Mohon tunggu...
Yunita Handayani
Yunita Handayani Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Ibu yang bahagia :) www.yunita-handayani.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Peer Pressure Bukan Hanya Milik Remaja

1 Maret 2012   05:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:42 2717
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Obrolan Freez selama sepekan kemarin sangat menarik. Semua menyoroti kehidupan anak sekolah yang cukup membuat kita terpana. Dari masalah gaya berpakaian, BB, social media addicted, sikap hidup yang maunya serba instant, budaya bullying, terkesan melekat kuat pada para remaja generasi kita. Semua itu biasanya bersumber pada satu masalah, peer pressure.

Peer pressure adalah tekanan teman sebaya yang seringkali dialami para remaja. Saat usia ini anak seakan lebih mendengarkan perkataan teman sebaya daripada perkataan orang tua, menuruti nasihat teman sebaya daripada nasihat gurunya. Lebih parah lagi, mereka mengikuti prinsip hidup teman sebaya daripada prinsip hidup imannya (ajaran agama).

Seorang remaja akan melakukan apa pun, dengan cara apa pun, supaya tetap dapat diterima oleh teman sebayanya. Teman sebaya adalah pribadi-pribadi yang membentuk jati diri, kebanggaan, serta makna hidup mereka. Kehilangan teman sebaya, dikucilkan, dipandang rendah, penolakan, membuat hidup mereka bagai hell on earth.

Saat ini Anda dapat berkata, “syukurlah, aku telah melalui masa-masa itu? Aku dewasa, tak akan mengalami lagi peer pressure.” Tunggu dulu, benarkah demikian? Orang dewasa pun bisa mengalami peer pressure. Jenisnya bermacam-macam, ada single peer pressure, yaitu tekanan keluarga atau masyarakat yang dihadapi orang yang belum menikah sementara usianya semakin merangkak naik. Ada juga parent peer pressure, yaitu tekanan yang dihadapi orang tua dengan tuntutan supaya anaknya jangan sampai kalah dengan anak-anak lain di masyarakat. Bila dikategorikan lagi menurut detil permasalahannya maka jumlahnya bisa sangat banyak. Kita lihat saja bukti yang dapat kita temui di sekitar kita.

Ada orang dewasa yang geregetan saat melihat tetangganya ganti mobil baru. Besoknya, tanpa pertimbangan berapa budget yang dimiliki, dia segera mengisi garasinya dengan mobil baru. Kalau bisa mobil yang lebih mahal dari mobil baru milik tetangga sebelah.

Ada orang dewasa yang merasa bagai memakai topi dari karung beras saat melihat orang-orang di sekitarnya berbincang mesra dengan jari-jari yang gemulai membelai-belai layar iPad sementara jari-jarinya sendiri masih sibuk cethak-cethok di laptop yang segede gaban. Besoknya, dia akan buru-buru menggesek kartu kredit untuk membeli iPad agar dapat merasa ‘nyaman’ saat berkumpul bersama teman-temannya.

Itu masalah barang. Ada juga masalah sikap. Banyak orang dewasa yang mengatur sikap hidupnya agar sesuai dan dapat diterima oleh sistem peer-nya. Sekalipun sebenarnya itu bertentangan dengan karakter aslinya atau bahkan tidak sesuai dengan prinsip iman yang dipegangnya. Sebut saja korupsi, budaya paling latah di negeri kita. Atau hal-hal sepele lainnya, misal: gaya berbicara, topik pembicaraan, kegiatan-kegiatan.

Tetap menjaga prinsip kita sendiri bukan berarti menjadi orang yang tidak down to earth, tidak mau menyelaraskan hidup dengan orang lain, atau menjadi orang yang angkuh dan keras kepala. Paling tidak, kita harus mempunyai batasan. Jangan membiarkan orang lain selalu membentuk apa yang harus kita lakukan, ucapkan, atau pikirkan.

Tingkatan batasan saya adalah iman saya, segala peraturan yang berlaku di negara ini, serta norma sosial yang ada. Ini sepertinya agak rumit. Beberapa orang menyatakan bahwa apa yang merupakan norma sosial di masyarakat seringkali tidak sesuai dengan iman saya. Karena itu saya letakkan iman saya pada batasan tertinggi dan terutama dalam hidup saya.

Sekali lagi, sebuah pengalaman sehari-hari sebagai contoh. Norma sosial adalah saya harus bersosialisasi dengan tetangga saya serta mengikuti segala kegiatan sosial di perumahan ini. Oke, saya lakukan. Tapi, bila saat bersosialisasi tersebut ada indikasi rumpian yang mengandung fitnah, usaha untuk mendiskreditkan orang lain tanpa dasar, ini sudah tidak sesuai dengan iman saya. Maka, lebih baik saya berdiam diri. Menahan mulut saya untuk tidak terlibat. Walau mungkin, kalau saya ikut ngrumpi dan membuat obrolan kian memanas, maka saya akan membuat suasana lebih meriah dan saya menjadi lebih diterima.

Saat ini saya betambah tua, semakin banyak yang harus saya kerjakan, pikirkan, dan rencanakan seiring semakin pendeknya waktu hidup saya di dunia. Saya memikirkan ulang hidup saya dengan sungguh-sungguh. Saya telah membuang banyak waktu hanya agar keberadaan saya diterima oleh orang lain. Saya diingkatkan kembali bahwa yang terpenting adalah bagaimana hidup saya di mata Tuhan, bukannya di mata manusia. Apa fokus utama hidup saya? Berlarian kesana kemari untuk menuruti apa kehendak orang-orang atau memusatkan hidup untuk mengikuti kehendak Tuhan?

Suatu saat saya ditanya, apa arti memasuki usia 30 tahun bagi saya? Saya menjawab, rasanya ini adalah usia di mana saya tidak lagi begitu memperdulikan apa komentar dan ekspetasi orang atas saya, asal hidup saya tetap di jalan Tuhan. Ketika saya berada di jalan Tuhan, saya percaya Tuhan tidak akan menjadikan saya penjahat yang banyak menyakiti maupun merugikan orang lain.

Ada sebuah cuplikan dari salah satu episode tayangan ulang “American Next Top Model All Stars” yang saya saksikan beberapa waktu lalu. Seorang peserta mempunyai prinsip tidak mau diprotret menggunakan pakaian dalam, bikini, bahkan telanjang. Tapi, dalam sebuah tantangan para model harus melakukan sesi pemotretan di tepi pantai dengan bikini. Model ini tetap tidak mau melakukan sesi tersebut walau konsekuansinya dia bisa dieliminasi. Dia tetap berprinsip, “yang boleh melihat saya memakai pakaian seperti itu hanyalah suami saya saat di dalam kamar.” Akhirnya model itu pun dieliminasi saat penjurian. Dia kalah tapi dia tetap merasa menang karena dapat menjaga prinsipnya. Lepas dari kontroversi apakah itu trik produser untuk menciptakan drama agar rating acara meningkat tapi keteguhan model tersebut memegang prinsipnya tetap membuat saya salut.

Saya menulis ini bukan karena saya orang sempurna yang bisa lepas total dari berbagai peer pressure. Tulisan saya ini adalah prasasti yang saya buat untuk mengingatkan diri saya sendiri bila suatu saat saya mulai kelelahan hanya karena berusaha diterima sekelompok orang lain hingga melupakan apa yang terpenting dalam hidup saya. Semoga dapat menginspirasi Anda juga.

Sebuah renungan malam (yang baru sempat diedit dan ditayangkan siang hari ini).

Sumber gambar: http://cdn.sheknows.com

13305790641754341544
13305790641754341544

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun