Mohon tunggu...
Panji Saputra
Panji Saputra Mohon Tunggu... Freelancer - Makelar Kopi

Sunyi bukan berarti mati

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kerangkeng Perpustakaan dan Yang Laten

14 Desember 2019   03:49 Diperbarui: 4 Maret 2020   00:50 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Tak masalah aku di penjara. Namun aku ingin dipenjara bersama buku. Karena bersama buku aku bisa bebas."Bung Hatta

Saya sering meminjam buku di perpustakaan tempat saya menimbah ilmu di salah satu perguruan tinggi satu-satunya Islam yang ada di Sulut. Batas peminjaman hanya bisa sepekan sekali. Selebihnya anda akan dikenai denda yang membuat kantong anak kos (seperti saya) menangis.

Tentunya saya tidak ingin demikian. So, jangan sampai terlambat mengembalikan buku.

Pada perpustakaan itu, saya punya pinjaman dua buah buku yang salah satunya mengantarkan saya berkenalan dengan sosiolog asal paman sam "Goerge Ritzer" yang berhasil menjembatani paradigma sosiologi yang sering bentrok (konflik) satu sama lain itu lewat karyanya "Sociology: A Multiple Paradigm Science (1975a)", "Modern Sociological Theory" George Ritzer dan Douglas J. Goodman.

Dua buku dengan masing-masing di atas lima ratus halaman tentunya tidak bisa dihatamkan oleh saya (generasi yang tak bisa lepas dengan gawai) hanya dengan sepekan. Kalau bisa, saya yakin Itu pasti mukjizad.

Walhasil, dalam sepekan saya sekali masuk kampus hanya untuk memperpanjang hasil pinjaman. Yah, sekali dalam sepekan saya masuk kampus. Saya adalah mahasiswa semester akhir yang entah kapan sarjana yang sudah tidak ada lagi mata kulia. Semester ini. Semester depan masi ada mata kulia kontrak.

Dengan aktivitas semacam menjalani tahanan rumah yang setiap minggunya wajib lapor, kiranya itu yang saya rasakan. Aktivitas berpengetahuan macam apa ini?

Kalau bung Hatta bersama buku ia bisa bebas, kalau saya, bersama buku hasil pinjaman dari perpustakaan, terpenjara sambil bisa berjalan bebas berlenggang.

Dalam pandangan Weber yang kental dengan tradisi Marxian, smoga saja saya tidak keliru (baru melihat pucuk daun berbicara seisi hutan) tentang rasionalitas:

"Rasionalitas meliputi proses berpikir aktor dalam membuat pilihan mengenai alat dan tujuan. Dalam hal ini pilihan dibuat dengan merujuk pada kebiasaan, peraturan dan hukum yang diterapkan secara universal."

Weber melihat birokrasi (dan proses historis birokrasi) sebagai contoh klasik rasionalisasi, contoh terbaik rasionalitas dewasa ini mungkin adalah restoran cepat saji-nya (fast-food) "Ritzer 2000".

Aliran kritis berpandangan bahwa dalam masyarakat modern penindasan dihasilkan oleh rasionalitas yang menggantikan eksploitasi ekonomi sebagai masalah sosial modern (Schroyer:1970).

Meski kehidupan modern kelihatan rasional, aliran kritis memandang masyarakat modern penuh dengan ketidakrasionalan (Crook:1995) yang membuat para Marxian psimis terhadap kapitalisme:

"Analisis kritis Marxs terhadap kapitalisme membuatnya berharap pada masa depan, tetapi banyak teoritisi kritis malah masuk pada pandangan putus asa dan tanpa harap. Mereka melihat problem-problem dunia modern bukan hanya ada pada kapitalisme, tetapi mewabah sampai ke dunia yang dirasionalkan (rationalized). Mereka memandang masa depan, dalam istilah Weberian, sebagai 'sangkar besi' struktur yang semakin rasional yang tak ada harapan untuk keluar darinya (Ritzer dan Goodman)".

Yah, itulah kerangkeng perpustakaan. Setidaknya menurut saya yang saya pinjam dari om Weber. Baru, apa yang dimaksud dengan yang laten?

Dalam istila sosiolog "Robert K. Merton", apa yang ia perkenalkan tentang konsep fungsi nyata (manifest) dan fungsi tersembunyi (latent).

Menurut pengertian yang sederhana, fungsi nyata (manifest) adalah fungsi yang diharapkan, sedangkan fungsi yang tersembunyi (latent) adalah fungsi yang tak diharapkan.

Meskipun menurut Colins Campbell (1982), bahwa konsep Merton ini jarang digunakan dalam sosiologi kontemporer.

Mungkin keterlambatan saya dalam mengembalikan atau memperpanjangan buku pinjaman yang membuat dompet saya harus menangis (bayar denda dengan nominal 200k), dan konsekuensinya nebeng isi perut sama teman seperjuangan tidak senasip bisa dijadikan sebagai contoh yang latent:

"Perpustakaan adalah gudang ilmu pengetahuan, disatu sisi perpustakaan adalah kerangkeng bagi para pencari ilmu pengetahuan".

Dalam contoh yang lain:

"Meminjam buku di perpustakaan untuk bawa pulang dan baca di kontrakan dengan secangkir kopi tambah rokok kretek adalah sesuatu yang saya harapkan (nyata/manifest), membayar denda kepada pihak perpustakaan yang menghendaki isi dompet saya menangis adalah sesuatu yang tidak saya harapkan (yang tersembunyi/latent), tapi dikehendaki oleh pihak perpustakaan dengan maksud untuk memberi efek jerah. Pada sisi yang lain denda adalah tujuan".

So, bung Hatta benar pada waktu itu: Bersama buku kita tetap bebas. Di erah ini (era teknologi, komunikasi melampaui kecepatan cahaya, dan banjir informasi), bangsa milenial akan berkata: "aku rela di penjara, asalkan bersama gawai. Karena dengan gawai, aku bebas berselancar sesuka hati".

Salam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun