharusnya mendengarkan. Itu kata-kata bijak yang saya kutip dari salah satu tokoh mafia berdara dingin asal kota Sisilia.

Di antara para petani itu mengarap ladang orang. Saya bersama ayah mengarap ladang sendiri yang cukup untuk menyambung hidup.

Di samping saya, seorang tua yang hampir seabad umurnya tapi masi segar pugar, yang juga sudah sejak tadi mendominasi pembicaraan kami yang hangat dan segar dengan guyonnya, buat saya berjuang keras menahan sakit perut karena tawa. Dan itu mengalir begitu saja. Tidak dibuat-buat.

Sementara itu, orang tua yang mendominasi pembicaraan sejak tadi, melirik pada saya dan melontarkan pertanyaan, "kamu sudah semeater berapa?", seakan sudah habis bahan untuk ia bagi, pertanyaan itu cukup buat saya sesak nafas. Suasana sontak jadi hening. Dilematis. Saya tidak langsung jawab. Ayah saya melirik dengan mata dingin dan tajam sambil menyeruput kopi yang mulai sandar. Eahu, kenyataan sosial ternyata serapuh ini.

Tapi mengalir saja, jawaban itu keluar dari mulul saya dengan penuh tekanan dan datar "huu semester lewat". Mendengar jawaban saya, orang tua itu pecah dalam tawanya yang berderai dan diikuti oleh petani yang lain. Juga ayah saya yang dilematis antara kecewa, dan akhirnya pecah juga dengan tawa yang berderai.

Suasana kembali cair oleh tawa. Saya jadi terselamatkan. Ternyata itu sesuatu yang segar dan baru bagi telinga mereka, yang mereka anggab sebagai guyon yang guri dan segar.

Walhasil, saya jadi terselamatkan. Pembicaraan kami kembali normal dan harmonis dan mengalir.

Beda soal dengan masyarakat perkotahan yang tidak lain pun tidak bukan hanya ambisius yang terpampang di wajah mereka. Mau guyona saja harus dibuat-buat dan terlihat kaku.

Belum lagi polusi, macet, lebih-lebih limbah perindustrian. Ditambah lagi, pengusuran yang dilakukan oleh pemerintah dengan dali tata kota demi memanjakan para turis. Sarat akan problematika sosial.

Dengan segala macam rupa problematika sosial yang ditimbulkan perkotahan, hampir-hampir tidak akan kita jumpai realitas yang sesunggunya (riil-reality). Tidak ada ketenangan alami. Yang ada kegaduhan. Kalaupun ada, itu hanya semu. Kiranya itu pandangan subjektif saya.

Kiranya, penting untuk saya sedikit menelisik lagi kebelakang soal masyarakat yang berantakan akibat revolusi industri di Inggris dan politk di Prancis, yang mengundang minat para ilmuan untuk mengkajinya.

Yang padanya juga ilmu tentang masyarakat (sociology) lahir demi menjawab segala carut marut yang diciptakan revolusi itu. Ini juga yang tak jarang membuat kebanyakan para sosiolog tidak sepakat dengan sih jenggot lebat Marx, yang punya keyakinan bahwa segala problematika sosial hanya dapat didiagnosis desean revolusi.

Tapi jauh sebelum Aguste Conte sang pengagum positivistik itu memperkenalkan sosiologi, ilmuan dari Timur Ibnu Khaldu telah menulis tentang integrasi sosial (Asabiyah), dan peradaban manusia pada abad ke 14.

Saya bukan sedang ingin menjelaskan kembali soal sosiologi. Hanya saja, ada keinginan untuk mempertahankan tatanan sosial yang teratur. Sebagaimana para ilmuan awal pada periode pencerahan seperti Thomas Hobbes, Jhon Locke, dan Jean Jaques Rauseau yang coba mendisain masyarakat agar bisa hidup harmonis dalam sistem pemerintahan yang dalam istila sosiologi dikenal dengan istila "kontrak sosial".

Saya hanya sedang merenungi sesuatu yang ada di depan batang hidung saya yang akan hilang terseret oleh lajunya arus globalisasi. Mengingat apa yang dikatakan oleh Ahmad Baso, penulis buku "Islam Pasca Kolonialisme" itu, yang perna berujar "Apa yang terjadi hari ini adalah pengulangan sejarah masa silam".

Saya sendiri sebagai anak dusun yang ikut terseret oleh arus urbanisasi perkotahan---pergi menimbah ilmu di perguruan tinggi dengan cita-cita sederhana yang dititipkan ortu demi masa tua yang menjanjikan---sudah sangat lama menginginkan suasana masyarakat pedesaan yang penuh dengan keteraturan. Yang masi belum tersentuh oleh limbah perindustrian yang penuh risiko. Saya katakan "masi belum" bukan "tidak mungkin" segala rupa proplem perkotahan itu menjamur di pedesaan. Tunggu saja. Dan itu akan sangat saya rindukan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun