Pernyataan diatas jelas menekankan adanya keterlekatan antar teknologi digital dengan mobilitas dikalangan flashpacker. Selanjutnya, Paris mencoba membandingkan kultur traveling antara flashpacker dengan kelompok traveler yang disebutnya 'non-flashpacker' (backpacker). Analisis Konsensus Kultural digunakan untuk melihat perbedaan keduanya.Â
Survei dilakukan secara online di sebuah grup Facebook backpacker dan offline di sebuah motel di Australia. Preferensi dan intensitas penggunaan gadget ketika traveling digunakan sebagai instrumen survei untuk membentuk 2 kelompok: flashpacker dan non-flashpacker. Hasilnya:
"Flashpackers lebih tech-savvy dibanding non-flshpackers, namun ada beberapa kemiripan antara keduanya seperti: Senang membawa kamera digital ketika traveling dan sering internetan ketika di rumah... Salah satu perbedaan yang mencolok adalah lebih dari 75% flashpackers membawa laptop, kurang dari 14% bagi non-flashpacker. Flashpackers lebih menginginkan tinggal di hostel dengan akses Wifi ketimbang non-flashpackers, dan jauh lebih sering login ketika traveling".
Bagaimanapun, teknologi digital dan internet berkontribusi menciptakan transformasi kultur baru dalam dunia backpacking atau melahirkan 'sub-kultur' traveling seperti kata Paris. Kultur traveling Anda backpacking atau flashpacking?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI